Semenjak pertemuannya dengan wanita itu, Alvan merasa ada yang janggal dalam kehidupannya.
Manajer toko yang sebelumnya berjanji hendak memperpanjang kontrak kerjanya, mendadak berubah pikiran dan membatalkan perpanjangannya.
Lalu ditengah persoalan itu, Profesor Nia memperlakukannya dengan baik, bahkan sangat baik. Seolah dia hendak memberikan kesan baik sebelum mengucapkan salam perpisahan dan memecatnya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa mendadak kehidupannya yang stabil berubah menjadi seperti ini?
Alvan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Profesor Nia yang mungkin mengetahui penyebab kondisi ini melebihi dirinya.
"Profesor, apakah aku akan segera dipecat?" tanyanya di tengah mereka menyantap makan siang bersama.
Profesor Nia nyaris tersedak ketika mendengar pertanyaannya, lalu menatap makanannya dan bergumam, "Maaf."
"Kenapa? Apakah kinerja saya kurang baik? Pekerjaan saya kurang memuaskan?"
"Tidak, kau bekerja dengan sangat baik."
"Jika saya bekerja dengan baik, tidak bisakah Profesor Nia tetap mempekerjakan saya? Jujur saja, baru-baru ini manajer toko tempat saya bekerja sambilan, membatalkan perpanjangan kontrak pekerjaan saya, dan saya masih belum memiliki pekerjaan baru. Jika saya kehilangan pekerjaan saya seperti ini, maka bagaimana dengan ibu dan adik saya. Saya adalah tulang punggung keluarga."
"Aku tahu, tapi aku minta maaf. Aku tidak bisa membantumu."
"Kalau bukan karena kinerjaku ...," Alvan mengeluarkan senjata terakhirnya dan menaruh kartu nama —yang selama ini di simpannya— di atas meja. "Lalu apakah karena ini?"
Profesor Nia langsung bungkam seribu bahasa, ketika mendadak dia diperhadapkan dengan kartu nama milik temannya. Dia hanya mendesah dan menatapnya sedih, "Pasti kau merasa ini tidak adil. Ya, ini memang tidak adil, aku tahu. Tapi tak ada yang bisa kau lakukan."
Ledakan emosi memenuhi dirinya, dan dengan suara bergetar, ia bertanya. "Lantas apa yang harus kulakukan? Apakah saat ini profesor sedang menyuruhku untuk menjual diriku padanya dan menikah dengannya?"
Seperti sebelumnya, Profesor Nia menatap kosong ke arah permukaan meja dengan putus asa. Dia mendesah, meskipun sepatutnya Alvan-lah yang menghela napas. "Aku yang selama ini menyemangati mahasiswa-ku, kini aku mencoba membuatmu menyerah. Aku merasa sangat malu. Namun karena kau adalah asistenku yang paling kusukai, aku ingin menasihatimu untuk 'menyerah'. 'Menyerah saja'."
Tidak, seharusnya yang merasa malu adalah Alvan. Karena sebagai seorang pria, sangat memalukan untuk menangis, terlebih itu karena tekanan hidup. Dengan dirinya mengeluarkan air mata —walau hanya sebutir sekalipun—, itu akan membuatnya terlihat sangat rapuh.
"Aku sudah berteman dengan Elsie sejak kecil, karena itu aku tahu betapa gigihnya dia. Selama aku bersamanya, aku tidak pernah melihatnya gagal mendapatkan apa yang diinginkannya. Kau tahu maksudku, kan?"
"Ya." jawabnya dengan suara serak. "Dia akan menggunakan segala macam cara agar aku menyetujuinya, dan pemecatan ini baru awal dari usahanya."
"Benar." Profesor Nia menatapnya lekat-lekat, lalu mencoba meyakinkannya sekali lagi. "Oleh sebab itu, simpan saja tenagamu. Lebih baik kau berhenti sekarang, sebelum dia mengacaukan segalanya."
Suara sinis keluar dari mulutnya, "Dia pasti diperlakukan seperti seorang putri, oleh keluarganya, itulah sebabnya dia selalu merasa dapat memiliki segalanya."
"Tidak." bantah Profesornya. "Sebaliknya, dia adalah orang buangan di keluarganya. Ayah dan ibunya meninggal, sementara kakeknya sangat membencinya. Dia bahkan mengangkat seorang pria asing menjadi cucunya, meskipun dia sudah memiliki seorang cucu yang hebat. Hingga untuk membuktikan kehebatannya, dia selalu berjuang untuk mendapatkan keinginannya. Namun dia tak pernah mendapatkan pengakuannya sampai kakeknya meninggal."
"Apakah Profesor menceritakan itu padaku untuk membujukku menikah dengannya? Sesaat aku hampir melupakan kalau Profesor adalah temannya, yang selalu ada di pihaknya."
"Ya, ku akui, aku memang sedang membujukmu. Walau sebenarnya tanpa kurayu, aku yakin kau akan menerima lamarannya, segera. Namun tujuanku menceritakan ini, aku ingin kau tahu, Elsie adalah wanita yang baik."
