Share

Chapter 5 - Campur Tangan Imel

"Udah sampai mana, Ndy?" Jingga mengawasi sebentar pekerjaan Nindy di meja cek bahan di mana biasanya ia yang menempati. Nindy mendongak sebentar kemudian menjawab lancar sambil kembali fokus pada bahan sepatu yang tengah ia susun per seri. "Ini aku tinggal size 37 dan 36 aja, besok udah bisa selesai dan bantuin si Via ngerjain job barunya."

"Sip, kamu emang andalanku," ucap Jingga seraya mencubit lengan Nindy gemas. Nindy yang berbody chubby nan menggemaskan dengan kulit putih dan rambut ikal yang selalu dikuncir model cepol itu memonyongkan bibirnya lucu.

Jingga terkekeh sambil beranjak meninggalkan mejanya menuju ke meja Via di seberang. Si empunya sedang mengambil bahan ke departemen Cutting, sehingga Jingga hanya mengecek buku berisi tabel laporan size dan jumlah yang telah dicek dan yang telah disetorkan ke Line.

Dua hari ini Jingga tak pernah duduk di meja. Ia harus terus berkeliling untuk mengawasi kinerja tim yang mengerjakan job baru itu dengan seksama agar tidak sampai kecolongan dan ada kesalahan yang terlewat.

"Via udah dapat dua size besar. Bagus. Kayaknya bisa selesai tepat waktu, nih. Semoga aja." Jingga mengumamkan harap pelan, sekedar didengar oleh telinganya sendiri.

Diteruskannya memeriksa data input dan output bahan di buku Via, memeriksa apakah ada yang janggal. Ternyata kelihatannya sudah tercatat rapi semua. Syukurlah, Nindy memilih seseorang yang juga bisa diandalkan, pikirnya dalam diam.

Ia kemudian pergi ke Line dan melihat sebagian kecil tim yang khusus mengerjakan job barunya. Bahan dari persiapan bertumpuk tinggi belum terjamah. Duh, gawat kalau tidak ditambah personil, nih, pikirnya sedikit kalut. Kecemasan tidak dapat mencapai target waktu setor mulai membayanginya.

Dengan nekat, didekatinya Mbak Intan, mencoba bernegosiasi,

"Mbak, kayaknya aku butuh tambahan personil."

Sambil menunjuk ke meja paling belakang Line, Jingga melanjutkan,

"Tuh, bahan pada masih numpuk di belakang, gak bisa maju-maju. Paling nggak, butuh dua orang lagi untuk kejar setoran."

Mbak Intan yang sepertinya juga sedang tidak begitu bagus moodnya, tampak kurang menanggapi keluhan Jingga.

"Minta tambah ke Bu Tutik langsung, cari di Line lain. Kami sudah kewalahan juga, nih, gak boleh dikurangin lagi!" jawabnya terdengar ketus.

Mbak Intan memang moody orangnya. Kalau pas moodnya lagi bagus, dia akan sangat enak diajak ngapain aja, bahkan bercanda. Namun, saat sedang badmood, boro-boro bisa diajak bercanda, diajak ngomong serius aja jawabnya pake otot plus mata melotot. Duh, horor juga lah kadang-kadang orangnya.

Akhirnya Jingga pun mengalah, tak bisa ia minta bantuan ke Line lain karena gengsinya. Ia mencoba cara lain dengan ikut terjun membantu mengerjakan pekerjaan tim yang keteteran. Lumayan bisa mengejar ketertinggalan setoran, meskipun sedikit.

Bu Tutik yang memperhatikannya dari kejauhan dan sesekali datang mengawasi sampai di mana kerja Jingga tampak cukup puas. Terbukti tidak ada keluhannya yang terdengar ketika berkeliling Line. Biasanya, kalau ada yang tidak sesuai atau ada kesalahan pengerjaan, ia akan seketika itu juga mencak-mencak dan berteriak memarahi seluruh tim.

Saat jam istirahat makan siang tiba, Jingga terkejut melihat Imel sudah ada di meja cek bahan tempat biasanya Jingga berada. Imel adalah karyawan dari departemen cutting, beda ruangan dengan Jingga. Mereka lumayan akrab karena tugas Jingga semasa pegang bagian cek bahan adalah mencatat input dari cutting yang masuk ke persiapan Line.

"Eh, kamu, Mel. Tumben ke sini?" sapanya mencoba bersikap seperti biasa.

Yang disapa langsung balik menanyainya, "HP kamu mati dari semalem, ya? Aku hubungin gak aktif terus?"

Jingga langsung paham ke mana arah pembicaraannya. Ia memang sengaja mematikan ponsel sejak melihat nomor Miko terus-terusan memanggil kemarin sore.

Tak pelak lagi, Miko pasti telah mengadu kepada Imel sehingga gadis itu kini datang menemui Jingga.

"Oh, iya, lagi males angkat telfon seseorang." Jingga menjawab tegas, sebisa mungkin mengesampingkan kemarahannya pada Miko agar tak menjalar kepada Imel yang sama sekali tak ikut andil dengan masalahnya.

"Kalian bertengkar?" Imel mulai menginterogasi dan memasang wajah serius.

"Nggak, kami putus!" pungkas Jingga pendek tanpa basa-basi. Mengabaikan sedikit ngilu di hatinya saat mengucapkan kalimat itu.

Sejujurnya, ia ingin memaki-maki kesalahan Miko di hadapan Imel dan meminta pembenaran atas apa yang telah ia putuskan kemarin. Tapi gengsi dalam diri menahannya untuk tampak sebagai cewek menyedihkan yang sedang patah hati. Ia ingin menunjukkan sikap sebagai Jingga yang mandiri, kuat dan happy.

Imel tampak sedikit terbelalak. Sepertinya Miko belum menceritakan semuanya. Terbukti Imel ternyata masih mengubernya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar apa sebenarnya yang terjadi, apa tidak bisa dibicarakan kembali dan lain-lain yang Jingga enggan mendengar atau pun menanggapi.

"Udah putus, ya putus aja, Mel. Masalahnya tanya tuh, sama tetangga kamu. Aku nggak minat ngomongin yang udah lewat."

Jingga mengabaikan berondongan pertanyaan Imel dan membungkuk di laci meja untuk meraih tas berisi bekal makan siangnya.

Karena Imel masih tak beranjak dari tempat duduk Jingga dan Jingga juga tak enak kalau meninggalkannya begitu saja, ia pun meraih kursi dari meja sebelah, duduk dan membuka kotak bekalnya yang telah ia jejerkan di meja bersebelahan dengan botol minum.

Di ruangan luas tempat kerjanya yang adalah area produksi gedung 3 P.T Pharin Shoes, hanya tampak beberapa karyawan saja yang makan di dalam. Ruangan berkapasitas sekitar seribu orang itu tampak sangat lengang ketika jam istirahat begini.

Mayoritas karyawan lebih memilih beristirahat di luar ruangan. Mereka banyak berkumpul di dekat Mushala, ada pula yang di dekat parkiran, dan ada yang sengaja keluar menggunakan motor entah untuk pulang ke rumah atau ke kosan, atau juga mencari makan di luar.

Aroma pedas gurih dari oseng udang kecap masakan ibunya menguar menggoda hidung Jingga yang memang perutnya tengah melilit perih minta diisi. Sarapannya di rumah tadi hanya masuk sedikit karena ia terburu-buru sekali ingin sampai lebih pagi.

“Makan, Mel?" ia berbasa-basi menawari sembari menyorongkan kotak makan tupperware berwarna oranye itu ke depan Imel.

Yang ditawari hanya menggeleng, dan berkata ragu, "Sebenernya ... aku ke sini disuruh Miko ngajakin kamu makan siang di luar, sih. Udah ditunggu dia di depan."

Jingga pura-pura tidak mendengar dan dengan lahap mulai mengeksekusi bekalnya tanpa ampun. Saat perut keroncongan dan ada makanan kesukaan itu adalah perpaduan momen yang pas untuk berubah menjadi rakus.

Karena Jingga tak menyahut dan malah terus lahap memakan bekalnya yang memang tampak lezat, Imel pun pamit sambil melirik arlojinya,

" Udah mepet, nih, jam istirahatnya. Kutinggal keluar dulu, kalau gitu, ya, Ngga."

Jingga mendongak dan menjawab, "Oke, cepetan cari makan, keburu masuk!"

"Oh, ya, aktifin dong HPnya. Udah pada dewasa, selesein masalah tanpa harus menghindarinya, oke?!" Imel mengucapkan kalimat pamungkas yang lumayan menusuk terdengar di telinga Jingga.

Ketika Imel telah keluar ruangan, Jingga melampiaskan kekesalannya dengan membanting sendoknya ke meja. Hilang sudah selera makannya. Perutnya mendadak begah dan tak ada niat melanjutkan makan.

“Sialan, nggak dewasa karena menghindari masalah katanya?"

"Aku langsung menghadapi masalah dengan mutusin Miko kemarin."

“Dan aku matiin HP justru karena sudah dewasa dan memilih konsisten dengan keputusanku."

“Dasar, Miko songong! Dia pasti ngadunya aneh-aneh gak sesuai fakta, deh! Jadinya Imel malah kayak nyalahin aku."

Jingga mengomel seorang diri sambil menusuk-nusuk nasinya yang masih banyak di kotak makan.

"Gak bisa gini, nih! Imel harus tahu kalo tetangganya itu emang pantes buat diputusin!" Jingga segera mengambil HP dalam tas dan menekan tombol power untuk menghidupkannya.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status