“Jingga, bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?" Bu Tutik, sang Kepala Bagian menghampiri meja kerjanya beberapa menit setelah jam kerja dimulai.
Jingga yang baru saja sedang memulai tugasnya menyusun bahan sepatu dari bagian persiapan untuk dicek kemudian disetorkan ke bagian jahit, mendongak dan menjawab,
"Maaf, Bu. Boleh saya panggil Nindy untuk nerusin cek bahan ini dulu? Soalnya hari ini sudah harus masuk job Line jahit."
Line adalah sebutan untuk pembagian departemen jahit karena bentuk tim kerjanya yang berderet memanjang. Bu Tutik mengangguk sembari berkata ia menunggu Jingga secepatnya.
"Baik, Bu. Nanti saya langsung nyusul."
Ia pun bergegas menuju ke arah ruangan bagian jahit dan memanggil Nindy--salah seorang dari Line yang memang seringkali kebagian menggantikan dirinya saat Jingga sedang ditugaskan ke bagian lain atau membantunya saat job berbarengan datang sehingga Jingga kewalahan bila melakukan pengecekan sendirian.
"Tuh, Nin! si Bos datang manggil." Seseorang yang belakangan diketahui Jingga bernama Ulfa berkata dengan nada sinis yang sengaja ditampakkan. Gadis berwajah cantik dengan rambut lurus khas hasil karya salon itu berkata begitu sembari memasang raut wajah kesal kepada Jingga yang baru datang.
Jingga yang tidak tahu menahu apa masalah gadis itu dengan dirinya, sebenarnya merasa terganggu. Namun, karena ia sedang buru-buru, diabaikannya saja sikap aneh Ulfa itu dan segera pergi ke ruangan Bu Tutik setelah selesai menyampaikan instruksi tugasnya kepada Nindy.
Sesampai di ruangan Kepala Bagian, rupanya Bu Tutik sedang akan mendelegasikan tugas baru untuk Jingga. Diserahkannya sebuah berkas yang lumayan tebal ke depan meja kaca yang terdapat beberapa tumpukan berkas lain beserta contoh model sepatu di hadapan gadis itu.
"Kamu baca itu sebentar. Kalau ada yang tidak paham, tanyakan." Bu Tutik yang memang terkenal berpembawaan tegas dan tak kenal basa-basi itu langsung memberi perintah.
Jingga kemudian duduk di kursi yang disediakan dan mulai membolak balik berkas yang dimaksud. Rupanya itu adalah list data job order yang masuk ke dalam departemen bagiannya beserta tanggal deadline pengiriman dan segala macam detail mengenai tipe, bahan, model dan lain-lainnya.
"Mmm ... ini list job kita bulan depan, Bu?" tanyanya ragu.
"Minggu depan. Bukan bulan depan," jawab sang Kepala Bagian sembari mendelik ke arah Jingga.
Spontan Jingga terperangah. Ia kaget bukan main.
"Tap, tapi, Bu. Bagaimana bisa? Job K56 saja baru akan masuk ke Line. Itu jumlahnya tiga ribu empat ratus pasang, nggak mungkin bisa kelar dalam waktu seminggu aja, Bu,"
"Karena itu aku manggil kamu ke sini. Ada kesalahan penjadwalan order masuk. K56 seharusnya baru masuk Line setelah yang ini selesai," jawab Bu Tutik sambil menunjuk berkas yang telah diletakkan kembali ke atas meja oleh Jingga.
"Jadi, kita pending dulu yang K56, langsung di oper dengan job baru ini, begitu, Bu?" Jingga bertanya memastikan.
"Nggak bisa kita pending semua, bisa kosong nanti laporan hasil produksinya. Biar aja tetep jalan, kita selipin job ini diproses di sebagian tim aja, jadi setiap departemen kerja dua job ini bareng." Bu Tutik menjelaskan panjang lebar.
Jingga yang merasa dirinya hanya sebagai bawahan dan tidak berhak memutuskan apa-apa, mengangguk pasrah sambil membayangkan betapa ruwet nanti prosesnya. Mengerjakan dua job yang berbeda model di saat bersamaan sungguh rumit dan belum pernah dialaminya.
"Eh, untuk saya sendiri, saya cuma minta dibantu oleh dua orang asisten, bukan hanya Nindy, Bu. Soalnya dua job ini berlainan tipe dan model, biar nggak sampai tertukar bahan." Dengan sedikit takut, Jingga mengungkapkan keberatannya.