Mengingat wanita itu, Alvan tidak pernah menemukan sosoknya yang baik. Justru ia merasa wanita itu ..., "Dia gila."
Untuk pertama kalinya dalam seharian ini, Profesor Nia akhirnya tersenyum. Dia bahkan terkekeh ketika dia berkata 'dia gila', seolah setuju dengan pendapatnya. "Ku akui, dia memang eksentrik. Namun justru itulah yang membuatnya tampak menarik. Bukankah begitu?"
Alvan merasa bersalah karena ia sudah mengganggu kebahagiaan Profesor Nia, tapi saat ini ia tak sanggup untuk ikut tersenyum ataupun tertawa, lantaran situasi yang membelitnya.
Baiklah, mungkin ia harus menyerah karena wanita itu akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun masalahnya yang diminta wanita itu bukanlah kontrak biasa, melainkan pernikahan. Alvan adalah orang yang sangat menghargai keluarga. Ia sangat berprinsip jika itu mengenai pernikahan.
Namun apa yang terjadi saat ini? Ia harus menikah dengan wanita aneh dan itu ia lakukan demi mendapatkan uang?
Tidak. Tidak. Ini tidak benar.
"Alvan, aku minta maaf karena sudah mengajakmu ke rumah duka hari itu dan membuatmu berada di situasi kacau, saat ini. Aku yakin ini pasti terasa sulit bagimu. Kau tentu juga kebingungan karena kondisi asing yang mendadak harus kau terima dan hadapi, tapi bisakah kau kau melihat kejadian ini dari sisi positifnya?"
Alvan kebingungan, seperti yang dikatakan Profesor Nia, situasi ini sangat kacau. Oleh karenanya, ia terus diam dan diam. Sebab ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Dengarkan aku. Orang pada lazimnya, datang ke tempat itu untuk mendapatkan koneksi. Umumnya, lima puluh persen akan berhasil mendapatkan koneksi, tapi hanya sebatas atasan dan bawahan. Empat persennya, akan mendapatkan sahabat. Namun masih ada satu koneksi lagi, yang banyak diincar, tapi hanya kurang dari satu persen yang mendapatkannya. Itulah pasangan hidup —dan beruntungnya, kau memperoleh koneksi itu—." ucap Profesor Nia, seolah dirinya adalah pria yang sangat beruntung.
Jadi pikirkan saja ini sebagai sebuah kesempatan langka, dan gunakan ini untuk meraih kesuksesan." tambahnya lagi. "Elsie akan menggunakan ini sebagai cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Kau pun juga harus seperti itu, dan memanfaatkan Elsie untuk memperoleh apa yang kau impikan. Hanya saja, ingat baik--baik kalau aku yang sudah membuatmu mendapatkan kesempatan ini. Jadi jika kau sukses, jangan lupakan aku. Kau mengerti?"
Belum. Ia belum mengerti. Ia tak tahu kenapa ia harus membuat keuntungan dengan pernikahan ini. Ia juga tak mengerti siapa yang sedang ia manfaatkan sebenarnya. Dari ucapan Profesor Nia, seakan ia menggunakan Elsie untuk impiannya. Namun setelah dipikirkan lagi, Alvan merasa, dibandingkan memanfaatkan Elsie, ia lebih seperti memanfaatkan dirinya untuk meraih apa yang dia mau. Demi uang ia menikahi wanita itu. Demi kesuksesan, dia menyerah akan cinta dan keluarga yang selama ini diimpikannya.
...****************...
