"Nyonya Sarah yang menyuruh saya membiarkan Nona Muda pergi membawa mobil sendirian. Saya tidak tahu bahwa Nona sedang hamil!"Pasca kejadian, sopir baru mengetahui bahwa Emily hamil dan mengalami keguguran. Hal itu membuatnya merasa sangat bersalah karena telah menuruti perintah Sarah untuk membiarkan Emily membawa mobilnya sendirian."Bukannya Emily yang memaksa membawa mobil?" Arnold teringat bahwa Sarah mengatakan Emily sengaja ingin membunuhnya dengan menabrakkan mobilnya. Itu berarti Emily yang seharusnya mengatur, bukan Sarah."Apa kau yakin Sarah memintamu membiarkan Emily pergi sendirian? Lalu siapa yang pergi lebih dulu pagi itu? Sarah atau Emily?""Saya lupa-lupa ingat, Tuan. Kalau tidak salah, Nona Emily."'Emily?' batinnya. Itu agak berbeda dengan yang ada di bayangannya. Seharusnya Sarah yang pergi lebih dulu karena menurut pengakuan Sarah, dirinya ditabrak dari belakang oleh Emily."Ah sudahlah, untuk apa aku memusingkannya!" gumamnya sambil berlalu.Arnold masuk ke dal
"Sungguh meresahkan!" desah Arlen sambil menuju wastafel, wajahnya mendadak panas. Ia membuka keran dan membasuh wajahnya beberapa kali, berharap air dingin bisa meredakan panas yang tiba-tiba menjalar ke seluruh wajahnya. Ingatan akan kejadian barusan masih segar di benaknya. Pemandangan yang tak sengaja tertangkap oleh matanya membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Sementara itu, di dalam kamarnya, Emily dengan wajah merah padam segera membetulkan kancing bajunya yang terbuka. Tidak hanya satu, tapi dua! Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini. "Kenapa kamu bodoh sekali, Emily! Jangan-jangan dia berpikir aku sengaja menggodanya? Ya ampun, bagaimana ini? Aku malu sekali!" gerutunya sambil membenamkan wajah ke bantal. Rasa malu itu begitu besar hingga ia ingin bersembunyi selamanya. Tapi sayangnya, ia tak bisa melakukan itu. Sebentar lagi jam makan siang, dan ia harus keluar untuk menyuapi Nyony
Mike meletakkan amplop cokelat besar di atas meja, tepat di hadapan Arlen. Namun, Arlen tidak langsung mengambilnya. Ia hanya menatap benda itu dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Bukalah, Tuan. Firasat saya ternyata benar. Anda pasti akan terkejut setelah melihatnya!" ujar Mike dengan nada serius. Mendengar ucapan itu, Arlen akhirnya mengambil map yang ada di hadapannya dan dengan cepat membukanya. Matanya menyipit begitu melihat isi di dalamnya—sebuah foto yang memperlihatkan Emily bersama saingannya, Arnold. Rahangnya mengeras. Tangan yang memegang foto itu sedikit menegang. "Bisa kau jelaskan apa ini, Mike?" tanyanya, rasa penasaran mulai menguasai dirinya. Mike menarik napas sebelum menjawab. "Seperti yang Anda lihat, Nona Emily adalah istri Tuan Arnold. Tapi bukan istri pertama atau satu-satunya. Dia adalah istri kedua." Arlen mengerutkan kening. "Istri kedua? Mereka menikah secara resmi?" Rasa penasaran itu semakin besar, karena setahunya Arnold adalah lelaki yang
Arnold memejamkan matanya sejenak, mencoba meredam amarah yang bergelora dalam dadanya. Namun, emosi itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan gerakan kasar, ia meraih gagang telepon kabel di mejanya dan menekan tombol cepat. "Ke ruanganku sekarang!" perintahnya tanpa basa-basi. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup telepon, seolah keberatan mendengar suara siapa pun saat ini. Tak butuh waktu lama, suara ketukan terdengar di pintu. Tok… Tok… "Masuk!" suara Arnold terdengar tajam. Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi melangkah masuk dengan sikap profesional. Robert, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Arnold, berdiri tegap di hadapan bosnya. "Siap, Tuan!" ucapnya, suaranya stabil, tanpa ekspresi berlebihan. Arnold menarik napas dalam, lalu dengan gerakan cepat, ia merapikan kembali surat gugatan cerai yang baru saja ia remas sebelumnya. Matanya masih menatap dokumen itu dengan penuh ketidakpercayaan. Bisa-bisanya Emily yang lemah lembut mengajukan gugatan cerai.
