Arnold menoleh mencari asal suara. Dia lantas memalingkan wajahnya begitu tahu siapa yang barusan berbicara. "Kenapa? Kau marah istri kesayanganmu kukatai terkutuk?" Nyonya Ruby menarik kursi di sebelah kursi Arnold. Dia menatap tajam ke arah putra sulungnya yang sudah diracuni otaknya oleh wanita licik itu. "Mama sudah pernah bilang, dia tidak sebaik yang kau pikir Arnold!" Arnold tidak bergeming, tatapannya tampak kosong. "Sekarang ceraikan dia, cari Emily dan minta maaflah!" Nyonya Ruby sudah lama mencurigai Sarah, hanya saja dia tidak mempunyai bukti apa apa. Dan memang sejak awal dia tidak setuju dengan pernikahan Arnold dan Sarah, namun kala itu Arnold memaksa, sehingga Nyonya Ruby tak berkutik. Karena Sarah tidak kunjung hamil, Nyonya Ruby pun mencarikan istri kedua, tidak hanya agar Arnold memiliki keturunan, namun tujuan utamanya adalah agar Arnold mendapatkan istri yang baik. Emily sendiri bukanlah wanita asal asalan yang dipilihkannya. Nyonya Ruby mengenal E
"Sebentar lagi kau akan mengetahuinya!" Sarah mengerling nakal, bibirnya melengkung dengan senyum penuh arti. Rio menatapnya dengan penuh selidik sebelum akhirnya menghela napas. Dengan gerakan tergesa, ia melepas satu-satunya pelindungnya, seolah waktu adalah musuh yang harus dikalahkan. Ia tidak ingin berlama-lama, tidak ingin membuang kesempatan yang sudah di depan mata. Sarah tersenyum tipis, matanya bersinar puas setelah apa yang terjadi di antara mereka. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, sementara Rio duduk di sampingnya, mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil. "Jangan cap jempol, harus tanda tangannya!" kata Sarah tiba-tiba, suaranya kembali terdengar serius. Rio meliriknya, lalu tertawa kecil. "Oh ya?" tanyanya dengan nada menggoda. Sarah mengangguk. "Iya." "Susah ya?" Rio menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi di wajah wanita itu. Sarah menghela napas panjang. "Entahlah, sepertinya tidak akan sesulit itu. Aku akan membuatnya mabuk te
Robert menatap punggung Sarah yang berjalan angkuh ke arah lift. Wanita itu selalu berjalan seolah dunia ada di bawah kakinya, penuh percaya diri dan tanpa rasa takut. Robert mengikutinya dalam diam. Begitu sampai di depan lift, Sarah menekan tombol dengan kasar. Pintu lift terbuka, dan tanpa menunggu, ia segera masuk. Robert menyusul, berdiri tepat di sampingnya. Sarah melirik sekilas, merasa terganggu dengan keberadaan pria itu. Dengan ekspresi penuh ketidaksukaan, ia melangkah maju, menempatkan dirinya di depan Robert—sebuah isyarat jelas bahwa ia tak ingin dekat-dekat dengannya. Hening menyelimuti lift, hanya suara pelan dari mesin yang membawa mereka turun. Tapi keheningan itu tak berlangsung lama. "Sejak kapan pembeli mengurus sendiri surat-surat pembelian apartemen?" Suara Robert terdengar dalam dan dingin, membuat Sarah refleks menyipitkan matanya. 'Lancang sekali karyawan Arnold yang satu ini!' batinnya geram. Sarah memutar tubuh sedikit, menatap Robert dengan sinis. "A
Siang itu, suasana ruang makan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Biasanya, Nyonya Audrey lebih suka menikmati makan siangnya di kamar atau di samping kolam dengan udara sejuk yang menemaninya. Namun, hari ini ia memilih duduk di meja makan, bersama dengan cucunya, Arlen. Emily, yang telah lama bekerja sebagai perawat pribadi Nyonya Audrey, duduk dengan sopan di sampingnya. Tangannya dengan cekatan membantu sang nenek mengambil lauk, memastikan wanita tua itu mendapatkan makanan yang cukup. Arlen menyantap makanannya dengan tenang. Sesekali ia melirik ke arah Emily, yang tampak fokus pada Nyonya Audrey. Begitu ia menghabiskan suapan terakhirnya, ia meletakkan sendok dan berkata santai, "Sebentar lagi, pengganti Emily akan datang, Nek." Emily yang baru saja menyesap air mineralnya, langsung menoleh. Nyonya Audrey pun terdiam sejenak, lalu ikut memandang Arlen. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa kalian berdua menatapku seperti seorang penjahat?" tanyanya dengan nada
