“Apa kamu sendiri tidak yakin itu anak dari CEO kami?” Arianti menutup ponsel lipatnya dan kini beralih pada Jaima yang tengah duduk di sofa ruang tamu kontrakannya.
Dia terkejut karena tiba-tiba Arianti datang ke kontrakannya di malam hari, lebih terkejut karena Arianti tahu dimana dia tinggal. Jaima kini menatap wanita itu, semua kalimat yang keluar dair mulutnya penuh dengan keangkuhan juga mengecilkan pihak lawan bicara.
“Itu bukan urusan anda, ini janin saya. Tidak ada urusan dengan keluarga Mahatma.”
“Saya juga inginnya begitu, tapi tuan muda tetap ingin tahu.” Arianti menyela sebelum Jaima mengucapkan sepatah kata lainnya. Dia menyisiri rumah kontrakan kecil namun rapi itu, perabotan dengan warna kayu cantik juga ruangan yang wangi.
“Tolong jangan paksa saya-” Belum sempat Jaima meneruskan kata-katanya tangan Arianti terangkat di udara, dia memberi isyarat untuk Jaima berhenti bicara karena hendak mengangkat ponselnya yang berdering.
“Apa??! Baiklah, baik. Saya akan segera memindahkan Jaima segera.”
Jaima menatap kebingungan, memindahkan?
“Ayo kita bergegas.” Arianti menatap Jaima dengan wajah panik.
“Bergegas? Kemana?” Tanya Jaima kebingunga ketika dua orang bodyguard tiba-tiba masuk ke dalam rumah kontrakannya, padahal dua bodyguard itu sejak tadi hanya berdiam di dalam mobil saja.
“Kamu harus segera meninggalkan kontrakan ini sebelum para wartawan menyerbu. Kami akan menyewakan sebuah kamar hotel.”
Jaima masih belum mengerti namun dengan cekatan Arianti membawa keperluan Jaima seperti dompet juga ponselnya, wanita itu dipaksa masuk ke dalam mobil.
“Apa yang terjadi? Saya mau dibawa kemana?”
Jaima yang panik mulai menerka-nerka, apakah dia mau dibunuh?
Tidak ada jawaban, Jaima kini makin panik, peluhnya mengucur deras. Arianti dan dua orang lainnya terlihat tegang, mereka diam seribu bahasa. Tidak ada obrolan dan suara yang ditimbulkan, Jaima gelisah. Perjalanan tidak memakan waktu lama, mobil itu datang ke sebuah hotel bintang lima yang dekat dengan kontrakan Jaima.
“Bawa nona Jaima masuk lewat belakang.” Salah satu bodyguard itu berkata pada Arianti dan juga bodyguard lainnya, mereka memboyong Jaima yang masih tidak bisa menerka apa yang tengah terjadi.
Pintu kamar hotel terbuka, Jaima dipaksa masuk oleh Arianti dan dia terlihat gelisah mondar mandir. Jaima mulai merasa kepalanya pusing, dia berlari ke kamar mandi. Lagi-lagi memuntahkan isi perutnya yang kosong.
Dia belum makan sejak sore.
Jaima memapah dirinya sendiri keluar dari toilet ketika dia melihat sosok pria itu tengah duduk di sofa pojok kamar. Dia memakai kaos kasual, tidak tampak seperti seorang CEO yang tadi pagi Jaima temui.
“...Kenapa?”
“Kamu tidak melihat berita? Arianti, kamu tidak memberitahunya?” Hasbi bicara dengan nada agak tinggi.
“Maaf tuan, saya belum sempat. Setelah mendapat perintah saya buru-buru pergi.”
Hasbi menghela napas, meminta Arianti menyalakan televisi. Jaima masih terbengong-bengong dengan percakapan itu sampai dia akhirnya melihat berita yang kini disiarkan.
PUTRA TUNGGAL KELUARGA MAHATMA GROUP MEMILIKI SEORANG WANITA SIMPANAN DAN WANITA ITU KINI TENGAH HAMIL.
PUTRA TUNGGAL MAHATMA GROUP MEMBATALKAN PERTUNANGANNYA DENGAN PUTRI DARI KELUARGA JUNIAR GROUP.
Jaima terdiam di tempat, tubuhnya kaku melihat semua judul berita di televisi termasuk dengan beberapa potongan video serta foto dengan wajahnya yang disamarkan.
“Apa-apaan ini…” Gumamnya.
“Sudah kamu telusuri dari mana berita ini berasal?” Hasbi menoleh ke arah Arianti.
“Berita ini diambil dari salah satu wartawan yang hadir pagi tadi tuan, saya sedang menyelidiki wartawan mana yang dengan lancang menjual berita ini pada media.”
Hasbi memijat keningnya, dia melirik ke arah Jaima yang masih mematung, matanya menatap televisi dengan nanar.
“Kamu tidak bisa bekerja dulu..”
Jaima menoleh mendengar hal itu, dia menggeleng. “Tidak, tidak bisa, aku harus pergi bekerja. Aku tidak bisa meninggalkan satupun pekerjaanku.”
“Kamu tidak lihat bagaimana kamu diberitakan di media?!”
“W-wajahku, wajahku tidak terlihat..”
“MASYARAKAT TIDAK SEBODOH ITU! INI HANYA WAKTU DIMANA MEREKA BISA MELACAK WAJAHMU DENGAN SEGERA!” Hasbi berteriak dengan kencang pada Jaima yang langsung terdiam, matanya kini berkaca-kaca.
“Arianti, kamu sudah meyakinkan bahwa anak yang dia kandung adalah anakku?”
“Pak..”
“JAWAB!”
“Saya tidak pernah tidur dengan siapapun…” Suara Jaima yang bergetar menghentikan bentakan Hasbi, pria itu dan juga Arianti mengalihkan perhatian mereka pada Jaima yang menunduk. “Saya tidak pernah jual diri, malam itu adalah malam pertama saya melakukan hal itu…”
“Kalau begitu itu sudah jelas anakku.”
“Tuan muda..”
“Tapi…” Jaima mengangkat wajahnya, menatap Hasbi dengan airmata yang mengalir. “Aku gak mau kamu mengambil anak ini, anak ini tidak ada kaitannya denganmu.”
Hasbi membelalakkan matanya mendengar perkataan Jaima. Harga dirinya mendadak seperti tercoreng begitu saja dengan kalimat yang Jaima ucapkan.
“Apa maksudmu?”
“Kamu gak ada hak dengan anak ini..”
“Kamu-”
Arianti menghentikan Hasbi yang baru saja membuka mulut, wanita itu memperlihatkan ponselnya yang berdering. Tanaya. Sedangkan Hasbi juga merasakan ponselnya bergetar, Mama.
Dua orang yang tidak ingin dia hadapi sekarang ini sudah menghubunginya sedangkan permasalahan dengan wanita di depannya saja belum selesai. Hasbi menghela napas, dia pribadi belum tahu apa yang harus dilakukan.
Dia hanya ingin memiliki anak di rahim wanita itu, tapi di sisi lain dia juga bingung harus menghadapi kedua orang itu.
“Arianti, siapkan pesta pernikahan.”
Wanita itu menoleh dengan tatapan terkejut, “Maksud tuan? Pernikahan siapa?”
“Pernikahanku dengan wanita yang paling lancang yang saya temui ini.”
Kini, bukan hanya Arianti yang terkejut setengah mati tapi juga Jaima. Isi kepalanya sudah berkecamuk, dia tidak dapat lagi berpikir jernih, kepalanya berputar-putar tidak karuan.
dan , BRUKK. Dia pingsan.
Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti
Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau
Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang