Share

Chapter 4 - Workaholic

“Jingga, bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?" Bu Tutik, sang Kepala Bagian menghampiri meja kerjanya beberapa menit setelah jam kerja dimulai.

Jingga yang baru saja sedang memulai tugasnya menyusun bahan sepatu dari bagian persiapan untuk dicek kemudian disetorkan ke bagian jahit, mendongak dan menjawab,

"Maaf, Bu. Boleh saya panggil Nindy untuk nerusin cek bahan ini dulu? Soalnya hari ini sudah harus masuk job Line jahit."

Line adalah sebutan untuk pembagian departemen jahit karena bentuk tim kerjanya yang berderet memanjang. Bu Tutik mengangguk sembari berkata ia menunggu Jingga secepatnya.

"Baik, Bu. Nanti saya langsung nyusul."

Ia pun bergegas menuju ke arah ruangan bagian jahit dan memanggil Nindy--salah seorang dari Line yang memang seringkali kebagian menggantikan dirinya saat Jingga sedang ditugaskan ke bagian lain atau membantunya saat job berbarengan datang sehingga Jingga kewalahan bila melakukan pengecekan sendirian.

"Tuh, Nin! si Bos datang manggil." Seseorang yang belakangan diketahui Jingga bernama Ulfa berkata dengan nada sinis yang sengaja ditampakkan. Gadis berwajah cantik dengan rambut lurus khas hasil karya salon itu berkata begitu sembari memasang raut wajah kesal kepada Jingga yang baru datang.

Jingga yang tidak tahu menahu apa masalah gadis itu dengan dirinya, sebenarnya merasa terganggu. Namun, karena ia sedang buru-buru, diabaikannya saja sikap aneh Ulfa itu dan segera pergi ke ruangan Bu Tutik setelah selesai menyampaikan instruksi tugasnya kepada Nindy.

Sesampai di ruangan Kepala Bagian, rupanya Bu Tutik sedang akan mendelegasikan tugas baru untuk Jingga. Diserahkannya sebuah berkas yang lumayan tebal ke depan meja kaca yang terdapat beberapa tumpukan berkas lain beserta contoh model sepatu di hadapan gadis itu.

"Kamu baca itu sebentar. Kalau ada yang tidak paham, tanyakan." Bu Tutik yang memang terkenal berpembawaan tegas dan tak kenal basa-basi itu langsung memberi perintah.

Jingga kemudian duduk di kursi yang disediakan dan mulai membolak balik berkas yang dimaksud. Rupanya itu adalah list data job order yang masuk ke dalam departemen bagiannya beserta tanggal deadline pengiriman dan segala macam detail mengenai tipe, bahan, model dan lain-lainnya.

"Mmm ... ini list job kita bulan depan, Bu?" tanyanya ragu.

"Minggu depan. Bukan bulan depan," jawab sang Kepala Bagian sembari mendelik ke arah Jingga.

Spontan Jingga terperangah. Ia kaget bukan main.

"Tap, tapi, Bu. Bagaimana bisa? Job K56 saja baru akan masuk ke Line. Itu jumlahnya tiga ribu empat ratus pasang, nggak mungkin bisa kelar dalam waktu seminggu aja, Bu,"

"Karena itu aku manggil kamu ke sini. Ada kesalahan penjadwalan order masuk. K56 seharusnya baru masuk Line setelah yang ini selesai," jawab Bu Tutik sambil menunjuk berkas yang telah diletakkan kembali ke atas meja oleh Jingga.

"Jadi, kita pending dulu yang K56, langsung di oper dengan job baru ini, begitu, Bu?" Jingga bertanya memastikan.

"Nggak bisa kita pending semua, bisa kosong nanti laporan hasil produksinya. Biar aja tetep jalan, kita selipin job ini diproses di sebagian tim aja, jadi setiap departemen kerja dua job ini bareng." Bu Tutik menjelaskan panjang lebar.

Jingga yang merasa dirinya hanya sebagai bawahan dan tidak berhak memutuskan apa-apa, mengangguk pasrah sambil membayangkan betapa ruwet nanti prosesnya. Mengerjakan dua job yang berbeda model di saat bersamaan sungguh rumit dan belum pernah dialaminya.

"Eh, untuk saya sendiri, saya cuma minta dibantu oleh dua orang asisten, bukan hanya Nindy, Bu. Soalnya dua job ini berlainan tipe dan model, biar nggak sampai tertukar bahan." Dengan sedikit takut, Jingga mengungkapkan keberatannya.

Bu Tutik melempar pandangan menilai, kemudian tanpa disangka langsung mengangguk, " Memang akan ada dua orang cek bahan, dan kamu bukan salah satunya. Tunjuklah satu orang tambahan, yang tampak teliti dan cekatan. Kamu yang pegang job ini. Lapor langsung ke saya. Biar Intan urus job K56 yang terlanjur jalan."

Jingga mematung di tempatnya berdiri. Bu Tutik sudah beranjak keluar dari ruangannya sendiri. Entah kemana beliau pergi.

"Nah, loh, apa maksudnya, coba, barusan?" gumamnya bertanya-tanya seorang diri.

Ia ragu-ragu akan menyusul sang Kepala Bagian dan menanyakan kejelasan instruksi ambigunya barusan dengan resiko kemungkinan dibentak atau dipelototi yang sama horornya, atau kembali ke tempatnya dan mulai mengerjakan apa yang diperintahkan dengan sepemahamannya saja.

Akhirnya ia pergi ke Line dan membahasnya bersama Kepala Mandor--Mbak Intan. Diceritakannya semua yang disampaikan Bu Tutik barusan, kemudian dia meminta pertimbangan apakah benar persangkaannya bahwa ia disuruh menjadi mandor khusus job baru yang akan diselipkan pengerjaannya itu.

"Iya, tuh. Ciyyeeee yang mendadak jadi mandor." Mbak Intan malah mengejeknya sambil senyum-senyum. Tapi kemudian senyumnya hilang berganti sikap tegas seperti biasanya.

"Udah sana! Buruan cari timmu sendiri. Ambil anak Line jangan ngawur, ya. Yang kerjaannya nggak vital aja ambilin," ucapnya memberi peringatan pada Jingga. Ia tak mau job yang tengah berjalan harus banyak berkurang setoran hasil produksinya bila Jingga salah mengambil tim, karena ia yang bertanggung jawab untuk job awal.

"Huuuft ...,"

Jingga mendesah lelah. Tinggallah ia yang harus memutar otak memberdayakan hanya sebagian kecil karyawan dalam tim untuk job baru, padahal yang dikerjakan sama banyaknya dengan job lama.

Seharian penuh ia benar-benar memeras otak. Saat jam makan siang pun ia gunakan untuk makan bersama Mbak Intan sembari berdiskusi perihal membagi tim di Line. Beruntung meskipun terkesan galak, Mbak Intan ini orangnya fair dan bisa diajak bekerja sama.

Mbak Intan juga membantu mengarahkan tentang apa-apa saja yang harus dilakukannya sebagai mandor. Yah, meskipun hanya mandor insidental gara-gara ada job selipan, tetap saja tanggung jawabnya sama besar dengan mandor sungguhan. Karena itu, Jingga tak mau asal-asalan dalam mengemban tugas barunya.

Saat jam pulang, ia baru dapat bernapas lega. Akhirnya bisa pulang dan beristirahat di rumah. Ia merindukan kasurnya. Pokoknya ia mau tidur sesorean sampai semalaman dan baru bangun keesokan paginya. Pasti itu cukup untuk me-recharge energinya sebagai bekal kerja keras esok hari.

Nyatanya, Miko--sang pacar--telah menunggu untuk mengajaknya ke cafe dekat tempat kerja. Jingga pun menyetujuinya. Ia pikir lumayan, bisa buat refresh otaknya yang seakan ngebul seharian ini.

Dan yang didapatinya malah fakta lebih mengejutkan daripada hanya sekedar datangnya job selipan atau kenyataan dia harus jadi mandor dadakan. Kejutan yang mengesalkan itu disampaikan oleh Miko dengan gaya tanpa rasa bersalah yang sangat membuat Jingga geram dan super sebal. Amarahnya jauh lebih besar ketimbang patah hatinya. Beberapa kali mengalami patah hati membuatnya lebih bisa mengontrol diri.

Pengakuan Miko bahwa ia baru saja bertemu mantannya tanpa sengaja, dan memutuskan jalan-jalan sejenak berdua atas nama nostalgia cinta pertama membuat lengkap sudah hari ini sebagai hari paling bersejarah dalam hidup Jingga. Ia sungguh akan mengingat betul tanggal hari ini. Akan tercatat tebal dalam memorinya, hari di mana ia diangkat jadi mandor, sekaligus hari di mana cintanya kandas untuk kesekian kalinya. Tanggal 20 Januari 2021.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status