Jaima bekerja paruh waktu lebih banyak untuk memenuhi ekonomi keluarganya, dia harus membiayai pengobatan ibunya yang menderita demensia. Jaima baru saja mulai bekerja di sebuah hotel ketika dia dengan terpaksa tidur dengan seorang pria yang ternyata adalah President sebuah perusahaan. Dia kemudian mengandung anak dari pria itu namun seluruh keluarga pria itu tidak menyukainya, dia menyetujui pernikahan tersebut karena si pria menginginkan anak dan Jaima membutuhkan uang untuk membiayai ibunya.
View More“JAIMA!” Pekikan nyaring itu menyambut Jaima ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah, Rama yang tengah berada di dalam pelukannya terlonjak kaget dan menangis dengan kencang. Tubuh Jaima bereaksi, dia gemetaran.
“BERLAGAK SEPERTI NYONYA BESAR KAMU RUPANYA!” Seorang wanita paruh baya turun dari tangga, dia menatap Jaima dengan mata melotot serta sinis, bibir dengan gincu merahnya menambah kengerian.
Jaima menunduk, dia berusaha menenangkan Rama yang menangis kencang di dalam pelukannya, juga berusaha untuk merespon si wanita paruh baya itu.
“Saya dengar kamu meminum teh mahal di tempat kesukaan saya bersama dengan seorang rakyat jelata?!”
“Maafkan saya, Ma.”
“SAYA SUDAH BERULANG KALI MENGATAKAN PADAMU UNTUK TIDAK MEMANGGIL SAYA MAMA KECUALI BERADA DI DEPAN PUBLIK!”
Hardikan itu kembali membuat Jaima bergetar, suara tangisan Rama memecah konsentrasinya. Dia ingin segera masuk ke dalam kamar dan berduaan dengan anak semata wayangnya. Dia tidak ingin mendengar jeritan sekarang.
“SAYA BERIKAN AKSES KAMU UNTUK PERGI KEMANAPUN BUKAN BERARTI KAMU BISA SEENAKNYA MENGAJAK ORANG LAIN MENIKMATI UANG SAYA!” Gelegar suara itu membuat beberapa pekerja meringkuk ketakutan.
Jaima baru saja kembali dari pertemuan dengan sahabat kecilnya Sitha, pertemuan yang sudah begitu lama. Jaima menghabiskan waktunya di sebuah tempat minum teh elite, itupun atas permintaan asisten pribadinya karena tidak ingin Jaima pergi ke tempat yang mengundang mata publik untuk melihatnya.
Sejak dia menikah, Jaima tidak pernah bertemu dengan orang yang mengenalnya. Semua jadwalnya sudah diatur oleh keluarga Mahatma. Tidak ada lagi pertemuan singkat ataupun bicara melalui telepon dengan teman dekatnya.
Ini kali pertama namun apa yang dia dapatkan malah lebih parah.
“B-baik, nyonya.. Maafkan saya..” Jaima berdesis, suaranya nyaris tidak keluar karena tercekat di tenggorokan. Rasa takut itu seperti menelan nyalinya bulat-bulat, dia menunduk dan semakin menunduk ketika wanita tua itu selangkah demi selangkah mendekat.
Peluhnya mulai keluar dari kulit kepala.
Tangisan Rama mulai mengisi seluruh pendengaran Jaima, seolah-olah seisi ruangan hanyalah tangisan si anak yang berusia satu tahun. Dia ingin menenangkan Rama namun dirinya sendiri butuh ditenangkan.
“BISING! BERISIK! ANAK SIALANMU MEMBUAT RUMAH INI BERISIK!”
Jaima merasa dadanya begitu sesak, kupingnya berdengung dan pandangannya mulai berbayang. Dia masih berusaha untuk menenangkan Rama yang bergeliat di dalam pelukannya, anak itu menangis semakin kencang.