Bu Tutik melempar pandangan menilai, kemudian tanpa disangka langsung mengangguk, " Memang akan ada dua orang cek bahan, dan kamu bukan salah satunya. Tunjuklah satu orang tambahan, yang tampak teliti dan cekatan. Kamu yang pegang job ini. Lapor langsung ke saya. Biar Intan urus job K56 yang terlanjur jalan."
Jingga mematung di tempatnya berdiri. Bu Tutik sudah beranjak keluar dari ruangannya sendiri. Entah kemana beliau pergi.
"Nah, loh, apa maksudnya, coba, barusan?" gumamnya bertanya-tanya seorang diri.
Ia ragu-ragu akan menyusul sang Kepala Bagian dan menanyakan kejelasan instruksi ambigunya barusan dengan resiko kemungkinan dibentak atau dipelototi yang sama horornya, atau kembali ke tempatnya dan mulai mengerjakan apa yang diperintahkan dengan sepemahamannya saja.
Akhirnya ia pergi ke Line dan membahasnya bersama Kepala Mandor--Mbak Intan. Diceritakannya semua yang disampaikan Bu Tutik barusan, kemudian dia meminta pertimbangan apakah benar persangkaannya bahwa ia disuruh menjadi mandor khusus job baru yang akan diselipkan pengerjaannya itu.
"Iya, tuh. Ciyyeeee yang mendadak jadi mandor." Mbak Intan malah mengejeknya sambil senyum-senyum. Tapi kemudian senyumnya hilang berganti sikap tegas seperti biasanya.
"Udah sana! Buruan cari timmu sendiri. Ambil anak Line jangan ngawur, ya. Yang kerjaannya nggak vital aja ambilin," ucapnya memberi peringatan pada Jingga. Ia tak mau job yang tengah berjalan harus banyak berkurang setoran hasil produksinya bila Jingga salah mengambil tim, karena ia yang bertanggung jawab untuk job awal.
"Huuuft ...,"
Jingga mendesah lelah. Tinggallah ia yang harus memutar otak memberdayakan hanya sebagian kecil karyawan dalam tim untuk job baru, padahal yang dikerjakan sama banyaknya dengan job lama.
Seharian penuh ia benar-benar memeras otak. Saat jam makan siang pun ia gunakan untuk makan bersama Mbak Intan sembari berdiskusi perihal membagi tim di Line. Beruntung meskipun terkesan galak, Mbak Intan ini orangnya fair dan bisa diajak bekerja sama.
Mbak Intan juga membantu mengarahkan tentang apa-apa saja yang harus dilakukannya sebagai mandor. Yah, meskipun hanya mandor insidental gara-gara ada job selipan, tetap saja tanggung jawabnya sama besar dengan mandor sungguhan. Karena itu, Jingga tak mau asal-asalan dalam mengemban tugas barunya.
Saat jam pulang, ia baru dapat bernapas lega. Akhirnya bisa pulang dan beristirahat di rumah. Ia merindukan kasurnya. Pokoknya ia mau tidur sesorean sampai semalaman dan baru bangun keesokan paginya. Pasti itu cukup untuk me-recharge energinya sebagai bekal kerja keras esok hari.
Nyatanya, Miko--sang pacar--telah menunggu untuk mengajaknya ke cafe dekat tempat kerja. Jingga pun menyetujuinya. Ia pikir lumayan, bisa buat refresh otaknya yang seakan ngebul seharian ini.
Dan yang didapatinya malah fakta lebih mengejutkan daripada hanya sekedar datangnya job selipan atau kenyataan dia harus jadi mandor dadakan. Kejutan yang mengesalkan itu disampaikan oleh Miko dengan gaya tanpa rasa bersalah yang sangat membuat Jingga geram dan super sebal. Amarahnya jauh lebih besar ketimbang patah hatinya. Beberapa kali mengalami patah hati membuatnya lebih bisa mengontrol diri.
Pengakuan Miko bahwa ia baru saja bertemu mantannya tanpa sengaja, dan memutuskan jalan-jalan sejenak berdua atas nama nostalgia cinta pertama membuat lengkap sudah hari ini sebagai hari paling bersejarah dalam hidup Jingga. Ia sungguh akan mengingat betul tanggal hari ini. Akan tercatat tebal dalam memorinya, hari di mana ia diangkat jadi mandor, sekaligus hari di mana cintanya kandas untuk kesekian kalinya. Tanggal 20 Januari 2021.
* * *
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat