“Ketika permasalahan dengan orang lain, membuat seseorang dirugikan karena amarahnya.”
-Sinner-
🍑🍑🍑
Izzy berdeham kencang, saat ini ketegangan sedang terjadi di meja makan. Keluarga Oberoi sedang berkumpul, karena Izzy yang menginginkannya semua putra-putrinya datang untuk makan malam bersama. Tapi tiba-tiba yang tadinya suasana hangat menjadi tegang karena ulah satu orang, dia Austin. Bahkan para anak kecil pun merasakan ketegangan yang sedang terjadi.
Berawal dari Crystal yang meminta ijin pada Xander dan Izzy mengenai niatnya untuk melanjutkan study di Paris. Dan tiba-tiba saja, Austin menyela dengan sentakan, mengeluarkan sederet kalimat menyakitkan dan menohok hati Crystal.
Sedangkan di sisi lain, Crystal terlihat menahan air matanya untuk tidak terjatuh. Kedua tangannya menggenggam gagang pisau dan garpu dengan kuat. Kalimat Austin benar-benar membuat Crystal kecewa. “Kau ingin pergi dari mansion agar bisa bebas? Bersenang-senang dengan para pria, berkumpul dengan teman-temanmu yang tidak jelas tanpa sepengetahuan kami? Ingin menjadi jalang, eh?”
Jalang. Kata itu terngiang terus di otak Crystal.
“Austin cukup! Perkataanmu benar-benar keterlaluan, Mom kecewa padamu!” sentak Izzy menatap Austin dengan pandangan kecewa, bahkan pandangan wanita itu mengabur, jika Izzy mengedipkan matanya maka, air matanya pun sudah dapat dipastikan akan terjatuh detik itu juga. “Jangan pernah sekali-kali mengeluarkan kata biadab dan kotor itu lagi di depan Mom, Austin.”
“Kau yang mengatakannya pada Crystal tapi hati Mom ikut sakit mendengarnya. Kau sama saja menyebut Mommymu jalang!” lanjut Izzy lagi menyentak.
Crystal, gadis itu sudah menangis dalam diam. Tanpa banyak kata, ia berdiri dari duduknya dan memilih segera pergi dari meja makan––berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Autumn pun menggelengkan kepalanya, kecewa dengan Austin. “Aku kecewa padamu, Kak,” katanya sebelum pergi menyusul Crystal si adik kecilnya.
Sungguh, Crystal pun selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah kelahirannya di dunia adalah sebuah kesalahan? Jika ya, bolehkah Crystal berdoa pada Tuhan untuk mengambil nyawanya? Ia rasa, percuma dilahirkan jika tidak ada yang menginginkan kehadirannya.
Hingga elusan pada kepalanya membuat Crystal menarik bantalnya–menyingkirkannya, di sana salah satu kakak perempuan yang sangat dekat dengannya sedang tersenyum lembut ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kakak,” gumam Crystal memeluk tubuh Autumn. “Apakah keberadaanku adalah kesalahan? Kenapa kak Austin selalu membenciku? Dia selalu saja mencari celah kesalahanku,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Autumn yang mendengar itu memejamkan matanya, ia pun merasa nyeri ketika Crystal mengatakan kalimat itu. “Tidak... tidak. Kau bukan kesalahan, kau anugrah bagi keluarga kami.”
“Lalu... kenapa kak Austin berbicara seperti itu,” tanya Crystal.
“Dia sedang emosi, ada sedikit masalah dengan kak Lauren,” jelas Autumn yang memang tahu hanya dengan melihat gelagat Austin saja. Karena sejak pulang dari apartemen Lauren, kakaknya itu terlihat berbeda.
Crystal memejamkan matanya ketika mendengar nama Lauren. Ah, wanita itu. Tunangan kakaknya. Hampir saja ia melupakannya. Dalam hati Crystal tersenyum getir ketika menyadari kemarahan Austin berasal dari permasalahan dengan tunangannya sendiri dan berimbas pada dirinya.
