Share

Kedukaan yang Membusuk

"Selesai." gumam Alvan puas, selagi ia menumpuk pekerjaan terakhirnya di ujung meja.

Sejenak ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, lalu menatap tugas hariannya yang menyerupai Gunung Everest, yang semakin menjulang tinggi seiring berjalannya waktu.

'Haruskah ia mengundurkan diri saja? Ini bukan pekerjaan, melainkan perbudakan.'

Cepat-cepat ia menyingkirkan pemikiran itu dan memperingatkan dirinya akan gaji besar yang ia terima dari dosen wanita tersebut, yang mungkin tidak akan ia dapatkan dipekerjaan lainnya.

Mungkin karena terlalu lelah, ia rasa dirinya menjadi banyak memikirkan hal-hal yang tidak logis.

Cepat-cepat Alvan membereskan meja serta akal sehat sehatnya, lalu ia bersiap untuk pergi ke lokasi pekerjaan sambilannya yang lain.

Sebelum meninggalkan ruangan, sesaat ia melirik ke arah meja dosennya yang kosong sedari siang tadi, sambil menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan saat ini.

Perlukah ia menunggu hingga dia kembali?

Tidak. Jangan. Selagi dia tidak ada di ruangan, ia justru harus melarikan diri secepat mungkin, sebelum dia menambahkan pekerjaan tambahan yang akan membuatnya terlambat berkerja.

Jadi dengan membulatkan tekad, Alvan meninggalkan ruangan dosen itu dan berjalan keluar menuju tempat parkir sepeda motor.

"Alvan." panggil seorang wanita yang terdengar sangat familier di telinganya. "Alvan."

Sontak langkahnya membeku dan ia hanya dapat berdiri mematung, bak seorang pencuri yang ketahuan ketika sedang melakukan tindak kriminal.

"Astaga." keluhnya sambil memejamkan matanya yang menolak menerima keadaan ini.

Dari arah punggungnya, terdengar suara sepatu tinggi yang bergerak semakin mendekatinya, hingga suara itu berhenti tepat di dekatnya.

"Kau mau pulang?"

Alvan membalikkan tubuhnya seperti robot, kemudian mencoba mengeluarkan seulas senyum kecil, yang lebih terlihat seperti penyesalan. "Ya."

"Kau sudah bekerja keras." puji Profesor Nia, setelah membebaninya dengan begitu banyak pekerjaan. "Karena itu aku akan memberimu sebuah hadiah."

Melihat betapa kerasnya dia memperlakukannya selama ini, membuat Alvan tidak yakin kalau hadiah yang dimaksudkannya akan sama seperti 'hadiah' yang ada di kepalanya.

Tanpa memberinya aba-aba, Profesor Nia langsung melemparkan kunci mobilnya, lalu tersenyum lebar ketika melihat dirinya berhasil membuat Alvan kebingungan. "Menyetirlah untukku. Aku akan memperkenalkanmu pada dunia 'kelas atas'."

Tidak peduli seberapa keras ia mencoba untuk menolaknya, Profesor Nia selalu berhasil menyeretnya pergi. Hingga, setelah penolakan yang hebat, pada akhirnya ia duduk di kursi pengemudi juga dan melakukan keinginannya.

"Seorang teman dekatku baru saja kehilangan kakeknya." jelasnya yang semakin membuatnya mempertanyakan 'di mana letak hadiah' yang dibincangkannya tadi. "Mungkin ini terlihat biasa untuk masyarakat pada umumnya. Namun bagi orang yang mengerti 'bagaimana cara kerja dunia kelas atas', mereka akan tahu kalau ini adalah bisnis. Karena yang meninggal saat ini adalah seorang pemilik grup perusahaan."

Seperti kata profesornya, Alvan hanyalah segelintir dari 'masyarakat umum'. Ia tak tahu kenapa kejadian duka itu menjadi bisnis. Ia juga tak mengerti kenapa kehadirannya di acara pemakaman itu akan menjadi sebuah hadiah baginya.

Namun seperti dapat membaca pikirannya, Profesor Nia mencoba menjelaskan situasi itu lebih lanjut, sehingga 'masyarakat awam' seperti dirinya, bisa mengerti keuntungan dari kejadian tersebut.