Robert menunduk hormat sebelum keluar dari ruangan Arnold. Sepeninggal Robert, Arnold masih duduk di kursinya, memikirkan kembali perkataan asistennya. "Kenapa aku menahannya? Karena aku menginginkannya melahirkan anak untukku, bukankah itu sudah jelas? Kenapa Robert malah mempertanyakannya?" Arnold menghela napas panjang, berusaha mengabaikan kebingungan yang muncul dalam benaknya. Ia kemudian kembali larut dalam pekerjaannya, mencoba menekan segala pikiran yang mengganggu. --- Sementara itu, di Sebastian Building Corp—atau lebih dikenal dengan nama SBC, perusahaan kontraktor yang dibangun oleh mendiang kakek Arlen—suasana tetap sibuk seperti biasa. SBC adalah perusahaan terbesar kedua di industri konstruksi, hanya berada di bawah Maurer Corp, yang dipimpin oleh Arnold. Kedua perusahaan ini terus bersaing, terutama dalam merebut proyek-proyek besar. Namun, persaingan mereka juga membuat dunia kontraktor semakin kompetitif, menjadikan mereka dua perusahaan terbaik di bidang
"Itu... tadi saya sedang memijat kaki Nyonya dan tidak berani langsung kemari!" jawab Emily terbata, napasnya sedikit tersengal karena tergesa-gesa. "Ya sudah, lupakan saja. Cepat duduk! Ada hal yang ingin aku sampaikan!" Emily segera masuk, diikuti Arlen yang berjalan di belakangnya. Mereka duduk berseberangan, suasana di antara mereka terasa tegang. "Begini, Emily!" Arlen mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan menyodorkannya kepada Emily. Emily menatap benda itu dengan ragu. "Apa ini, Tuan?" tanyanya pelan. "Buka saja!" Tangannya sedikit gemetar saat Emily membuka amplop tersebut. Matanya menelusuri isi dokumen di dalamnya, membaca setiap kata dengan perlahan. Setelah selesai, dia menunduk dalam, ekspresinya sulit ditebak. "Kau ingin membalaskan dendammu, bukan? Aku akan membantumu, Emily!" suara Arlen terdengar mantap. Emily menggeleng lemah. "Ini tidak akan berlaku, Tuan. Tuan Arnold memegang surat perjanjian hitam di atas putih tentang pernikahan kontrak kami. Saya
Arlen sudah tahu bagaimana Arnold di dunia bisnis, jadi tidaklah mudah untuknya membantu Emily lepas dari Arnold jika Arnold mempertahankan Emily. "Untuk saat ini kau tidak perlu memikirkan apa-apa, cukup rawat nenekku sebaik mungkin!" Emily mengangguk, di sapunya kedua pipinya yang basah. Emily menegakkan kepalanya dan menatap Arlen yang sedari tadi terus menatapnya. "Terima kasih Tuan Arlen! Saya hanya ingin hidup saya damai. Saya tahu betul tidak mungkin mengembalikan masa lalu yang sudah hancur, terlebih mengembalikan kehadiran kedua orang tua saya." "Ya, kau benar. Aku tidak akan bisa mengembalikan kebahagiaanmu yang dulu, tapi aku akan berusaha membuat ke depannya jauh lebih baik." Tanpa sengaja Arlen mengucapkan janji untuk melindungj Emily. Melihat Emily yang kehilangan kedua orang tuanya dan tidak memiliki siapa siapa lagi ditambah hidupnya yang tragis di tangan Arnold, membuatnya iba. Ya hanya perasaan iba, tidak lebih. "Kembalilah menemani nenek, dia pasti kesep
Arnold kembali ke ruangannya setelah mengantarkan Sarah ke mobilnya. Baru saja ia memasuki ruangan, permintaan Sarah untuk menceraikan Emily kembali berkelebat dalam benaknya. "Apakah aku harus menceraikan Emily?" Arnold menggeleng, ada perasaan tidak rela kalau harus melepaskan wanita itu, tapi apa alasannya Arnold sendiri juga tidak tahu. Arnold urung duduk, ia melangkah menuju lemari penyimpanan berkas dan meraih amplop yang berisi surat gugatan cerai dari pengadilan. Dibukanya amplopnya, Arnold hendak membaca kembali isi surat gugatan itu, tapi saat ia mengeluarkan suratnya, beberapa lembar foto ikut terjatuh. Arnold menunduk, dipungutnya foto-foto tersebut satu per satu. Nafas Arnold rasanya tercekat di tenggorokan saat menatap wajah lugu Emily. Ia sangat cantik bahkan tanpa make up sekalipun. Satu per satu ditatapnya foto istri keduanya tersebut, hampir di semua foto Emily tersenyum manis, Arnold benci mengakuinya tapi Emily memang sangat cantik padahal latar foto itu sa
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.