“Kak, apa aku salah jika ingin melanjutkan studi ke Paris?” tanya Crystal. “Aku hanya ingin mandiri. Bahkan tidak pernah terlintas sedikit pun di benakku untuk melakukan seperti apa yang dikatakan kak Austin.”
🍑
“Minta maaflah kepada Crystal, Kak.” Begitu Crystal tenang, Autumn segera menemui Austin ke kamarnya. Gadis itu bersedekap dada, menatap Austin tajam.
Austin hanya melirik Autumn sekilas sebelum akhirnya melanjutkan fokusnya pada sebuah benda elektronik di pangkuannya. “Pergilah, Autumn.”
“Aku tidak akan pergi sebelum kau meminta maaf pada Crystal, Kak,” balas Autumn dengan tajam. Ia menggeram ketika melihat sikap Austin yang biasa saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Aku hanya berbicara fakta. Jadi, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.”
“Ada! Kau menyebutnya jalang, Kak.” Tegas Autumn mengingatkan Austin. “Kau tahu, itu adalah kesalahan terbesarmu. Bagaimana bisa kau melampiaskan kekesalanmu pada Crystal.”
“Jika kau memiliki masalah dengan tunanganmu, selesaikanlah baik-baik. Kau begini justru membuat seseorang yang tidak tahu apa-apa terkena imbasnya,” lanjut Autumn. “Sungguh, ini pertama kalinya aku benar-benar kecewa padamu, Kak.” Tutup Autumn sebelum pergi dan itu membuat Austin fokus pada sorot mata Autumn yang memang benar-benar kecewa padanya.
Seperti sorot mata Crystal yang selalu menatapnya dengan kecewa. Bedanya, Austin melihat Crystal sebagai seorang gadis sedangkan Autumn murni sebagai sosok adiknya.
Austin meremas rambutnya dengan kasar, lalu memilih beranjak dari duduknya dan berniat untuk pergi ke kamar Crystal.
Austin sedikit bersyukur ketika tahu ternyata kamar Crystal tidak terkunci. Ia dapat melihat tubuh Crystal yang meringkuk membelakanginya. Dengan perlahan, Austin berjalan menghampirinya. Ternyata, Crystal sudah terlelap. Gadis itu begitu damai, Austin menyingkirkan surai-surai Crystal yang menutup wajah cantiknya. Ia sedikit terkejut ketika masih melihat bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.
Tak bisa dipungkiri jika ternyata Crystal tertidur setelah menangis di hadapan Autumn. Meluapkan segala keluh kesahnya. “Baby,” gumam Austin mengusap-usap pelan pipi Crystal membuat gadis itu sedikit bergerak dari tidurnya dan melenguh pelan.
Austin terus mengusap-usap pipi Crystal membuat mata gadis itu perlahan terbuka. “Kenapa kau kemari?” tanya Crystal dengan ketus begitu penglihatannya menangkap sosok Austin dari jarak dekat. “Pergilah, aku ingin istirahat.”
“Tidak. Kau tidak akan istirahat,” kata Austin menggeleng tegas.
“Why? Apa kau masih kurang puas meluapkan kemarahanmu padaku?” tanya Crystal berusaha tersenyum meskipun sorot matanya tidak bisa berbohong jika menampilkan kekecewaan. Gadis itu bangun dari tidurnya, membuat mereka sekarang menjadi berhadapan.
“Katakan saja, aku akan mendengarkannya dengan baik,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Austin menggeleng. “Ku mohon jangan katakan lagi,” kata Austin dengan mata berkaca-kaca. “Maaf, maafkan aku,” lanjutnya menarik tubuh Crystal untuk membawanya ke dalam pelukan.
Crystal diam, “Tidak perlu meminta maaf. Kau tidak salah. Kau benar, tidak seharusnya aku meminta ijin mom untuk melanjutkan studi ke Paris.”
