Semenjak kejadian di pemakaman itu, Nia merasa takut untuk bertemu dengan Elsie. Meskipun hubungannya dengan sangat dekat sedari kecil ..., tidak, justru karena hubungannya dekat sejak kecil, Nia menjadi tahu —dengan sangat jelas— seperti apa sifat pemarah Elsie.
Tak perlu Elsie, Nia pun juga akan kesal jika berada di posisi temannya saat itu. Terlebih temannya memiliki harga diri yang cukup tinggi, dan ketika dia menjadikan Alvan sebagai kekasih palsunya, sebenarnya dia sedang melindungi harga dirinya dari Eizel yang merupakan pesaingnya. Namun sayang sekali, Alvan mengacaukan segalanya. Bahkan Nia —yang melihat kejadian itu secara langsung— tidak berhenti-hentinya mengangakan mulutnya, lantaran peristiwa itu lebih menyerupai tragedi, alih-alih hanya kesalahan semata.
"Bagaimana ini? Haruskah aku menghubunginya? Namun bagaimana jika dia meneriakiku sebagai gantinya?" gumamnya.
Lalu selagi matanya melirik ke arah meja asistennya, ia menghela napas dan menyandarkan punggungnya yang terasa berat ke sandaran kursi kerjanya.
"Aku akan membiarkannya sehari lebih lama lagi. Besok aku pasti akan menghubunginya." dalihnya yang selalu berkata 'besok', tanpa ia memiliki nyali untuk melakukannya saat ini juga.
Di tengah keheningan itu, ponselnya berbunyi, dan —betapa sangat terkejutnya dirinya— ketika ia melihat layar ponselnya, Nia melihat nama Elsie tercantum di sana. Perasaan cemas mulai menyerebak di dalam dirinya. Di dalam pikirannya, ia pun mulai berpikir 'bagaimana jika Elsie akan mencurahkan kemarahannya di panggilan telepon ini?'. Hingga setelah menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan sekarang, ia pun menjawab telepon Elsie.
"Halo?" ucap Nia hati-hati.
Tanpa menanggapinya, Elsie langsung masuk ke topik utama dan berbicara dengan dingin. "Mari kita bertemu."
Sore hari yang seharusnya menjadi waktu paling mambahagiakan baginya untuk berkemas pulang ke rumah, hari itu Elsie merasakan ada getaran gelisah di dalam perutnya.
Sepanjang perjalanannya menuju ke lokasi yang disebutkan Elsie, Nia merasakan kegugupan yang sangat jarang dirasakannya. Bahkan ketika ia sudah berada di lokasi, perlu baginya untuk mengumpulkan segenap energi keberanian agar dapat melangkah keluar.
Namun karena ia merasa perlu untuk menghadapi situasi, apapun resikonya, Nia akhirnya menghampiri Elsie dan duduk di kursi yang ada di hadapannya.
Tidak seperti dugaannya, Elsie terlihat terlalu diam. Dia bahkan tidak menunjukkan reaksi apapun atas kedatangannya, selain menatap kosong ke arah luar toko dan melamun. Namun dari ekspresi yang ditunjukkannya, Nia menjadi yakin kalau ada sebuah emosi kompleks yang yang jauh lebih serius daripada hanya sebuah kekesalan belaka, yang ia harapkan tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian pemakaman beberapa hari silam.
"Elsie?" panggilnya.
"Nia, bisakah kau melakukan sesuatu untukku?" tanyanya dengan nada yang lesu.
Nia adalah seorang yang setia kawan. Baginya tidak ada sesuatu apapun yang tidak dapat ia lakukan bagi sahabatnya. Jadi ketika Elsie menantangnya dengan bertanya begitu, ia dengan yakin menjawab, "Tentu saja. Katakan padaku, apa yang kau mau aku lakukan untukmu?"
Setelah terus menerus menatap ke arah lain, Elsie akhirnya memalingkan wajahnya dan memandang ke arahnya dengan wajah yang sangat serius. "Pecat pria itu dari pekerjaan menjadi asistenmu."
