Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga
Aku hanya menunduk, bukan karena pasrah dengan tuduhan Dewi yang terang-terangan menyudutkan pekerjaanku. Kutahan kuat-kuat emosi dengan meremas kedua jari tanganku. Beruntung, Sari menenangkanku dengan menggenggam tanganku yang sedang meremas. Setelah tenang aku menatap Dewi tanpa rasa bersalah. “Baik, saya kerjakan ulang,” kataku tanpa ingin menyebut nama atau sebutan sebagai Bos di sini. Kulihat sudut bibir Dewi mencebik mengejek. Kenapa dia jadi berubah di depan orang-orang? Apa ini memang sifat Dewi? Kemana kebaikan yang kemarin ditujukan kepadaku? Pikiran penuh dengan pertanyaan tentang siapa Dewi sesungguhnya. “Bagus, dan ingat! Jangan sampai aku dengar perusahaan ini merugi hanya karena karayawan baru yang tidak becus kerjaannya.” Dewi menatap kearah Sari, “Sari, jangan kamu lindungi dia!” perintah Dewi dengan menunjuk ke arahku. “Ta-tapi, Mbak … Ri-“ ucap Sari terpotong. “Mau aku pecat kamu?! Dengar, selama aku di sini tidak ada yang boleh membantah perintahku, NGERTI SEM
Ancaman Alvian ternyata tidak terbukti. Selama beberapa hari semenjak dia berkunjung ke perumahan tidak ada yang mengangguku. Masa bodoh jika dia mengawasi pergerakanku dari tempat tersembunyi, kurang kerjaan saja pikirku. Dia bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dariku tanpa bertanggung jawab dengan janin yang ada di perutku. Jika mengiginkan aku masuk penjara atas tuduhan membunuh Yeni, pasti sekarang aku sudah di kantor polisi. Tapi nyatanya dia tidak menyeretku ke sana. Semoga pikirannya berubah. Selama beberapa minggu, aku bergulat dengan ketidakpastian dan kecemasan. Ia tidak ingin mendapatkan rasa kasihan atau kecewa dari keluarga kuputuskan untuk tidak memberitahu soal kehamilanku kepada mereka. Dalam diamku mencoba mencari solusi sendiri. Dengan membaca banyak buku dan mencari informasi tentang kehamilan. Perubahan fisik semakin terlihat. Sejauh ini teman-teman tempatku bekerja belum ada yang bertanya tentang hal. Bersyukur mempunyai patner kerja seperti Sari dan Joko. B
Hampir setiap hari selama dua minggu, Dewi terus menghajarku dengan pekerjaan yang tidak masuk akal dan tidak ada rasa belas kasih sama sekali. Aku hanya bertahan sembari memikirkan langkah yang kutempuh selanjutnya. Sari mencoba mencari tahu tentang kedudukan Dewi yang sebenarnya di perkebunan kopi yang luas ini. “Kamu tenang saja Ri. Aku akan tanyakan kepada orang yang bertanggung jawab penuh dengan perkebunan. Aku tidak percaya jika Mbak Dewi punya kuasa penuh di sini. Kita bisa laporkan ini kepada atasan kalau dia sudah menyalahgunakan jabatan,” hibur Sari. "Terima kasih, Sar. Hanya kalian yang tahu masalahku di sini. Tapi mengenai anak yang kukandung ini aku …” ucapku terpotong dengan kedatangan Alvian yang tiba-tiba di kantor. Semua terbelalak melihat sosok tampan yang berdiri di depan pintu. Tatapan tajam menuju ke arahku. “Apa kalian terganggu dengan pekerjaan kalian dengan kedatanganku?” tanya pria itu dengan tegas. “Tidak, tidak. Pak. Kami hanya terkejut saja dengan ked
“Hoek … hoek ….” Hampir setiap pagi aku selalu muntah selama berjam-jam. Hal yang terlintas di otakku menatap foto pernikahanku dengan Alvian yang masih kusimpan di galeri ponsel. Konyol, tapi itulah yang terjadi padaku setiap hari, morning sicknes. “Ri, sudah siang. Gimana kondisimu, apa masih lemas?” tanya Sari memberondong pertanyaan. “Sudah baik kok. Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.” Kemudian setelah membersihkan diri dari kekacauan pagi bergegas ganti pakaian. Tiba-tiba tubuhku terasa sehat dan tidak terasa jika aku menuntahkan semua isi perutku tadi pagi setelah kutatap lagi foto pernikahan kami. Semangat untuk bekerja bangkit dan menyusul Sari yang sekarang di ruang tamu. “Wajah kamu masih pucat, Ri. Apa sebaiknya kamu istirahat dulu. Kebetulan Mbak Dewi hari ini tidak datang,” saran Sari. “Tidak, aku sudah sehat. Ayok, berangkat!” Tanpa melihat apa yang ada di tas kerja aku berangkat bersama dengan Sari. Jika biasanya aku yang cerewet dengan barang Sari, tapi kali
“Ri … Riana … bagaimana kondisimu?” tanya Alvian setelah mobil berhenti. Pikiranku belum sepenuhnya sadar dengan kondisi kami. Mobil masih berdiri dengan tegak di tepi jalan. Sedangkan di sebelah kanan tampak truk kopi berhenti. Kuusap wajah dengan kasar, tanganku beralih ke perut yang masih rata. “Semoga dia baik-baik saja,” batinku. Alvian termangu melihat gerakan tanganku. Secara reflek dia ikut mengusap perut yang masih datar. Aku membiarkannya. Anakku tampak tenang tidak setegang waktu mobil terbentur pembatas jalan. Tampak dari luar sopir truk mendekat. Alvian segera menyingkirkan tangan dan membuka kaca mobil. “Apa kalian baik-baik saja,” tanya sopir truk melirik ke arahku. “Kami baik-baik saja, lain kali kalau nyetir hati-hati,” balas Alvian. Mereka keluar dan berbicara agak lama. Kulihat sopir mengeluarkan sesuatu di dalam dompet, tapi Alvian menolak. Dia mengetik sesuatu di ponselnya. Mereka lantas naik kendaraan masing-masing. Tampak dari kejauhan sopir truk melihat k
Terdengar suara berisik mengganggu kenyamanan saat mata terpejam. Aku mataku memicing kepala terasa berdenyut, pusing. Berusaha bangkit dari tempatku terbaring, tapi tubuhku terasa lemas. Tangan kokoh menahan bobot tubuh membuatku terkejut seketika membuka mata. “Tuan Alvian,” ucapku lirih. “Hemm, diamlah. Kamu aman di dalam rumah.” Mataku berkeliling mencari tahu keberadaan Sari temanku. Aku tidak ingin timbul Fitnah diantara kita. Lega, ada Joko sedang duduk di kursi tamu memainkan ponselnya. Segera kugeser tubuh agar menjauh dari Alvian. Rupanya lelaki itu sadar, jika aku menjauhinya. Dia dengan memohon agar aku tidak menolak pertolongan yang diberikan. Dengan berkata lembut, dia berusaha memohon kepadaku. “Ri, tolong jangan tolak pemberianku. Tak apa jika kamu belum bisa menerimaku. Aku sadar aku salah. Tapi ini demi anak kita,” pintanya. “Anak saya, Tuan. Saya tidak ingin membuat masalah dengan Nyonya Weni dan Dewi. Keluarga saya sudah aman dari kekejaman kalian selama ini.