Dia butuh pegangan, dia butuh memegang sesuatu agar tidak jatuh. Keseimbangannya mengusiknya.
Telinganya kembali berdengung, seperti mendapat tekanan dari kanan dan kiri.
Tiba-tiba sebuah genggaman tangan seorang pria yang besar dan kencang membuat dia kembali pada sadarnya, Rama dengan mudah diambil oleh pria itu. Jaima berusaha untuk memfokuskan kembali semua indera yang dia punya, ketika dia menoleh pria itu berdiri di sampingnya.
Menggendong anak mereka.
Rama masih menangis, namun dekapan pria itu berhasil menenangkannya.
“Berhenti mengoceh ma, Rama kaget dan ketakutan.” Ucap pria itu dengan suara rendah dan dalam, dia bicara sambil menimang bocah itu di dalam pelukannya. Rama terisak, airmatanya terlihat mengalir ke pipi.
Wajah pria itu terlihat khawatir menatap si kecil Rama.
Satu kalimat dan wanita tua itu tidak bicara lagi, seorang asisten kemudian mengajaknya kembali ke dalam kamar setelah membuat onar dengan berteriak-teriak di ruang tengah.
Ruangan menjadi hening sesaat.
Jaima terengah-engah dia masih berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Isi kepalanya kosong dan yang dia inginkan hanya pergi ke kamarnya, dia ingin pergi dari tatapan para karyawan yang kasihan padanya.
“Kamu seharusnya sudah terbiasa dengan hal itu..” Pria itu bersuara, Hasbi. Dia melirik ke arah Jaima yang peluhnya sudah keluar berbulir-bulir.
“A…Aku hanya sedikit terkejut.” Terbata, Jaima berusaha memberikan respon pada suaminya.
Hasbi tidak bicara apapun lagi, pria itu hanya menghela napas sambil berlalu meninggalkan Jaima seorang diri dengan Rama di dalam gendongannya. Punggung Rama ditepuk-tepuk pelan olehnya.
“Sayang, ayah disini. Jangan menangis lagi Rama sayang..” Bisiknya sambil melangkah naik keatas tangga.
Seorang wanita muda menghampiri Jaima, aroma tubuhnya yang wangi membuat Jaima menoleh.
“Lagi-lagi seperti orang bodoh saja, kamu seharusnya sudah lama pergi dari rumah ini. Diperlakukan tidak baik malah bertahan, bodoh.”
Jaima mematung, wanita yang wajahnya bak dipahat oleh seorang seniman itu menatapnya sinis dan terkekeh berlalu mengekor Hasbi.
Tanaya. Dia adalah mantan tunangan suaminya.
“Nyonya..” Imas asisten pribadi Jaima kemudian membantunya untuk duduk, berusaha menenangkannya. Jaima masih berusaha untuk mengambil napas banyak-banyak karena rasa panik yang menyergap, airmatanya sudah diujung namun enggan untuk keluar kali ini.
“Nyonya, ayo minum dulu..” Imas menyodorkan bibir gelas yang kemudian disesap perlahan oleh Jaima.
Para pekerja disana terkesan acuh, namun beberapa dari mereka merasa iba. Sudah hampir dua tahun Jaima berada di rumah ini sebagai nyonya rumah, namun kehadirannya tidak pernah dianggap kecuali ada tamu ataupun wartawan.
Dia diinjak-injak, diintimidasi dan diabaikan layaknya benda tidak berguna.
“Tolong bawa Rama ke kamarku kalau bapak sudah pergi…” Bisik Jaima pada Imas yang mengangguk pelan.
Jaima meneguk habis isi di dalam gelas, kepalanya masih terasa berputar namun dia beranjak dari ruang tengah pergi ke kamarnya sendiri. Melewati kamar Rama dia bisa mendengar celotehan dan gelagak tawa Tanaya, hatinya perih, rasanya begitu sakit. Perlahan dia menutup pintu kamarnya dan menangis.
Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti
Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau
Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments