Share

Budak yang Terpilih

Tanpa diduga, ternyata peristiwa meninggalnya kakeknya tidak membawa dampak yang sangat besar seperti perkiraannya selama ini. Rupanya minimnya tugas direktur utamalah yang menjadi salah satu alasan mengapa kondisi perusahaan tak banyak berubah sepeninggalannya. 

Namun meskipun begitu, Elsie tidak menyangkal kalau topik 'penerus' saat ini masih gencar terdengar di antara karyawannya. Bahkan di antara para petinggi, ia bisa merasakan kebimbangan mereka yang terus merubah suara dukungan mereka. Hingga Elsie tidak bisa lagi menghitung seberapa banyak pendukungnya. 

"Jika begini, warisan itu akan jatuh ke tangan Eizel." ucapnya dengan menyebutkan nama, lantaran ia tak ingin menganggapnya sebagai saudaranya. Baginya pria itu hanyalah lintah penghisap. 

"Tak perlu khawatir. Kita bisa masih bisa menahan rapat pemegang saham, hingga pria itu menghubungi Anda." Sekretarisnya mencoba meyakinkannya. 

"Sudah berapa lama? Sudah berapa lama sejak keputusan pembatalan perpanjangan kontraknya?" tanyanya yang mulai melupakan hari, karena pekerjaan-pekerjaan yang menyibukkannya.

"Hampir sebulan."

Elsie menatap ke arah luar kaca mobilnya dan melihat sekilas gedung-gedung yang mereka lewati sepanjang perjalanan. "Itu artinya sebentar lagi kontraknya akan segera berakhir. Dia tidak memiliki pekerjaan lagi."

"Ya. Kurang lebih, tujuh hari lagi."

Dalam frustasi, Elsie mengepalkan kedua tangannya dan menggertakkan giginya, "Namun tetap saja, ini lebih lama daripada dugaanku. Kukira dia akan menghubungiku seminggu setelah pemberitahuan pembatalan kontrak itu."

"Itu sudah terlihat dari awal. Dia bukan orang yang mudah menyerah begitu saja."

"Tapi tetap saja, tiga minggu itu sudah keterlaluan."

"Kalau begitu, bagaimana jika kita mencari penggantinya? Seorang pria yang lebih mudah dibanding dirinya."

Tidak setuju dengan pendapatnya, Elsie langsung melancarkan mata bulatnya dan memelototinya dengan sorot mata mengerikan. "Pria yang terlalu mudah justru lebih mencurigakan. Itu artinya dia mendekatiku dengan maksud dan akan menjadi merepotkan kedepannya. Pria yang normal pasti akan mempertimbangkannya lebih dulu."

"Namun bukankah jika Alvan menyetujui pernikahan ini, dia juga mendekati Anda dengan maksud?"

Elsie mengangguk setuju pada pendapat Anna. "Ya, tapi bagiku yang terpenting dia tidak akan merebut hartaku. Itu saja. Aku tak peduli dengan 'maksud lain' dia mendekatiku."

Walaupun tak sepenuhnya setuju, Anna tidak menunjukkan pertentangannya dan hanya terdiam mengikuti keputusan Elsie.

"Sebentar. Nia tidak akan menusukku dari belakang, kan? Dari pembicaraan terakhir kali, sepertinya dia kurang setuju jika aku sedikit mendesaknya." Kecurigaan demi kecurigaan pun mulai muncul. "Coba hubungi dia."

Seperti perintahnya, Anna menghubungi Nia.

Setelah beberapa nada sambung, suara Nia terdengar di telepon. "Halo?"

"Nia?" Elsie menyambar ponselnya dari tangan sekretarisnya, lalu menempelkannya pada telinga. 

"Maafkan aku, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi langsung saja, ada urusan apa? Aku cukup tahu kalau kau sangat sibuk, hingga sangat mustahil untuk menghubungiku tanpa ada tujuan." ucap Nia di ujung telepon.

"Begini. Ini mengenai Alvan. Apakah kau sudah memecatnya?" tanyanya. "Jangan tersinggung, aku hanya ingin meyakinkan saja."

"Tentu." tegas Nia sangat yakin, yang terdengar sangat jelas meskipun berada di ujung telepon lainnya. "Ada apa? Dia masih belum menghubungimu?"

"Ya." jawab Elsie yang kelewatan jelas rasa frustasinya. "Ini sudah tiga minggu dan dia masih belum menunjukkan tanda apapun. Sampai kapan aku harus menunggunya? Bagaimana jika warisan itu sudah jauh ke tangan Eizel sebelum dia menyetujuinya. Pertarungan selalu berbicara tentang ketepatan waktu."

"Benarkah? Padahal terakhir kali aku sudah mencoba meyakinkannya untuk menghubungimu. Tak kusangka dia masih mempertimbangkannya hingga hari ini? Lalu apa tindakanmu selanjutnya?"

Elsie tak ingin menjadi jahat. Namun dengan situasi yang diluar kendali seperti ini, rupanya ia tak bisa terus membiarkan dirinya menjadi lembek. Secepatnya ia harus bertindak.

Napas berat keluar dari hidungnya dan ia kini meneguhkan hatinya agar tidak goyah. "Aku akan menjadi jahat. Aku akan mendesaknya lebih keras lagi, hingga dia tak memiliki pertimbangan lain lagi."

Dari suaranya, Elsie terdengar mencoba untuk meminta belas kasihannya dan membatalkan maksudnya. "Haruskah kau melakukannya? Dia pasti akan segera menghubungimu. Aku yakin itu."

"Masalahnya aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Seperti Anna, Nia mempertanyakan hal yang sama. "Bagaimana jika kita mengubah targetmu? Kita mencari pria lain yang baik dan lebih mudah darinya."

"Tidak."

Seumur hidupnya, Elsie tidak pernah mengubah targetnya. Ia akan mengejar keinginannya hingga mendapatkannya, dan ia tak pernah gagal. Mengubah target, sama saja dengan mendeklarasikan kekalahannya.

"Aku mau pria itu."

"Tapi ...,"

"Tadi kau bilang, kau sibuk. Kalau begitu, aku tutup teleponnya sekarang."

Tanpa menunggu balasan dari temannya, Elsie memutus teleponnya dan menyerahkannya kembali pada sekretarisnya.

"Apakah Profesor Nia sudah menghentikannya?" tanya sekretarisnya begitu dia menerima ponsel miliknya.

"Ya. Nia sudah memecatnya. Dia bahkan menyuruhnya untuk segera menghubungiku." 

"Namun kenapa dia belum menghubungi kita?"

Elsie hanya terdiam, karena ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak pernah bertemu dengan seorang yang berpendirian teguh seperti ini dan ia tak bisa menyerah di tengah jalan.

"Haruskah kita membuat sedikit masalah lain?" tanyanya pada Anna.

"Direktur." seru Anna yang tampak menggila, lantaran bekerja pada orang yang memiliki harga diri tinggi seperti dirinya. "Kurasa kita harus menyerah. Meskipun kita bekerja di bisnis, kita harus tetap memiliki hati nurani. Dia seorang punggung keluarga, bagaimana kita bisa mendesaknya lagi?"

Tak ia sangka, ternyata Anna —yang selalu berhati dingin— lebih berperasaan dibandingkan dirinya. Elsie-lah satu-satunya manusia di sana yang berdarah dingin dengan semua keputusan sadis yang dimilikinya. 

"Justru karena itulah aku mempertimbangkannya lebih dalam. Keluarganya adalah kelemahan terbesarnya, dan jika kelemahan itu disertai dengan perasaan emosional, dia akan menjadi budak paling setia." Suara Elsie semakin memelan dan kini ia berbisik dengan sangat mengerikan, hingga telinganya sendiri tak tahan mendengar ucapannya. "Karena itu aku sangat menginginkannya."

Kini tak ada yang bisa menghentikannya, bahkan nuraninya pun mengibarkan bendera putih atas keserakahannya terhadap harta warisan. Tanpa menyadari dirinya menjadi dingin dan semakin dingin, sampai ia tak bisa tahu apa itu dingin. Karena dirinyalah kebekuan itu.

Suasana mobil menjadi amat sepi dan semua orang terdiam dalam pikirannya masing-masing. Hingga tiba-tiba ponselnya berbunyi dan sebuah nomor tak dikenal memecahkan suasana tidak menyenangkan tersebut.

Tanpa meminta ijinnya terkebih dulu, Anna langsung menjalankan tugasnya sebagai sekretaris dan menganggat teleponnya. Lalu tanpa ia ketahui penyebabnya, mendadak Anna melemparkan sorot mata terkejut dan menatapnya dengan mata yang sangat bulat.

"Tunggu sebentar." ucapnya di telepon, lalu dia menyerahkan panggilan misterius itu pada Elsie —yang jelas-jelas sedang tidak memiliki niat untuk menerima telepon siapapun—. "Direktur, ini."

Elsie menerima uluran ponselnya dan menempelkannya ti telinga, "Halo? Ini siapa?"

Dari ujung teleponnya terdengar suara pria yang membuat matanya terbelalak seketika, "Halo, Direktur. Anda masing mengenal saya? Perkenalkan saya Alvan. Saya menghubungi Anda untuk berbicara mengenai tawaran Anda sebelumnya."

Jika dirinya tidak berada di mobil, pasti ia sudah melonjak dari kursi dan melompat. Namun lagi-lagi karena harga dirinya, Elsie mencoba untuk menahan rasa antusiasnya dan menjawab dengan beribawa. "Ya."

"Apakah tawaran itu masih berlaku? Bisakah kita bertemu secara langsung untuk membahasnya?"

"Ya, Tentu. Di mana kau sekarang?"

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status