"Dasar pria kurang ajar!" pekik keras Elsie selagi terperanjat dari tidurnya.
Sontak karena lengkingan suaranya itu, semua orang mendelik ke arahnya, terlebih Anna yang duduk tepat di sampingnya.
"Direktur, Anda baik-baik saja? Apakah Anda bermimpi buruk?"
Sambil memegang kepalanya yang terasa pusing, ia mengangguk malu. "Aku baik-baik saja. Tenggorokanku kering, ambilkan aku minum."
Sementara Anna sibuk mengambilkan dan membukakan minum untuknya. Elsie mencoba untuk mengatur kembali perasaannya yang mulai memburuk.
'Semua ini karena pria itu!'
Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden memalukan itu. Meskipun begitu, Elsie masih tetap menyimpan dendam untuk asisten Nia. Bukannya karena ia tak mau melupakan kejadian itu, tapi karena ia tak bisa menghapus kenangan buruk itu dari kepalanya. Hingga dari hari ke hari ia hanya dapat terus merasa kesal, dan pada puncaknya ia mulai mengumpatnya di tengah tidur seperti yang terjadi barusan.
"Ini." Anna menyodorkan botol minum yang sudah ia buka, sehingga dia dapat langsung meminumnya. "Aku lapar. Apakah ada rumah makan cepat saji perusahaan kita yang ada di dekat sini?"
Anna segera mengecek tablet yang selalu dibawanya dan mengangguk. "Tiga puluh kilometer dari sini, ada salah satu cabang rumah makan kita."
"Bagus. Ayo kita ke sana."
Seperti biasa, ketika Fio bekerja di luar ruangan, ia akan sesekali mengunjungi rumah makan cepat saji yang berada di bawah naungan grup perusahaan kakeknya. Hal itu ia lakukan untuk melakukan inspeksi dadakan, alih-alih hanya mendapatkan tulisan laporan dari penanggung jawab rumah makan. Dengan begini, ia bisa mendapatkan penilaian yang tepat, yang meliputi kualitas makanan, pelayanan dan kepuasan konsumen, yang pada akhirnya akan ia perbaharui dan perbaiki sesuai hasil pengamatannya.
"Selamat siang." sambut salah seorang karyawan pria, yang membuatnya memberikan nilai tambahan dalam aspek keramahan dan pelayanan konsumen, untuk penilaian cabang rumah makan ini. "Apa yang ingin Anda pesan?"
"Menu apa saja yang sedang promo ...?!"
Mata Elsie terbelalak, dan kini sebuah senyuman yang mengerikan telah siap menghiasi wajahnya.
'Panjang umur.' ucapnya dalam hati, ketika melihat asisten Anna —yang selama ini mengesalkannya— muncul di hadapannya. Terlebih, hal yang membuatnya terkejut lainnya adalah celemek rumah makan cepat saji yang dikenakannya.
Wah, dunia memang kecil. Siapa yang pernah menyangka, pria yang ia buru seperti buronan ternyata adalah pegawai anak cabang rumah makan miliknya.
Semburan tawa keluar dari mulutnya, dan tindakannya itu menarik perhatian pelanggannya yang lain serta Anna dan supirnya yang ada di kursi pelanggan.
"Direktur ...?"
Elsie menghentikan sekretarisnya untuk menghampirinya dengan satu gerakan tangan lalu bertopang dagu dengan menghadapkan wajahnya ke arah pria tersebut,
"Kita bertemu lagi." sapanya dengan nada dingin dan getir. "Bagaimana rasanya mempermalukan orang lain?"
Tanpa menghiraukan sindirannya, Pria itu melanjutkan promosinya, —yang sebagai pimpinan— membuat Elsie tak kuasa untuk membenci sikap profesionalnya. "Kami ada beberapa promo, paket A ...,"
"Nasi, ayam dan soda, harga sembilan belas ribu." Elsie melanjutkan ucapannya dengan cepat, "Aku sudah hafal semua itu di luar pikiran. Bagaimana? Kau mau aku juga menyebutkan menu paket B?"
"Kalau begitu, apa yang ingin Anda pesan?"
Agar dapat membuatnya terintimidasi, Elsie melipat tangannya di depan dada dan memandangnya dengan tatapan merendahkan, seperti para anak orang kaya lain yang menindas temannya yang miskin. "Bukankah sebelum menanyakan pesanan, seharusnya kau meminta maaf terlebih dulu kepadaku?"
