"Udah sampai mana, Ndy?" Jingga mengawasi sebentar pekerjaan Nindy di meja cek bahan di mana biasanya ia yang menempati. Nindy mendongak sebentar kemudian menjawab lancar sambil kembali fokus pada bahan sepatu yang tengah ia susun per seri. "Ini aku tinggal size 37 dan 36 aja, besok udah bisa selesai dan bantuin si Via ngerjain job barunya."
"Sip, kamu emang andalanku," ucap Jingga seraya mencubit lengan Nindy gemas. Nindy yang berbody chubby nan menggemaskan dengan kulit putih dan rambut ikal yang selalu dikuncir model cepol itu memonyongkan bibirnya lucu.
Jingga terkekeh sambil beranjak meninggalkan mejanya menuju ke meja Via di seberang. Si empunya sedang mengambil bahan ke departemen Cutting, sehingga Jingga hanya mengecek buku berisi tabel laporan size dan jumlah yang telah dicek dan yang telah disetorkan ke Line.
Dua hari ini Jingga tak pernah duduk di meja. Ia harus terus berkeliling untuk mengawasi kinerja tim yang mengerjakan job baru itu dengan seksama agar tidak sampai kecolongan dan ada kesalahan yang terlewat.
"Via udah dapat dua size besar. Bagus. Kayaknya bisa selesai tepat waktu, nih. Semoga aja." Jingga mengumamkan harap pelan, sekedar didengar oleh telinganya sendiri.
Diteruskannya memeriksa data input dan output bahan di buku Via, memeriksa apakah ada yang janggal. Ternyata kelihatannya sudah tercatat rapi semua. Syukurlah, Nindy memilih seseorang yang juga bisa diandalkan, pikirnya dalam diam.
Ia kemudian pergi ke Line dan melihat sebagian kecil tim yang khusus mengerjakan job barunya. Bahan dari persiapan bertumpuk tinggi belum terjamah. Duh, gawat kalau tidak ditambah personil, nih, pikirnya sedikit kalut. Kecemasan tidak dapat mencapai target waktu setor mulai membayanginya.
Dengan nekat, didekatinya Mbak Intan, mencoba bernegosiasi,
"Mbak, kayaknya aku butuh tambahan personil."
Sambil menunjuk ke meja paling belakang Line, Jingga melanjutkan,
"Tuh, bahan pada masih numpuk di belakang, gak bisa maju-maju. Paling nggak, butuh dua orang lagi untuk kejar setoran."
Mbak Intan yang sepertinya juga sedang tidak begitu bagus moodnya, tampak kurang menanggapi keluhan Jingga.
"Minta tambah ke Bu Tutik langsung, cari di Line lain. Kami sudah kewalahan juga, nih, gak boleh dikurangin lagi!" jawabnya terdengar ketus.
Mbak Intan memang moody orangnya. Kalau pas moodnya lagi bagus, dia akan sangat enak diajak ngapain aja, bahkan bercanda. Namun, saat sedang badmood, boro-boro bisa diajak bercanda, diajak ngomong serius aja jawabnya pake otot plus mata melotot. Duh, horor juga lah kadang-kadang orangnya.
Akhirnya Jingga pun mengalah, tak bisa ia minta bantuan ke Line lain karena gengsinya. Ia mencoba cara lain dengan ikut terjun membantu mengerjakan pekerjaan tim yang keteteran. Lumayan bisa mengejar ketertinggalan setoran, meskipun sedikit.
Bu Tutik yang memperhatikannya dari kejauhan dan sesekali datang mengawasi sampai di mana kerja Jingga tampak cukup puas. Terbukti tidak ada keluhannya yang terdengar ketika berkeliling Line. Biasanya, kalau ada yang tidak sesuai atau ada kesalahan pengerjaan, ia akan seketika itu juga mencak-mencak dan berteriak memarahi seluruh tim.
Saat jam istirahat makan siang tiba, Jingga terkejut melihat Imel sudah ada di meja cek bahan tempat biasanya Jingga berada. Imel adalah karyawan dari departemen cutting, beda ruangan dengan Jingga. Mereka lumayan akrab karena tugas Jingga semasa pegang bagian cek bahan adalah mencatat input dari cutting yang masuk ke persiapan Line.