Crystal menarik diri, ia terkejut ketika melihat Austin menangis. Dengan cepat, ia mengusap pipi Austin yang basah. “Kenapa kau menangis, kau tidak seharusnya menangis.”
“Karena aku kecewa pada diriku, bagaimana bisa kata itu keluar dari mulutku, sungguh aku menyesalinya, Crys.”
Crystal menggeleng. “Tidak ada yang perlu disesali. Jangan menangis, Kak. Aku sakit melihatnya,” balasnya dengan suara bergetar dan detik itu juga air matanya ikut keluar. Ia menangis.
“Ku mohon, jangan pernah menangis di hadapanku. Aku tidak bisa melihatnya,” lanjutnya menggelengkan kepalanya, menunduk. “Atau pertahananku akan runtuh,” katanya dengan melemas.
Crystal menggenggam kertas yang telah usang itu dengan erat. Sebuah surat yang Austin tulis sendiri di saat detik-detik pria itu menutup mata untuk selamanya. Masih ada bekas-bekas air mata yang menetes di kertas ini. Crystal menutup mata, menangis dalam diamnya. Masih teringat jelas di ingatannya saat Austin menutup mata. Berkata padanya untuk selalu menjadi wanita kuat saat dia sudah pergi nanti. Berpesan pada Crystal untuk jangan menangis begitu Austin pergi. Dan benar, saat detak jantung dan denyut nadi pria itu berhenti. Memejamkan mata selamanya dengan meninggalkan senyum kedamaian untuk Crystal, ia benar-benar tidak menangis. Crystal masih ingat itu dengan baik. Di saat seluruh anggota menangis atas kepergian Austin. Hanya dirinya yang diam dengan kedamaian dan ketenangan hatinya. Tentu juga Crystal tidak akan mengingkari janji Austin untuk tidak menangis saat dia pergi. Tapi setelah itu, tahun pertama, kedua, dan ketiga setelah kepergian Austin—barulah Cr
Crystal menatap Austin yang terbaring di atas ranjang. Selama pria itu sakit, Crystal tidak pernah sekalipun meninggalkan. Jika harus, tidak pernah lama.Tangan Austin yang mengeriput meraih tangan Crystal—mengusapnya. Wajahnya yang terlihat sayu dengan bibirnya yang pitih pucat. Terlihat tidak se-segar dulu, tersenyum menatap belahan jiwanya penuh kekaguman. “Crys...,” panggilnya pelan. Crystal menaikkan sebelah alisnya, balas tersenyum menatap Austin. “Kenapa hm?”“Ada sesuatu yang ingin aku berikan untukmu,” katanya lalu memberi kode Crystal untuk membuka loker nakas dan Crystal menurutinya, “ada sebuah kotak, ambillah.”Crystal meraih kotak beludru saat melihat hanya ada kotak satu-satunya di loker nakas itu. Lalu menunjukkannya pada Austin. “Ini?”Austin mengangguk, “Bukalah.”Crystal membuka kotak itu, dan terkejut melihat isinya. Sebuah perhiasan yang Crystal yakini pasti sangat mahal. “Selamat hari pernikahan ke dua pulu
Sepuluh tahun setelah kelahiran Arthur. “Arthur Cyrilo Oberoi!” Teriakan dari arah koridor membuat Arthur yang sedang membagikan sebuah undangan ulang tahunnya yang ke-10 pada teman-temannya, membuat langkah kaki kecilnya berhenti. Bocah laki-laki bernama Arthur itu membalikkan badannya. Tidak jauh dari posisinya berdiri, seorang gadis dengan surai pirang yang diikat pony tail itu tersenyum lebar. Arthur berdecak malas. Gadis itu berlari kecil untuk menghampirinya. “Apa tidak ada undangan untukku?” tanyanya dengan kedua tangan yang diulurkan.Arthur menatapnya datar, menggeleng. “Tidak,” jawabnya dengan singkat lalu berbalik pergi meninggalkan gadis bersurai pirang itu. “YA ARTHUR!” Teriaknya yang diabaikan Arthur, bocah laki-laki itu berjalan begitu saja tanpa memperdulikan gadis di belakangnya yang terus meneriaki namanya.Hingga seseorang berdiri di depannya, membuat Arthur hampir saja menabrak. Kepalanya mendongak ke atas karena seseorang yang berdiri
Beberapa tahun sebelum kelahiran Ameera.Kehamilan kedua Crystal cukup menjadi sebuah kabar bahagia untuk seluruh anggota keluarga Oberoi. Tak terlebih Austin dan Crystal—apalagi pria itu terlihat sangat bahagia. Bahkan, Austin terus saja menempel pada Crystal. Cukup lama Austin meyakinkan pada Crystal tentang memberikan adik untuk Aslan. Karena kalian pasti tahu, kan saat Austin berselingkuh itu di saat Crystal sedang hamil. Karena nyatanya kejadian itu membuat Crystal sedikit trauma untuk hamil kembali. Takut jika Austin akan bermain di belakangnya. Kembali mengulang kesalahan.“Austin, lepaskan aku.” Crystal sedikit bergeser, tapi Austin tetap saja memeluknya. Pria itu menggelengkan kepala jika ia menolak. “Kau tahu, aku sangat senang, baby. Karena akhirnya Aslan akan memiliki seorang adik.”“Tapi kau tahu, aku masih—” Austin menempatkan jari telunjuknya tepat di bibir Crystal, tidak ingin mendengar kalimat lebih lanjut istrinya itu.
Benar memang, kehidupan pernikahan jika tidak ada luka dan masalah akan terasa hambar. Seperti sayur tanpa garam. Begitu banyak pelajaran hidup yang Crystal ambil. Menikah di usia muda memang bukan waktu yang tepat, saat kita belum siap untuk menjalaninya. Seperti bagi Crystal. Karena memang ia belum mampu dan siap untuk semua segala sesuatunya. Tapi setelah menjalani, meskipun banyak permasalahan yang datang membuatnya mengerti arti kehidupan yang sebenarnya. Sejak Austin memperjuangkannya lagi, melihat membuktian pria itu bukan hanya sekedar kata. Tapi juga perbuatan, membuat Crystal sekali lagi memberi kesempatan. Tidak mudah memang. Menjalani rumah tangga, hidup bersama seorang pria yang pernah mengkhianatimu. Memberikan luka yang begitu dalam. Karena itu membuat trauma tersendiri bagi Crystal. Hanya saja Austin berkata, untuk berjuang bersama-sama dengan Crystal yang selalu ada di sampingnya saja sudah lebih dari cukup.Dan hari ini, adalah tahun ke
Suara isak tangis terdengar, Crystal kembali menangis. Entah sudah berapa banyak air matanya yang ia keluarkan sejak kemarin-kemarin. Tidak mudah untuk mengatakan sebuah perceraian pada Austin. Sangat sakit rasanya. Tapi, Crystal hanya ingin bebas. Ia ingin tidak lagi merasakan sebuah kekecewaan yang dibuat oleh seseorang yang dicintainya.Crystal menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya yang tertekuk. Menangis dalam keheningan.🍑Crystal baru saja selesai untuk berkonsultasi dengan psikiaternya. Sudah tiga minggu, ia menjalani terapi. Lumayan dan sangat membantu Crystal. Perlahan tapi pasti, beban di pundaknya seakan terangkat. “Kau ingin ke mana?” Calvin, pria itu melajukam mobilnya dengan santai. Memang sejak Crystal menjalani terapi, yang mengantarkannya antara Aiden, Calvin, atau Xander dan Izzy. Karena Crystal tidak mau jika Austin yang mengantar.“Bisakah bawa aku ke rumah pohon. Tapi tanpa grandpa tahu.” Calvin m