Emily beranjak dari duduknya sambil membawa nampan berisi piring kosong. Lama-lama di dekat Arnold bisa membuatnya darah tinggi, jadi menghindar lebih baik daripada harus bertengkar untuk sesuatu yang tidak jelas. "Sayang, tunggu dulu!" Arnold bergegas mengejar Emily setelah menarik jas dan tas kerjanya. Dengan langkah kakinya yang lebar, secepat kilat Arnold sudah berada di sisi Emily. "Jangan bilang kau marah lagi padaku?" tanya Arnold penuh selidik. Lebih tepatnya Arnold takut istrinya marah lagi karena perkataannya barusan. "Aku marah kalau kau menuduhku berselingkuh." "Aku tidak menuduhmu, aku hanya menceritakan fenomena yang sekarang sering terjadi. Tapi aku percaya kamu," ucapnya sembari memeluk Emily dari belakang. Emily menoleh, Arnold pun tidak melewatkan kesempatan mengulum bibir ranum itu. "Syukurlah!" jawab Emily singkat, setelah Arnold melepaskannya. Emily melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk meletakkan piring kotornya, sementara itu Arnold menunggunya di
Arnold semakin merapatkan tubuhnya ke arah Emily. Hanya handuk yang melilit di pinggangnya, mempertegas keintiman yang memanas di antara mereka. "Karena sudah menolakmu," bisik Emily lirih, penuh penyesalan. "Kau ingin meminta maaf untuk itu?" gumam Arnold, matanya menyala penuh gairah. "Bagaimana kalau kau membayarnya pagi ini?" lanjutnya seraya menggigit pelan cuping telinga Emily. Seketika tubuh Emily menegang. Sensasi yang merambat cepat dari telinganya ke seluruh tubuh membuatnya menggigit bibir bawah agar desahannya tak lolos keluar. Ia tahu, ia takkan bisa menolak terlalu lama. Melihat Emily memejamkan matanya, Arnold menurunkan bibirnya ke rahang halus istrinya, mengecup perlahan. “Arnold!” desah Emily akhirnya pecah, napasnya tercekat oleh gelombang rasa yang mulai menguasainya. Dengan lembut tapi pasti, Arnold mengangkat tubuh Emily dan menurunkannya perlahan ke atas tempat tidur mereka. Ia kembali mengecupi leher jenjang yang begitu ia kagumi, jemarinya mulai bergerak
Arnold menjauhkan wajahnya agar bisa menatap Emily lebih jelas, sorot matanya penuh tanya, berusaha menangkap maksud tersembunyi dari pertanyaan sang istri. "Harus memilih? Tidak bisa keduanya?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh tekanan, memperjelas apa yang barusan dikatakan Emily. "Iya, kamu harus memilih salah satunya, tidak boleh keduanya," jawab Emily dengan nada tegas, tanpa keraguan, seolah sudah memikirkannya matang-matang. Helaan napas berat keluar dari dada Arnold. Ia menarik tubuh Emily ke dalam pelukannya lagi, kali ini lebih erat, seolah takut kehilangannya jika melepas. Ia menundukkan kepala, bibirnya hampir menyentuh telinga Emily saat ia berbicara lirih. "Sulit, aku tidak bisa memilih, dua-duanya aku sayangi dan aku cintai. Mama adalah wanita yang melahirkanku, sampai kapanpun aku memiliki hutang budi yang tidak bisa aku bayar dengan apapun. Kamu, istriku, wanita yang akan menemaniku hingga aku menutup usia. Keduanya punya kedudukan masing-masing yang sama k
"Emily, bicaralah. Kalau Arnold sudah berubah, kau abaikan saja pesan mendiang ibumu." "Aku mencintainya, Sera!" Bulir bening itu akhirnya jatuh juga, Emily tahu Arnold bersalah, tapi rasa cintanya yang begitu besar membuatnya mengabaikan semuanya. Sera kembali memeluk erat Emily dan mengusap pundaknya pelan. "Kau yang menjalaninya, kau tahu mana yang terbaik untukmu, Emily. Kalau kau bilang dia sudah berubah, tidak ada salahnya kau memberinya kesempatan." Sera mencoba untuk bijak, walaupun sebenarnya dia tidak setuju Emily kembali kepada Arnold. Bagi Sera, salah Arnold terlalu banyak dan tak termaafkan. "Sera, apa ibuku meninggalkan pesan yang lain?" Sera menggeleng pelan. "Tidak ada, hanya itu. Tapi dia bilang sangat merindukanmu, dia ingin bertemu denganmu saat itu. Ngomong-ngomong kamu kabur kemana?" "Aku keluar Kota, aku bersembunyi tapi akhirnya aku terpaksa keluar karena uangku habis. Ini salahku, Sera. Harusnya aku tidak lari kalau ujung ujungnya begini. Arnold m