Nia, Elsie dan Alvan naik ke panggung untuk foto bersama kedua mempelai.Namun entah hanya perasaanya saja atau memang seperti itu adanya, Nia merasakan ada yang ganjal dengan hubungan Nia dan Alvan. Memang ia tahu kalau mereka berdua berpandangan dengan tidak ramah di ruang pengantin, tapi ia tidak menyangka kalau masalah itu akan bertahan hingga acara pernikahan hampir selesai.Kini acara yang tersisa adalah pelemparan bunga.Semua orang bersiap di posisi dan Nia pun sedikit menyingkir ke sisi panggung untuk memberi Elsie ruang untuk dapat menangkap bunga.Satu. Dua. Tiga.Bunga pun terlempar dengan sangat anggun, tapi semakin dilihat, ada yang aneh dengan arah pelemparan bunga. Hingga tiba-tiba bunga itu mendekatinya dan jatuh di tangannya.Sontak hal tidak terduga itu membuat semua orang gempar dan bingung.Merasa dia bukan seharusnya yang berhak menerima bunga itu, Nia menatap Elsie yang seharusnya m
Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Elsie duduk seorang diri di salah satu bangku rumah makan yang dibawah naungan perusahaannya, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit. Sudah beberapa hari ia menetapkan untuk lembur beberapa hari di kantornya dan kini ia akhirnya keluar dari persembunyian setelah ia mengurung diri di dalam tembok kantornya. Semua ini karena bunga itu. Sungguh bunga yang sial. Bersamaan dengan kemarahannya yang kembali bangkit dari dalam hatinya, seorang pria yang ia benci selama beberapa hari ini malah muncul di depan wajahnya. Tidak perlu ditanya, Elsie pasti merasa marah. Dia sangat kesal hingga ketika Alvan mengambil duduk di depannya, ia berpaling ke arah lain seperti anak kecil. Namun masalahnya, ia tidak bisa menerima kekalahannya. Terlebih itu lantaran sebuah bunga sial yang malah terbang ke tempat yang salah. "Kenapa tidak pulang se
Di tengah hiruk pikuk pernikahan yang meriah, Alvan dan Elsie duduk berdampingan dengan suasana kesenyapan yang mencekam layaknya yang terjadi pada pasangan yang sedang bertengkar.Hal ini dimulai lantaran Elsie melihat bagaimana Eizel sangat menyukai Anna dan tidak ragu-ragu dalam melangsungkan pernikahannya. Perasaan irinya itu pun ia sampaikan kepada Alvan, yang meskipun tampak tidak tergerak sedikitpun setelah mendengarkannya, tapi sejak mendengar Elsie menceritakannya, perlahan ia mulai mempertimbangkannya hal disebut dengan pernikahan.Namun Elsie yang tidak sabaran, merasa kode halusnya itu tidak akan mempan untu Alvan yang pada pandangannya tidak sensitif, sehingga Elsie dengan memberanikan diri mengatakan secara gamblang pada Alvan tentang keinginannya untuk menikah.Apakah itu salah? Tentu tidak. Terlebih Alvan tahu seberapa sulitnya bagi Elsie untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan lebih dulu, dengan posisinya sebagai wanita. Itu adalah ke
Alih-alih menunggu Anna di pelaminan dan melihat dari kejauhan calon istrinya yang berjalan seorang diri menghampirinya, Eizel memilih untuk berjalan bersama istrinya menuju ke pelaminan.Dengan menggandeng wanita yang dicintainya, ia mengumbar senyum yang sangat lebar nan bahagia. Lalu dengan mata yang saling berkaitan dengan Anna, ia menunjukkan kepada semua orang kalau dirinya sangat beruntung memiliki wanita ini sebagai teman hidupnya.Hingga setiba mereka di pelaminan, mereka menjalani seluruh prosesi pernikahan dan dipenghujung acara, sang pembawa acara menyatakan bahwa mereka sudah resmi menjadi suami istri.Seketika ruang pernikahan itu menjadi amat riuh. Para tamu bertepuk tangan dan tak sedikit yang memberi sorakan atas status baru mereka.Di tengah kebahagiaan yang bertaburan seperti confetti, Eizel menatap langit-langit dengan tercengang.Hidup itu sebuah misteri...****************...~Du
Dengan gaun yang indah yang Nia kenakan di acara pernikahan, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu pengantin. Semua ini adalah salah dari dirinya yang bangun terlambat.Kemarin malam, usai mengatakan salam tidurnya, Nia lupa menyalakan alarm. Hingga, akibat dari perbuatannya, mereka pun jadi bangun terlambat. Hanya untung saja, pengantin wanita sudah bangun lebih dulu dan langsung pergi ke tempat di mana dia akan di rias.Namun di mana kawannya yang satu lagi, kalau tidak salah dia yang bertanggung jawwab dengan bunga buketnya. Lantaran dia menyekap bunga itu sejak pagi, yang katanya itu dia lakukan untuk dapat terhubung dengan bunga. Sehingga ketika pengantin wanita melemparkan bunganya nanti, dia dapat menangkapnya dan segera menikah.Baru dia pikirkan, suara temannya itu sudah terdengar dari kejauhan, meskipun di lobi itu sudah dipenuhi oleh tamu yang berbicara sendiri layaknya suara lebah."Nia."Dengan gaun merah men
~Lima bulan Kemudian."Untuk pernikahan besok. Bersulang.""Bersulang.""Bersulang."Tiga wanita itu pun saling menyatukan kaleng soda mereka, hingga berbunyi suara 'ting' dari permukaan kaleng mereka yang saling bersentuhan.Namun ketika mereka hendak meminumnya bersama, Elsie langsung mengurungkan niatnya dan meletakkan soda itu dengan tatapan sia-sia."Kenapa?" tanya Nia pada Elsie yang tampak kesal lantaran tidak dapat meminum sodanya.Selagi melihat tubuhnya, ia pun mengeluhkan lemaknya yang bertumbuh pesat. "Akhir-akhir ini berat badanku banyak naik. Jadi aku tidak bisa meminum ini dan membuat gaunku kekecilan."Mendengar alasan Elsie, membuat Anna dan Nia menghentikan aktivitas mereka. Hingga satu per satu mulai meletakkan kaleng sodanya."Benar juga." gumam Anna dengan menatap sedih minuman soda itu.Seusai kaleng soda, kini mata mereka tertuju pada makanan melimpah yang ditaruh di