Emily menunduk dalam, dia meremas kedua tangannya sambil mengutuki dirinya sendiri. Kenapa salah terus di mata Tuan Arlen, batinnya. "Jalan, Pak!" Mobil bergerak perlahan. Arlen membuang pandangannya, menatap ke luar jendela dengan ekspresi sulit ditebak, sementara Emily menarik napas pelan. Udara di dalam mobil terasa sesak, bukan karena sempit, melainkan karena kehadiran pria itu yang begitu menekan. Bahkan untuk bernapas saja, rasanya sulit saat berada di samping Tuan Muda Arlen. Seharusnya, dia tetap tinggal di rumah Nyonya Audrey. Seharusnya, dia tidak menerima tawaran Arlen. Namun, semuanya sudah terjadi. Penyesalan tak akan mengubah keadaan. Kini, Emily harus menerima konsekuensi dari keputusannya. Saat memasuki perbatasan, jalan yang biasanya lancar tiba-tiba macet. Orang-orang ramai berdiri di pinggir jalan, beberapa terlihat sibuk mengobrol, sementara yang lain berusaha mengintip ke depan. "Ada apa, Pak?" tanya Arlen, menengok ke depan. Emily ikut menoleh, rasa p
Emily melangkah mendekat, kembali menunduk canggung. "Hmm... maaf, Tuan. Koper saya!" Arlen terdiam sejenak, lalu menunduk melihat koper yang masih dipegangnya. "Oh, astaga. Maafkan aku!" Dia segera menyodorkan koper itu pada Emily sebelum buru-buru masuk ke dalam mobilnya. "Masuklah!" ucapnya singkat sebelum menutup pintu mobil. Emily tersenyum kecil. Ternyata, Arlen tidak semenyeramkan yang dia kira. Setelah menyeret kopernya masuk, Emily menutup pintu apartemen dan menguncinya rapat. Dia mengembuskan napas panjang sebelum berbisik pada dirinya sendiri, "Kau harus berjuang demi mendapatkan kebebasanmu, Emily!" Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Emily merasakan sesuatu yang hampir dia lupakan—harapan. *** Arnold kembali ke rumah sudah larut malam. Dia sengaja menghindari Sarah karena tak ingin lagi berbicara dengannya. Tadinya, dia bahkan berniat menginap di rumah ibunya, tetapi diurungkannya niat itu. Bukan dia yang seharusnya pergi dari rumah
Bak petir di siang bolong, Sarah terperangah mendengar ucapan Arnold. Cinta itu jelas sudah tidak ada di mata Sarah, tapi ketakutan hidup miskin yang membuatnya tidak terima begitu saja kalau Arnold hendak menceraikannya. "Bercerai?" "Ya!" Jawab Arnold tegas. Matanya dipenuhi kabut amarah, Sarah sudah sangat keterlaluan di matanya. "Kau lupa janjimu sesaat sebelum menikahiku? Apa kau masih ingat apa yang terjadi dulu?" Sarah menatap Arnold dengan tatapan sendu. Air mata mulai mengalir di kedua pipinya. "Jawab Arnold, jangan diam saja! Tatap mataku!" Sarah menyentak tangan Arnold, namun Arnold malah membuang mukanya ke sembarang arah. "Setelah apa yang terjadi pada kita dan padamu khususnya kau ingin menceraikan aku?" Arnold masih bergeming, dia bukannya tidak punya perasaan tapi Sarah sudah sangat keterlaluan. "Katakan padaku apa salahku?" tanya Sarah dengan wajah memelas. Dipegangnya pergelangan tangan Arnold agar laki laki itu mau menatap nya namun sia-sia, Arnol
Arnold tertegun mendengar perkataan Sarah. Apa dirinya sejahat itu kepada istri pertamanya? Tapi sungguh Arnold tidak menyadarinya. Sedari awal Arnold hanya ingin menggauli Emily karena harus segera memiliki seorang anak, tidak lebih. Tapi godaan tubuh Emily memang membuatnya lupa dan Arnold tidak kuasa menahannya. "Maafkan aku!" Dua kata itu akhirnya meluncur dari bibir Arnold. Arnold menghela nafasnya dalam, dia memejamkan matanya coba mengingat lagi kejadian empat tahun lalu. Empat tahun lalu, Arnold baru saja pulang bekerja dan berjalan cepat menuju mobilnya di basement parkir Maurer Corp. Hari itu Robert tidak masuk kantor karena sedang sakit, sehingga Arnold menyetir mobilnya sendirian. Arnold menghadap mobilnya hendak membuka pintu kemudinya namun tiba-tiba saja seorang laki laki menggunakan topeng ingin menusuknya dari belakang. Arnold melihat sekilas dari kaca mobilnya namun gerakan laki-laki itu sangat cepat hingga membuat Arnold tidak bisa menghindar. Arnold meme
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.