"Eh, kamu, Mel. Tumben ke sini?" sapanya mencoba bersikap seperti biasa.
Yang disapa langsung balik menanyainya, "HP kamu mati dari semalem, ya? Aku hubungin gak aktif terus?"
Jingga langsung paham ke mana arah pembicaraannya. Ia memang sengaja mematikan ponsel sejak melihat nomor Miko terus-terusan memanggil kemarin sore.
Tak pelak lagi, Miko pasti telah mengadu kepada Imel sehingga gadis itu kini datang menemui Jingga.
"Oh, iya, lagi males angkat telfon seseorang." Jingga menjawab tegas, sebisa mungkin mengesampingkan kemarahannya pada Miko agar tak menjalar kepada Imel yang sama sekali tak ikut andil dengan masalahnya.
"Kalian bertengkar?" Imel mulai menginterogasi dan memasang wajah serius.
"Nggak, kami putus!" pungkas Jingga pendek tanpa basa-basi. Mengabaikan sedikit ngilu di hatinya saat mengucapkan kalimat itu.
Sejujurnya, ia ingin memaki-maki kesalahan Miko di hadapan Imel dan meminta pembenaran atas apa yang telah ia putuskan kemarin. Tapi gengsi dalam diri menahannya untuk tampak sebagai cewek menyedihkan yang sedang patah hati. Ia ingin menunjukkan sikap sebagai Jingga yang mandiri, kuat dan happy.
Imel tampak sedikit terbelalak. Sepertinya Miko belum menceritakan semuanya. Terbukti Imel ternyata masih mengubernya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar apa sebenarnya yang terjadi, apa tidak bisa dibicarakan kembali dan lain-lain yang Jingga enggan mendengar atau pun menanggapi.
"Udah putus, ya putus aja, Mel. Masalahnya tanya tuh, sama tetangga kamu. Aku nggak minat ngomongin yang udah lewat."
Jingga mengabaikan berondongan pertanyaan Imel dan membungkuk di laci meja untuk meraih tas berisi bekal makan siangnya.
Karena Imel masih tak beranjak dari tempat duduk Jingga dan Jingga juga tak enak kalau meninggalkannya begitu saja, ia pun meraih kursi dari meja sebelah, duduk dan membuka kotak bekalnya yang telah ia jejerkan di meja bersebelahan dengan botol minum.
Di ruangan luas tempat kerjanya yang adalah area produksi gedung 3 P.T Pharin Shoes, hanya tampak beberapa karyawan saja yang makan di dalam. Ruangan berkapasitas sekitar seribu orang itu tampak sangat lengang ketika jam istirahat begini.
Mayoritas karyawan lebih memilih beristirahat di luar ruangan. Mereka banyak berkumpul di dekat Mushala, ada pula yang di dekat parkiran, dan ada yang sengaja keluar menggunakan motor entah untuk pulang ke rumah atau ke kosan, atau juga mencari makan di luar.
Aroma pedas gurih dari oseng udang kecap masakan ibunya menguar menggoda hidung Jingga yang memang perutnya tengah melilit perih minta diisi. Sarapannya di rumah tadi hanya masuk sedikit karena ia terburu-buru sekali ingin sampai lebih pagi.
“Makan, Mel?" ia berbasa-basi menawari sembari menyorongkan kotak makan tupperware berwarna oranye itu ke depan Imel.
Yang ditawari hanya menggeleng, dan berkata ragu, "Sebenernya ... aku ke sini disuruh Miko ngajakin kamu makan siang di luar, sih. Udah ditunggu dia di depan."
Jingga pura-pura tidak mendengar dan dengan lahap mulai mengeksekusi bekalnya tanpa ampun. Saat perut keroncongan dan ada makanan kesukaan itu adalah perpaduan momen yang pas untuk berubah menjadi rakus.
Karena Jingga tak menyahut dan malah terus lahap memakan bekalnya yang memang tampak lezat, Imel pun pamit sambil melirik arlojinya,
" Udah mepet, nih, jam istirahatnya. Kutinggal keluar dulu, kalau gitu, ya, Ngga."
Jingga mendongak dan menjawab, "Oke, cepetan cari makan, keburu masuk!"
"Oh, ya, aktifin dong HPnya. Udah pada dewasa, selesein masalah tanpa harus menghindarinya, oke?!" Imel mengucapkan kalimat pamungkas yang lumayan menusuk terdengar di telinga Jingga.
Ketika Imel telah keluar ruangan, Jingga melampiaskan kekesalannya dengan membanting sendoknya ke meja. Hilang sudah selera makannya. Perutnya mendadak begah dan tak ada niat melanjutkan makan.
“Sialan, nggak dewasa karena menghindari masalah katanya?"
"Aku langsung menghadapi masalah dengan mutusin Miko kemarin."
“Dan aku matiin HP justru karena sudah dewasa dan memilih konsisten dengan keputusanku."
“Dasar, Miko songong! Dia pasti ngadunya aneh-aneh gak sesuai fakta, deh! Jadinya Imel malah kayak nyalahin aku."
Jingga mengomel seorang diri sambil menusuk-nusuk nasinya yang masih banyak di kotak makan.
"Gak bisa gini, nih! Imel harus tahu kalo tetangganya itu emang pantes buat diputusin!" Jingga segera mengambil HP dalam tas dan menekan tombol power untuk menghidupkannya.
* * *
Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan. Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi, [Tes] Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya, [Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah. Terkirim. Tanda centang hitam dua buah. "Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu. Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wan
"Nak,"Jingga berjengit terkejut mendengar suara lembut ibunya yang entah sejak kapan berada di situ. Di pojokan ruang tamu."I-Ibu ... bikin kaget aja, deh," ujar Jingga terbata, mengira-ngira apakah ibunya telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Miko barusan atau tidak."Kamu nggak apa-apa, Nak?" si ibu yang biasanya cerewet itu menanyainya lembut, seakan tahu putrinya tengah sekuat tenaga menahan gejolak dalam hati.Jingga menghela napas lemah. Ibunya pasti telah mendengar ihwalnya dengan Miko barusan. Tak ada gunanya lagi menyangkal, begitu pikirnya.Tanpa kata, Jingga menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan hangat wanita separuh baya tersebut. Ditumpahkannya air mata yang semenjak melihat raut wajah cemas sang ibu tadi telah menggenangi pelupuknya.Bu Setyowati mengelus-elus punggung juga membelai-belai rambut hitam panjangnya, berusaha memberikan ketenangan. Dibiarkannya Jingga menangis puas-puas agar ia bisa lega
Bu Setyowati yang duduk di sebelah Jingga segera menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Jingga pun langsung minum dengan sekali teguk."Duh, kekenyangan, nih. Jingga ke kamar dulu, ya," pamitnya, mencoba menghindar dari Nila yang mulai merecoki. Biarlah ibunya yang mungkin akan memberi penjelasan kepada Bapak dan Nila nanti, pikirnya. Dirinya sendiri sama sekali tak ingin mengungkit ataupun mendengar masalah itu lagi.Di kamar, ia melanjutkan aktivitas mengumpulkan barang dan foto kenangan bersama Miko. Tak lupa ia juga menghapus jejak digital dari HP maupun akun-akun sosmednya setelah memblokir nomor dan akun Miko.Sesegera mungkin ia harus move on. Hidup terus berjalan. Akan ditemukannya kebahagiaan-kebahagiaan lain di luar sana. Keluarga yang disayanginya, pekerjaan yang disukai, serta prestasi yang diperjuangkannya, itu semua layak mendapat perhatian lebih daripada sekedar mengingat masa lalu bersama mantan yan