"Bayangkan saja, seorang pria kaya tutup usia dengan meninggalkan banyak harta. Sedangkan harta yang dimilikinya bukanlah harta biasa, tapi kekayaan yang memiliki unsur perputaran uang besar bagi perusahaan lain. Baru dengan satu alasan itu, maka acara pemakaman ini sudah memiliki daya tarik tersendiri bagi para direktur perusahaan lain. Mereka akan mengamati seperti apakah perusahaan akan berjalan nantinya, apakah akan semakin maju atau terpuruk, haruskah mereka melanjutkan kerja sama atau menghentikannya. Acara ini akan menjadi cara bagi mereka untuk meninjau apa yang terjadi kedepannya. Itu belum alasan lain seperti melihat siapa pewarisnya dan memperluas koneksi. Tentu acara ini akan menjadi sangat ramai."

Hanya dari ucapan dosennya, Alvan tahu di mana posisinya saat ini.

Pertama, ia tidak sedang dalam posisi harus mengamati kondisi perusahaan, karena ia tidak akan merugi atau menjadi untung dengan jatuh bangunnya perusahaan tersebut.

Mengenai 'penasaran', Alvan sendiri tidak memiliki alasan untuk merasa penasaran tentang siapa yang menjadi pewaris, sedangkan dirinya saja tidak tahu siapa yang meninggal maupun keluarga orang tersebut.

Sekarang, setelah menyisihkan dua alasan itu, kini hanya ada satu alasan tersisa baginya untuk hadir di pemakaman tersebut.

"Memperluas koneksi." gumamnya, yang entah bagaimana bisa terdengar oleh dosennya.

"Benar." jawabnya antusias, "Karena itu, anggap saja aku sedang membayarmu untuk semua kerajinanmu. Tidak mudah mendapatkan koneksi seperti ini. Karena itu, kau harus ingat baik-baik, aku sudah memberimu sebuah modal besar. Jadi, mulailah karirmu dengan baik."

Alvan tahu niat baik dosennya, tapi ia tidak yakin apakah niat baiknya itu akan ia gunakan kelak.

"Kenapa tidak menjawab?" tuntut Profesor Nia.

Meskipun enggan mengatakannya, ia pun akhirnya menjawab, "Ya, Profesor."

Kemudian sampailah mereka ke rumah duka yang dituju olehnya, dan benar seperti ucapan profesornya, tempat duka itu sangat ramai. Hingga jika ada orang yang salah paham, maka mereka pasti mengira kalau ada sebuah wisata yang didirikan di sana.

"Aku sudah menebak kerumunan ini. Hanya saja, ini tetap diluar dari dugaanku." komentar Profesor Nia, sebelum dia melangkah keluar dari mobilnya. "Ayo, kita masuk."

Karena ia tidak mengenal siapapun, dan belum pernah datang ke mari, Alvan sempat kehilangan arah. Karena itu, begitu ia menyusul Profesor Nia, ia langsung mengekorinya bak anak ayam yang mengikuti induknya.

Sesekali Profesor Nia tampak menyapa beberapa pelayat yang datang di sana, tapi semua dari mereka sepertinya tidak menyukai kehadirannya. Bahkan ada beberapa yang secara terang-terangan mengernyit, ketika dia menatapnya dari ujung kepala hingga telapak kaki. Namun Alvan tidak merasa terganggu sedikit pun, lagipula ia datang ke sana tidak untuk benar-benar mencari koneksi.

Hingga setelah berputar-putar, mereka pun akhirnya bertemu dengan keluarga yang berduka, atau kita bisa memanggilnya sebagai 'sang pewaris' yang akan mengelola semua kekayaan yang besar itu.

"Elsie." panggil Profesor Nia, selagi berlari memeluknya.

Tidak seperti yang dibayangkannya, sang pewaris ini tidak terlihat bersedih. Penampilannya pun cukup rapi untuk seseorang yang kehilangan keluarganya. Tidak hanya rapi, tapi dia juga cantik. Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi jika dilihat lekat-lekat, dia ternyata menggunakan riasan yang tipis. Matanya tidak bengkak dan dia bisa tersenyum sangat lebar, padahal dia masih berada di rumah duka.

Ah, jadi beginilah cara kerja dari kelas atas. Kini Alvan mulai mengerti, dan dia tidak memiliki niat untuk bersentuhan dengan dunia semacam ini. Semua ini hanyalah kebusukan dan kepalsuan. Ia tak akan sudi untuk bahkan mencelupkan ujung kakinya ke perkumpulan seperti ini. Ia menyukai dirinya yang sekarang.

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status