Kini setelah mendengar keinginan sahabatnya, Nia mulai merasa ragu dengan keyakinannya yang semula, karena ia tahu betapa kerasnya Alvan bekerja untuk dirinya selama ini.
Ia tahu, Alvan sudah melakukan kesalahan besar kemarin. Nia juga mengerti betapa malunya Elsie hari itu lantaran tindakan Alvan padanya. Namun tetap saja Nia merasa hukuman ini terlalu berat untuk Alvan.
Rupanya kebimbangannya ini terendus oleh Elsie, yang melihat seluruh isi pikirannya dari matanya. Dengan mata yang masih menatapnya dingin, dia menanyakan hal yang sangat sulit untuk ia jawab, "Kenapa? Kau tidak bisa? Meskipun aku sahabatmu, kau tidak bisa memenuhi satu keinginanku ini saja?"
Karena dia sudah mengetahuinya, Nia pun akhirnya berhenti menutupi keraguannya dan menghela napasnya keras-keras. "Elsie, kau tahu, dia adalah tulang punggung keluarganya. Karena itulah aku merasa kasihan padanya dan memilihnya menjadi asistenku dibandingkan orang lain."
"Aku sudah tahu. Aku tidak akan pernah menyuruhmu, tanpa sebuah persiapan."
"Sebenci itukah kau padanya? Ya, kau bisa mendendam padanya, tapi bagaimana dengan keluarganya?"
"Aku yang akan mengurusnya, kau hanya perlu memecatnya, itu saja." ucap Elsie sambil menghisap tehnya yang sudah mendingin di atas meja.
"Baiklah. Andaikan aku memecatnya, lalu apa yang akan kau lakukan setelahnya? Kau akan melihat kesengsaraannya dari jauh dan menikmati balas dendammu?"
"Nia."
Rupanya ia sudah terlalu banyak bicara dan membuatnya merasa kesal, hingga kini Elsie sedikit membentaknya. Namun dengan nada yang perlahan, Elsie kembali menyelesaikan ucapannya. "Kau tidak perlu khawatir dengan semua hal itu, karena aku merencanakan ini hanya agar dapat sedikit mendesaknya. Begitu saja."
"Mendesak?" Nia akhirnya menyadari kalau arah pembicaraan yang ia pikirkan dan apa yang Elsie maksudkan, sangatlah berbeda. "Apa maksudmu?"
Seolah sebuah monster keluar darinya, Elsie menunjukkan seringai yang membuat bulu kuduknya langsung berdiri. "Aku ingin menjadikannya suamiku."
Entah ini adalah kebencian yang menjadi cinta, ia tak mengerti kenapa temannya tiba-tiba menginginkan Alvan menjadi suaminya setelah semua yang terjadi hari itu. "Kau menyukainya?"
"Tidak." tegasnya yang Nia tahu kalau ucapannya sungguh benar dan tidak ada kebohongan dalam perkataannya. "Aku membencinya."
"Kalau kau membencinya, kenapa kau menginginkannya menjadi suamimu?" tanyanya yang mungkin akan juga ditanyakan orang lain jika mendengar pernyataan semacam ini.
"Karena aku membencinya." Sebuah luka tampak mengapung di permukaan mata Elsie, yang membuatnya tak bisa berkata apa-apa. "Karena aku tak mau lemah di depan sebuah hubungan. Aku menginginkan seorang suami yang dapat kubenci seumur hidup."
Mendengar alasannya, Nia menjadi tak kuasa lagi untuk berkata-kata.
"Apakah aku salah?" tanya Elsie, begitu melihatnya bungkam.
"Tidak. Hanya saja aku tidak mau kau berakhir tidak bahagia karena luka yang kau miliki."
Elsie memaksakan sebuah senyum dan mencoba terlihat kuat seperti biasa. "Justru sebaliknya. Aku akan bahagia karena luka yang kumiliki. Aku belajar dari luka ini dan tidak akan terluka lagi untuk kedua kalinya."