Emily beranjak dari duduknya sambil membawa nampan berisi piring kosong. Lama-lama di dekat Arnold bisa membuatnya darah tinggi, jadi menghindar lebih baik daripada harus bertengkar untuk sesuatu yang tidak jelas. "Sayang, tunggu dulu!" Arnold bergegas mengejar Emily setelah menarik jas dan tas kerjanya. Dengan langkah kakinya yang lebar, secepat kilat Arnold sudah berada di sisi Emily. "Jangan bilang kau marah lagi padaku?" tanya Arnold penuh selidik. Lebih tepatnya Arnold takut istrinya marah lagi karena perkataannya barusan. "Aku marah kalau kau menuduhku berselingkuh." "Aku tidak menuduhmu, aku hanya menceritakan fenomena yang sekarang sering terjadi. Tapi aku percaya kamu," ucapnya sembari memeluk Emily dari belakang. Emily menoleh, Arnold pun tidak melewatkan kesempatan mengulum bibir ranum itu. "Syukurlah!" jawab Emily singkat, setelah Arnold melepaskannya. Emily melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk meletakkan piring kotornya, sementara itu Arnold menunggunya di
Arnold semakin merapatkan tubuhnya ke arah Emily. Hanya handuk yang melilit di pinggangnya, mempertegas keintiman yang memanas di antara mereka. "Karena sudah menolakmu," bisik Emily lirih, penuh penyesalan. "Kau ingin meminta maaf untuk itu?" gumam Arnold, matanya menyala penuh gairah. "Bagaimana kalau kau membayarnya pagi ini?" lanjutnya seraya menggigit pelan cuping telinga Emily. Seketika tubuh Emily menegang. Sensasi yang merambat cepat dari telinganya ke seluruh tubuh membuatnya menggigit bibir bawah agar desahannya tak lolos keluar. Ia tahu, ia takkan bisa menolak terlalu lama. Melihat Emily memejamkan matanya, Arnold menurunkan bibirnya ke rahang halus istrinya, mengecup perlahan. “Arnold!” desah Emily akhirnya pecah, napasnya tercekat oleh gelombang rasa yang mulai menguasainya. Dengan lembut tapi pasti, Arnold mengangkat tubuh Emily dan menurunkannya perlahan ke atas tempat tidur mereka. Ia kembali mengecupi leher jenjang yang begitu ia kagumi, jemarinya mulai bergerak
Arnold menjauhkan wajahnya agar bisa menatap Emily lebih jelas, sorot matanya penuh tanya, berusaha menangkap maksud tersembunyi dari pertanyaan sang istri. "Harus memilih? Tidak bisa keduanya?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh tekanan, memperjelas apa yang barusan dikatakan Emily. "Iya, kamu harus memilih salah satunya, tidak boleh keduanya," jawab Emily dengan nada tegas, tanpa keraguan, seolah sudah memikirkannya matang-matang. Helaan napas berat keluar dari dada Arnold. Ia menarik tubuh Emily ke dalam pelukannya lagi, kali ini lebih erat, seolah takut kehilangannya jika melepas. Ia menundukkan kepala, bibirnya hampir menyentuh telinga Emily saat ia berbicara lirih. "Sulit, aku tidak bisa memilih, dua-duanya aku sayangi dan aku cintai. Mama adalah wanita yang melahirkanku, sampai kapanpun aku memiliki hutang budi yang tidak bisa aku bayar dengan apapun. Kamu, istriku, wanita yang akan menemaniku hingga aku menutup usia. Keduanya punya kedudukan masing-masing yang sama k