Hari-hari kemudian dilalui Jingga hanya fokus kepada pekerjaan. Beberapa pandangan mencibir dan meremehkan yang diterimanya dari sesama karyawan yang tampaknya merasa iri atau tersaingi, dianggapnya justru sebagai penyemangat diri agar lebih meningkatkan prestasi lagi. Yang penting berikan yang terbaik, maka hasil yang terbaik pula yang akan mengikuti. Itu sudah hukum alam yang tak terbantahkan.Demi untuk melupakan rasa sakitnya akibat kehilangan cinta untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia curahkan seluruh energi dan perhatiannya untuk bekerja. Nindy yang menyaksikan betapa keras usaha Jingga, terkadang menanyainya penasaran,"Tadi sarapan apa, sih? Manusia kok kayak nggak ada capeknya?"Jingga hanya tergelak mendengar seloroh temannya. Ia semakin dekat dengan Nindy semenjak mengerjakan job bersama. Tak disangkanya gadis gemoy itu ternyata cukup pengertian dan care. Seringkali ia memeriksa laci meja Jingga, hanya untuk mengecek apakah kotak bekal ada di situ a
Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihw
Tanpa merasa bersalah, Nindy berjalan terus ke belakang. Tak memedulikan temannya yang mengaduh-aduh kesakitan oleh tonjokan lengan gemolnya."Siapa suruh ngeledekin orang." ucapnya dengan nada ceria.Nindy senang sekali hari itu. Ia seperti mendapat kawan baru. Dulu ia menyangka Jingga ini cewek jutek dan sombong. Setelah hampir seminggu ini, ia baru sadar kalau Jingga ternyata teman yang asyik. Memang orang seharusnya tidak menilai kepribadian seseorang dari tampak luarnya saja. Don't judge a book by it's cover. Berkenalan lebih jauh, bergaul akrab dengannya, barulah bisa tahu baik atau buruk sifatnya.Jingga yang mengekor di belakangnya dibuat terpana oleh kebun belakang yang dimaksud Nindy. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Berderet-deret tanaman hias dalam pot berjajar rapi tampak indah dan teratur. Pot-pot disusun berdasarkan ukurannya dari yang terkecil hingga yang terbesar.Jenis bunganya yan
Saat akhirnya Jingga pulang dari rumah Nindy, ia benar-benar mampir ke minimarket untuk membeli minuman jeruk kemasan seperti yang ia minum di sana tadi. Sesampai di rumah, ada sebuah motor asing yang terparkir di teras. Motor CBR berwarna biru metalic itu sedikit menutupi akses jalan masuk, sehingga Jingga terpaksa memarkir motornya di depan pagar. Kemudian seorang cowok dengan setelah casual, celana jeans biru dongker dan kaos berwarna biru tua tampak terburu-buru keluar dari ruang tamu dan menyapa Jingga, "Maaf, Mbak. Biar saya pinggirkan sebentar," ucap cowok itu sembari memajukan lalu mengarahkan lebih ke pinggir motor CBR tadi lebih ke pinggir taman, sedikit mepet dengan barisan pot bunga. "Silakan, Mbak." Ia mempersilakan Jingga untuk masuk. Jingga pun melempar senyum ramah kepada si cowok, sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Rasa penasaran Jingga mengenai tamu cowok itu terjawab
Malam itu Jingga tak dapat tidur dengan nyenyak. Beberapa kali ia bermimpi buruk dan menangis tersedu-sedu entah untuk alasan apa. Bayangan tentang mimpinya serasa kabur dan tak dapat ia ingat dengan jelas.Keesokan paginya ia bangun dengan kepala terasa berat. Kalau bukan karena ada tanggung jawab besar menanti di tempat kerjanya, ia sebenarnya ingin izin sakit saja. Sayangnya, job yang dipercayakan padanya sedang dikejar deadline.Saat sarapan di ruang makan, Jingga hanya meminum susu coklatnya bersama sepotong roti selai. Ibunya yang paling tidak suka ada anggota keluarga yang tidak sarapan, segera menegurnya,"Ayo, makan nasinya dulu, Ngga! Nggak boleh berangkat kalau nggak sarapan!""Duh, maaf, Bu. Sekali ini aja Jingga sarapan roti dan susu, ya. Harus sampai pagi-pagi, nih. Ada yang musti cepet-cepet diselesaikan," jawab Jingga sambil memasukkan kotak bekal makan siangnya yang memang selalu dip