"Kuharap begitu."
Mendadak suasana mereka terlalu sepi dan menyedihkan, berbeda jauh dari kesan kemarahan yang ia rasakan ketika sampai di tempat ini. Mungkin karena luka ini.
"Jika kau berkata ingin mendesaknya, apakah itu artinya dia menolak?"
Elsie mengangguk. "Tentu. Jika dia langsung menerimanya, dia pasti tidak normal."
"Berarti dia mata duitan." lanjutnya.
Lalu Elsie menambahkan ucapannya. "Lalu aku pasti akan membatalkan lamaranku sesegera mungkin. Aku harus menghindari laki-laki yang mencintai harta."
"Jika itu kriteriamu, maka kau sudah memilih pria yang tepat."
"Benarkah?"
"Namun bagaimana jika dia tetap terus menolakmu? Bukankah kau harus menyerah dan mencari pria lain?"
"Tidak. Dia tidak akan selamanya menolakku. Aku pasti akan menciptakan situasi yang tepat agar dia menerimaku. Aku akan memaksanya."
Selagi mereka bersama-sama menatap jalanan, Nia terkekeh membayangkan situasi Alvan. "Tiba-tiba aku merasa sedikit iba padanya. Jika tahu akan menjadi seperti ini, seharusnya aku memperlakukannya lebih baik, dulu."
...****************...
Nia, Elsie dan Alvan naik ke panggung untuk foto bersama kedua mempelai.Namun entah hanya perasaanya saja atau memang seperti itu adanya, Nia merasakan ada yang ganjal dengan hubungan Nia dan Alvan. Memang ia tahu kalau mereka berdua berpandangan dengan tidak ramah di ruang pengantin, tapi ia tidak menyangka kalau masalah itu akan bertahan hingga acara pernikahan hampir selesai.Kini acara yang tersisa adalah pelemparan bunga.Semua orang bersiap di posisi dan Nia pun sedikit menyingkir ke sisi panggung untuk memberi Elsie ruang untuk dapat menangkap bunga.Satu. Dua. Tiga.Bunga pun terlempar dengan sangat anggun, tapi semakin dilihat, ada yang aneh dengan arah pelemparan bunga. Hingga tiba-tiba bunga itu mendekatinya dan jatuh di tangannya.Sontak hal tidak terduga itu membuat semua orang gempar dan bingung.Merasa dia bukan seharusnya yang berhak menerima bunga itu, Nia menatap Elsie yang seharusnya m
Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Elsie duduk seorang diri di salah satu bangku rumah makan yang dibawah naungan perusahaannya, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit. Sudah beberapa hari ia menetapkan untuk lembur beberapa hari di kantornya dan kini ia akhirnya keluar dari persembunyian setelah ia mengurung diri di dalam tembok kantornya. Semua ini karena bunga itu. Sungguh bunga yang sial. Bersamaan dengan kemarahannya yang kembali bangkit dari dalam hatinya, seorang pria yang ia benci selama beberapa hari ini malah muncul di depan wajahnya. Tidak perlu ditanya, Elsie pasti merasa marah. Dia sangat kesal hingga ketika Alvan mengambil duduk di depannya, ia berpaling ke arah lain seperti anak kecil. Namun masalahnya, ia tidak bisa menerima kekalahannya. Terlebih itu lantaran sebuah bunga sial yang malah terbang ke tempat yang salah. "Kenapa tidak pulang se