Sayangnya, setelah Elsie mencoba mengintimidasi dirinya —dengan gaya yang tidak sesuai dengan prinsipnya—, pria itu tampak sangat tenang. Dia terlihat seperti 'tidak peduli' pada apapun yang ia lakukan, dan hanya terdiam pasif ketika ia mencoba untuk memuntahkan semua kekesalahnnya.
Dia berhasil membuat Elsie merasa sedikit tertarik.
"Setelah membuat Anda merasa malu, saya sangat ingin meminta maaf." ucap pria itu pada akhirnya. "Namun saya rasa jika kita melihat kembali ke belakang, saya pikir seharusnya Anda yang harus terlebih dulu meminta maaf kepada saya. Anda sudah menyeret saya ke dalam persoalan pribadi Anda, tanpa meminta izin terlebih dulu kepada saya."
"Tidak mau. Sejak kecil aku tidak pernah meminta maaf, dan sampai kapanpun aku tidak akan melakukannya. Baik sekarang, hingga besok."
"Kalau begitu, aku juga tidak akan meminta maaf. Aku akan menganggap kita impas."
Seperti orang gila, lagi-lagi Elsie tertawa keras. "Lucu sekali. Sebelumnya, biar kutanya beberapa hal padamu. Siapa kau? Kenapa kau tidak mau minta maaf? Apa yang mendasarimu untuk berlaku angkuh di harapanku? Serta apa hakmu, hingga kau memiliki kuasa untuk memutuskan impas tidaknya perbuatanmu padaku?!"
Tanpa sadar suaranya menjadi semakin meninggi, hingga menarik perhatian semua orang, termasuk manajer toko yang sebelumnya berada di ruangan staf.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, pria yang memiliki tanggung jawab atas toko tersebut, berlari keluar, mendatanginya.
Tanpa tahu apa yang terjadi, dia langsung menundukkan kepala dan meminta maaf padanya. Sedangkan pria yang membuat masalah, dia justru menegapkan kepalanya, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Benar-benar sangat sombong.
"Maafkan kami, apakah staf kami melakukan sebuah kesalahan?"
"Ya." jawabnya sambil menatapnya lekat-lekat. "Kesalahan yang sangat besar."
"Saya meminta maaf atas namanya. Dia pegawai baru di sini, jadi dia masih merasa sulit untuk terbiasa dengan lingkungan barunya. Saya meminta maaf."
Elsie tidak membutuhkan permintaan maaf dari siapapun, selain pria itu. Lagipula 'perminta maafan' bukanlah barang, yang dapat dititipkan ke orang lain jika dirinya tak mampu menyampaikannya.
Melihatnya tetap terdiam, akhirnya sang manajer membuat langkah inisiatif dengan mengambil alih tugas di depan meja kasir, dengan wajah tersenyum lebar. "Biarkan saya yang menuliskan pesanan Anda. Apa yang mau Anda pesan? Kami memiliki beberapa paket dan sebagai perminta maafan kami, kami akan memberikan diskon khusus."
Dengan jari telunjuknya, Elsie menuding asisten Nia, lalu berkata, "Baiklah. Kalau begitu, aku mau memesan dia."
Pernyataannya yang kontroversi itu membuat semua orang —tanpa terkecuali— menatapnya dengan mata terbelalak.
"Eh?!"
Ia sadar, tindakannya saat ini bisa membuat orang lain salah paham padanya. Namun mau bagaimana lagi? Elsie tidak bisa menahan dirinya dari bersemangat, lantaran ia akhirnya menemukan sosok pria yang sangat cocok untuk menjadi suaminya. Di mana lagi dia bisa mendapatkan pria yang lebih menjengkelkan darinya? Tak hanya sikap, gayanya juga sangat kontras dengan tipe ideal yang selalu disukainya.
Sudah tidak diragukan lagi, ia tak akan jatuh hati pada pria seperti ini!
Demi meyakinkan manajer —yang merasa dirinya sudah salah mendengar—, Elsie mengulang kembali ucapannya. "Aku memesan dia."
Elsie menelengkan kepalanya dan membaca tag nama yang terpasang di pakaian pria itu, lalu tersenyum lebar. "Aku menginginkan Alvan. Jadi berikan dia padaku."
...****************...
Semenjak kejadian di pemakaman itu, Nia merasa takut untuk bertemu dengan Elsie. Meskipun hubungannya dengan sangat dekat sedari kecil ..., tidak, justru karena hubungannya dekat sejak kecil, Nia menjadi tahu —dengan sangat jelas— seperti apa sifat pemarah Elsie.Tak perlu Elsie, Nia pun juga akan kesal jika berada di posisi temannya saat itu. Terlebih temannya memiliki harga diri yang cukup tinggi, dan ketika dia menjadikan Alvan sebagai kekasih palsunya, sebenarnya dia sedang melindungi harga dirinya dari Eizel yang merupakan pesaingnya. Namun sayang sekali, Alvan mengacaukan segalanya. Bahkan Nia —yang melihat kejadian itu secara langsung— tidak berhenti-hentinya mengangakan mulutnya, lantaran peristiwa itu lebih menyerupai tragedi, alih-alih hanya kesalahan semata."Bagaimana ini? Haruskah aku menghubunginya? Namun bagaimana jika dia meneriakiku sebagai gantinya?" gumamnya.Lalu selagi matanya melirik ke arah meja asistennya, ia
Semenjak pertemuannya dengan wanita itu, Alvan merasa ada yang janggal dalam kehidupannya.Manajer toko yang sebelumnya berjanji hendak memperpanjang kontrak kerjanya, mendadak berubah pikiran dan membatalkan perpanjangannya.Lalu ditengah persoalan itu, Profesor Nia memperlakukannya dengan baik, bahkan sangat baik. Seolah dia hendak memberikan kesan baik sebelum mengucapkan salam perpisahan dan memecatnya.Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa mendadak kehidupannya yang stabil berubah menjadi seperti ini?Alvan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Profesor Nia yang mungkin mengetahui penyebab kondisi ini melebihi dirinya."Profesor, apakah aku akan segera dipecat?" tanyanya di tengah mereka menyantap makan siang bersama.Profesor Nia nyaris tersedak ketika mendengar pertanyaannya, lalu menatap makanannya dan bergumam, "Maaf.""Kenapa? Apakah kinerja saya kurang bai
Tanpa diduga, ternyata peristiwa meninggalnya kakeknya tidak membawa dampak yang sangat besar seperti perkiraannya selama ini. Rupanya minimnya tugas direktur utamalah yang menjadi salah satu alasan mengapa kondisi perusahaan tak banyak berubah sepeninggalannya.Namun meskipun begitu, Elsie tidak menyangkal kalau topik 'penerus' saat ini masih gencar terdengar di antara karyawannya. Bahkan di antara para petinggi, ia bisa merasakan kebimbangan mereka yang terus merubah suara dukungan mereka. Hingga Elsie tidak bisa lagi menghitung seberapa banyak pendukungnya."Jika begini, warisan itu akan jatuh ke tangan Eizel." ucapnya dengan menyebutkan nama, lantaran ia tak ingin menganggapnya sebagai saudaranya. Baginya pria itu hanyalah lintah penghisap."Tak perlu khawatir. Kita bisa masih bisa menahan rapat pemegang saham, hingga pria itu menghubungi Anda." Sekretarisnya mencoba meyakinkannya."Sudah berapa lama? Sudah berapa lama sejak ke
Setelah kedua pihak menyetujui perjanjian mereka dan bersumpah akan menepatinya, Elsie langsung memboyong Alvan ke sebuah butik pakaian yang tampak megah. Di sana, seperti anak hilang, tiba-tiba saja Alvan diarahkan ke ruangan ganti yang besar dan di sodorkan dengan banyak setelan pakaian, hingga ia tak ingat berapa banyak pakaian yang ia coba. Hanya kata "tidak", yang menjadi satu-satunya ingatannya, lantaran terus-menerus diucapkan Elsie sebagai tanda ia harus kembali ke ruang ganti."Bagaimana jika kita pilih saja satu dari semua yang sudah kita coba?" bantah Alvan ketika ia sudah merasa teralu lelah untuk harus bolak-balik dari ruang ganti ke ruang tunggu.Namun dengan wajah yang dingin, Elsie menunjukkan ketidaksetujuannya. "Sepanjang aku melihat, aku belum menemukan satu pun yang bagus."Alvan mengambil satu setelan berwarna merah tua yang berada di gantungan, lalu menunjukkannya pada Elsie. "Ini bagus.""Tidak. Menurutku itu kurang terlihat menonjol."
Akhirnya tujuannya tercapai. Setelah menghabiskan tenaganya untuk berkeliling dan menyambut para tamu undangar, Elsie berhasil menyebarkan kabar pernikahannya.Banyak dari para pemegang saham yang mulai memihaknya, bahkan tak sedikit dari pihak saingannya yang mulai bersatu dengannya. Semua ini harus ia lakukan demi warisan itu. Ia akan segera menikahi Alvan dan mendapatkan semua harta warisan keluarganya."Kau senang?" tanya Alvan padanya setelah menyadari wajahnya tampak berseri-seri, meskipun kakinya menjerit kelelahan. "Kau tersenyum begitu lebar."Elsie menatap Alvan cukup lama dan melihat bagaimana pria itu mulai memperlakukannya tidak formal."Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya bingung."Kau berbicara dengan informal."Mendadak air muka Alvan berubah dan kini dia terlihat lebih sopan seperti dirinya ketika pertama kali menyetujui perjanjian ini. "Maafkan aku.""Tidak. Tidak masalah." Elsie menggeleng dan men
Begitu tiba di rumahnya, Eizel langsung menghancurkan semua benda yang ada di hadapannya. Dimulai dengan vas bunga, lalu hiasan meja yang terbuat dari kaca, hingga pajangan fotonya, semua mulai hancur satu per satu.Meskipun ia mencoba melampiaskan kemarahannya pada benda-benda di rumah tersebut, api di dalam dirinya tak juga kunjung pudar. Justru emosinya semakin membesar, seolah ia menuangkan bensin ke atasnya.Ddrrtt ..., drrrtt ...Ponselnya berbunyi di saat yang tidak diinginkannya."Halo.""Halo." Suara Direktur Johan terdengar begitu sangat jelas di telepon. "Kau baik-baik saja? Kenapa pulang sebelum pestanya selesai?"Eizel melepaskan jasnya yang masih melekat pada tubuhnya, lalu melonggarkan dasinya yang terasa menekik dirinya. "Aku sedang tidak enak badan.""Ah, begitu. Sayang sekali. Padahal ini saat yang tepat untuk memperlihatkan diri ke dewan direksi."Dewan direksi, pemegang saham, warisan, masa
Sudah puluhan kali ia bertemu dengan para petinggi pemerintah, sudah ratusan kali ia bertatapan langsung dengan investor besar, dan tak terbilang jumlahnya Elsie bertemu orang terkemuka. Namun untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bertemu dengan calon mertuanya. Meskipun pada awalnya ia tak merasa tak perlu menghakhawatirkan kondisi ini, tapi saat ia sudah di depan pintunya, ia merasa gugup juga.Tarik napas, keluarkan.Lalu ia mencengkram erat-erat buket bunganya dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu.Tak lama kemudian, pintu pun terbuka, dan meskipun mereka belum pernah bertemu, tapi wanita yang membukakannya pintu itu tidak menanyakan identitasnya. Seakan dia tahu siapa dirinya dan alasannya berada di sana."Silakan masuk." ajaknya sambil menuntun Elsie ke sebuah ruangan kecil yang berisikan ruang makan, ruang tamu dan ruang keluarga, sekaligus."Kau sudah datang?" Seorang wanita berkepala lima muncul dan tersenyum sangat ramah
Sudah ia duga, nama perusahaan keluarga Elsie cukup membuat ibunya terguncang. Bahkan ibunya yang tidak terlalu mengenal dunia bisnis saja, dia bisa tahu betapa besarnya perusahaan ini. Namun sangkanya, ibu dan adiknya akan merasa senang mendengar siapa bakal istrinya, seperti orang-orang pada umumnya. Tak pernah ia duga, mereka justru menjadi khawatir dan meragukan hubungan mereka."Benarkah Elsie adalah pewaris grup perusahaan itu?" tanya ibunya dengan suara yang terdengar sedikit panik."Ya. Dia cucu kandung satu-satunya keluarga itu." Meskipun Alvan belum terlalu mengerti mengenai keluarganya, setidaknya ia tahu informasi sederhana itu.Mendadak adiknya yang terus terdiam melihat ponsel, berteriak histeris sambil menunjukkan layar ponselnya pada ibunya, "Lihatlah, ibu! Luar biasa! Ternyata dia sangat populer di internet."Lalu tanpa melihat suasana tegang yang terbangun di meja makan itu, adiknya terus memuja Elsie dan menyombongkan pertem