"Emily, bicaralah. Kalau Arnold sudah berubah, kau abaikan saja pesan mendiang ibumu." "Aku mencintainya, Sera!" Bulir bening itu akhirnya jatuh juga, Emily tahu Arnold bersalah, tapi rasa cintanya yang begitu besar membuatnya mengabaikan semuanya. Sera kembali memeluk erat Emily dan mengusap pundaknya pelan. "Kau yang menjalaninya, kau tahu mana yang terbaik untukmu, Emily. Kalau kau bilang dia sudah berubah, tidak ada salahnya kau memberinya kesempatan." Sera mencoba untuk bijak, walaupun sebenarnya dia tidak setuju Emily kembali kepada Arnold. Bagi Sera, salah Arnold terlalu banyak dan tak termaafkan. "Sera, apa ibuku meninggalkan pesan yang lain?" Sera menggeleng pelan. "Tidak ada, hanya itu. Tapi dia bilang sangat merindukanmu, dia ingin bertemu denganmu saat itu. Ngomong-ngomong kamu kabur kemana?" "Aku keluar Kota, aku bersembunyi tapi akhirnya aku terpaksa keluar karena uangku habis. Ini salahku, Sera. Harusnya aku tidak lari kalau ujung ujungnya begini. Arnold m
Emily tersenyum kecut, perasaan pahit manis mengaduk di benaknya. Ia tahu betul, kejadian waktu itu pasti masih membekas di kepala Sera—cukup membuatnya enggan menginjakkan kaki di rumahnya lagi. 'Kau mau bertemu di mana? Di rumah makan ku?' tanyanya, mencoba terdengar ringan meski hatinya cemas. 'Bagaimana kalau di luar, di tempat yang agak sepi karena aku ingin menyampaikan sesuatu yang cukup penting.' Alis Emily spontan berkerut, kecurigaan langsung menyusup. 'Menyampaikan apa?' 'Tidak bisa melalui telepon.' Jawaban itu justru membuat rasa penasaran Emily semakin menguat, seperti ada kabut yang menutupi sesuatu yang besar. 'Oke kalau begitu di taman, aku rasa jam-jam sekarang masih sepi.' 'Oke, aku tunggu, save nomorku Emily. Aku on the way sekarang!' 'Baiklah.' Sambungan telepon terputus. Emily menatap layar ponselnya sejenak, lalu menghela napas. "Apa yang ingin Sera sampaikan, sepenting apa sampai-sampai dia menolak ke tempat ramai?" gumamnya pelan, nyaris seperti
Pertanyaan itu sebetulnya sudah Arnold tahu jawabannya, namun entah mengapa, tetap keluar dari mulutnya. "Menurutmu?" Emily membalikkan pertanyaan dengan nada tenang tapi penuh makna. "Tentu saja marah!" jawab Arnold cepat. Ia cukup sadar diri, menyadari rentetan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Emily tersenyum simpul, senyum yang tak bisa dibaca seluruhnya—ada luka, ada penerimaan. "Itu sudah tahu, kenapa masih bertanya?" Arnold menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang menyembunyikan getir. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutmu," katanya pelan sambil meraih jemari istrinya, menggenggam hangat, lalu mengecupnya seolah meminta maaf lagi dan lagi, tanpa kata. Emily memandang Arnold, tak ada kemarahan di matanya, hanya ketegaran. "Bohong kalau aku bilang tidak marah. Tapi cintaku untukmu terlalu besar, sampai-sampai aku bisa memaafkanmu tanpa batas. Mungkin, bagi sebagian orang aku sangat bodoh. Mau menikah dengan laki-laki yang pernah menghancurkan