Di tengah hiruk pikuk pernikahan yang meriah, Alvan dan Elsie duduk berdampingan dengan suasana kesenyapan yang mencekam layaknya yang terjadi pada pasangan yang sedang bertengkar.Hal ini dimulai lantaran Elsie melihat bagaimana Eizel sangat menyukai Anna dan tidak ragu-ragu dalam melangsungkan pernikahannya. Perasaan irinya itu pun ia sampaikan kepada Alvan, yang meskipun tampak tidak tergerak sedikitpun setelah mendengarkannya, tapi sejak mendengar Elsie menceritakannya, perlahan ia mulai mempertimbangkannya hal disebut dengan pernikahan.Namun Elsie yang tidak sabaran, merasa kode halusnya itu tidak akan mempan untu Alvan yang pada pandangannya tidak sensitif, sehingga Elsie dengan memberanikan diri mengatakan secara gamblang pada Alvan tentang keinginannya untuk menikah.Apakah itu salah? Tentu tidak. Terlebih Alvan tahu seberapa sulitnya bagi Elsie untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan lebih dulu, dengan posisinya sebagai wanita. Itu adalah ke
Alih-alih menunggu Anna di pelaminan dan melihat dari kejauhan calon istrinya yang berjalan seorang diri menghampirinya, Eizel memilih untuk berjalan bersama istrinya menuju ke pelaminan.Dengan menggandeng wanita yang dicintainya, ia mengumbar senyum yang sangat lebar nan bahagia. Lalu dengan mata yang saling berkaitan dengan Anna, ia menunjukkan kepada semua orang kalau dirinya sangat beruntung memiliki wanita ini sebagai teman hidupnya.Hingga setiba mereka di pelaminan, mereka menjalani seluruh prosesi pernikahan dan dipenghujung acara, sang pembawa acara menyatakan bahwa mereka sudah resmi menjadi suami istri.Seketika ruang pernikahan itu menjadi amat riuh. Para tamu bertepuk tangan dan tak sedikit yang memberi sorakan atas status baru mereka.Di tengah kebahagiaan yang bertaburan seperti confetti, Eizel menatap langit-langit dengan tercengang.Hidup itu sebuah misteri...****************...~Du
Dengan gaun yang indah yang Nia kenakan di acara pernikahan, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu pengantin. Semua ini adalah salah dari dirinya yang bangun terlambat.Kemarin malam, usai mengatakan salam tidurnya, Nia lupa menyalakan alarm. Hingga, akibat dari perbuatannya, mereka pun jadi bangun terlambat. Hanya untung saja, pengantin wanita sudah bangun lebih dulu dan langsung pergi ke tempat di mana dia akan di rias.Namun di mana kawannya yang satu lagi, kalau tidak salah dia yang bertanggung jawwab dengan bunga buketnya. Lantaran dia menyekap bunga itu sejak pagi, yang katanya itu dia lakukan untuk dapat terhubung dengan bunga. Sehingga ketika pengantin wanita melemparkan bunganya nanti, dia dapat menangkapnya dan segera menikah.Baru dia pikirkan, suara temannya itu sudah terdengar dari kejauhan, meskipun di lobi itu sudah dipenuhi oleh tamu yang berbicara sendiri layaknya suara lebah."Nia."Dengan gaun merah men
~Lima bulan Kemudian."Untuk pernikahan besok. Bersulang.""Bersulang.""Bersulang."Tiga wanita itu pun saling menyatukan kaleng soda mereka, hingga berbunyi suara 'ting' dari permukaan kaleng mereka yang saling bersentuhan.Namun ketika mereka hendak meminumnya bersama, Elsie langsung mengurungkan niatnya dan meletakkan soda itu dengan tatapan sia-sia."Kenapa?" tanya Nia pada Elsie yang tampak kesal lantaran tidak dapat meminum sodanya.Selagi melihat tubuhnya, ia pun mengeluhkan lemaknya yang bertumbuh pesat. "Akhir-akhir ini berat badanku banyak naik. Jadi aku tidak bisa meminum ini dan membuat gaunku kekecilan."Mendengar alasan Elsie, membuat Anna dan Nia menghentikan aktivitas mereka. Hingga satu per satu mulai meletakkan kaleng sodanya."Benar juga." gumam Anna dengan menatap sedih minuman soda itu.Seusai kaleng soda, kini mata mereka tertuju pada makanan melimpah yang ditaruh di