Share

Sebelum Terlarang Untukku
Sebelum Terlarang Untukku
Author: Hannah Southwell

Hari Bahagia

“Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku.

“Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan.

Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan.

Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya.

Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun tersebut langsung menyambut kami di ruang tamunya yang artistik. Sebuah area yang penuh dengan pakaian dan perlengkapan pernikahan berbagai adat baik yang tradisional maupun modern. Semuanya tertata dengan baik sehingga terlihat layaknya galeri mewah.

Ia pun membimbing kami menuju sebuah pojokan di mana seragam akad pesanan kami telah disiapkan. Sepasang kebaya dan beskap adat Jawa berwarna putih gading. Kostum tradisional yang modern tersebut bersisian dengan rangkaian melati yang nantinya akan disisipkan ke dalam sanggulku. Di mataku semua terlihat begitu sempurna. Namun demikian, kutoleh Hendro yang menunggu sambil duduk di sebuah kursi antik untuk meminta persetujuannya.

“Gimana?”

“Bagus.”

Acara fitting malam itu berlangsung cepat dan cermat. Bu Bambang yang telah berpengalaman sungguh membantu kami berdua. Walaupun hanya beberapa kali pertemuan singkat, akan tetapi hasilnya sungguh pas. Kami langsung suka.

Esok pagi.

Kami berdua terbangun dengan perasaan degdegan tak menentu. Pintu kamarku diketok oleh serombongan kawan lama, yaitu Sandra yang akan merias dan timnya yang akan mengabadikan momen. Dalam tiga puluh menit, aku sudah terlihat cantik manglingi dengan kebaya dan tata rias, kami pun berangkat ke KUA Pejaten Barat bersama Sandra dan kawan-kawan. Tak lama setelah sampai, satu per satu orang tua dan kerabat kami berdatangan untuk menjadi saksi.

Ayahku sudah berpulang sehingga tak bisa menghadiri acara ini secara langsung. Namun demikian, aku yakin ia pun menyaksikan dari sudut yang tak kuketahui. Sebagai gantinya, Kepala KUA bertindak menjadi Wali Hakim bagiku.

Memori bersama ayah pun melintas dalam benakku.

Saat itu kami tengah jalan-jalan malam berdua. Aku dan ayah biasa melakukannya saat perasaan salah satu dari kami sedang galau. Sesaat setelah salat isya, kami akan keluar menembus kegelapan yang disinari lampu rumah tetangga. Sambil berpegangan tangan pada lengan gombyor ayahku, aku akan berjalan sambil menengadah ke langit, menikmati lautan bintang yang gemerlap. Angin malam berhembus dengan santai, memasuki rongga pernapasan dengan bebas, pada akhirnya menyegarkan jiwa yang lelah.

Tiba-tiba kudengar suara ayah, “Kamu sudah punya calon?”

“Belum, Ayah. Tadinya ada yang dekat denganku tapi sekarang sudah nggak lagi. Dia sekarang sama temenku.”

“Sudah berapa lama?”

“Baru sebulan nggak komunikasi lagi.”

“Oh, begitu. Tidak apa-apa.”

Lalu hening kembali. Sesaat kemudian kembali ia berbicara, “Kalau Laila mau nikah, nanti Ayah diundang, ya.”

Perasaanku terharu mendengar ucapan tulusnya, “Insha Allah, Ayah.”

Tak henti-hentinya aku mengagumi sosok laki-laki tangguh tersebut. Bagiku ia adalah role model terbaik. Bagaimana tidak, di saat tengah merencanakan acara penting anaknya sendiri, ia tidak memposisikan dirinya sebagai orang tua yang berkuasa sedangkan masih berhak sepenuhnya.

Aku merasa, ayah sudah mengira bahwa anak perempuan pertamanya akan menikah secara mandiri. Mungkin ini yang namanya ikatan batin ayah dan anak. Sejatinya aku memang memimpikan sebuah pesta sederhana yang sakral, takkan kubiarkan kedua orang tua berlelah-lelah dengan segala urusan pernikahan melainkan aku dan calonku yang akan menanggung segalanya.

Waktu berlalu, ayah berpulang tanpa sempat melihatku menemukan seorang pria. Dalam lima tahun setelah kepergian ayah, sebuah perjalanan hidup membawaku pada jodoh yang kunantikan.

Ayah, anakmu kini sudah menemukan tambatan hatinya. Hari ini kami akan meresmikan hubungan kami. Mohon doa restumu, Ayah. Dokan kami sakinah, mawaddah warohmah. Setia selamanya hingga di ujung usia kami. Semoga kami berjodoh hingga di surga.

Ia adalah Hendro Ankawijaya, saat ini tengah duduk di sisiku sambil menjawab pertanyaan Wali Hakim yang memeriksa administrasi kami berdua. Kami bertemu di sebuah resort bintang lima di Nusa Dua, Bali. Hendro adalah Chef de Party, sementara aku kini Front Office Manager.

Kami memang berbeda departemen, Ayah. Namun pekerjaan kami saling berkaitan. Sebagai front liner, aku kerap menerima permintaan khusus atau pun komplain dari tamu. Pada suatu saat anak buah Hendro melakukan sebuah kesalahan yang membuat kami kerap bertemu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di situ kami menjadi akrab. Terkadang sengsara memang membawa nikmat.

Aku berbicara dalam hati kepada ayah seakan ia di sini.

Di sela-sela pekerjaan, layaknya teman, kami berkesempatan ngobrol berdua, ayah. Makan berdua, jalan berdua. Lama-kelamaan timbul kecocokan dalam hati. Tiga bulan dalam masa akrab, kami merencanakan sebuah pernikahan. Jakarta menjadi kota pilihan untuk menggelar acara. Bukan tanpa alasan kami kembali ke Jakarta untuk sebuah akad, melainkan karena orang tua dan kerabat masih bermukim di kota metropolitan tersebut.

“Bagaimana? Bisa dimulai?” pertanyaan sang Wali Hakim menyadarkan aku dari lamunanku.

“Bisa.” sahut Hendro.

Aku bersimpuh di dekat kaki ibuku meminta maaf dan memohon ijin untuk menikah. Demikian pula Hendro kepada kedua orang tuanya. Suasana berubah menjadi penuh keharuan, hampir saja air mataku menitik. Sepuluh menit kemudian acara ijab kabul pun selesai. Relung jiwaku dipenuhi dengan kelegaan yang damai.

Selesai acara makan siang yang akrab, aku dan Hendro bertolak kembali ke Denpasar dengan pesawat pukul 18.00. Burung biru tersebut telah menunggu, ketika kami tiba di ruang tunggu Terminal 3 Ultimate. Dalam tiga puluh menit, kami pun boarding.

Duduk bersisian di pesawat, tangan kananku bertautan dengan tangan kiri Hendro. Tak banyak percakapan, akan tetapi keheningan tersebut terasa nyaman. Tubuhku bersandar pada lengan yang kokoh, sementara Hendro menyibukkan diri dengan gawainya melihat-lihat foto pernikahan kami.

Tak terasa dua jam berlalu. Kami tiba di Denpasar pukul 20.00WITA lalu langsung menuju kediaman Hendro. Sesampainya di kamar minimalis tersebut, koper kami letakkan begitu saja di lantai yang lapang. Kunikmati curahan air hangat yang mengalir membasahi seluruh tubuh. Sambil menutup mata, aku merenungi apa yang telah terjadi hari ini dengan penuh kesyukuran. Terima kasih atas segala yang telah Engkau berikan padaku.

Ketika keluar dari kamar mandi, tak kusadari tatapan mata Hendro yang penuh makna. Tiba-tiba saja ia telah memeluk tubuhku yang masih terbalut kimono dengan erat lalu mengecup bibirku.

“Laila.…”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status