Bab 122Untuk beberapa lama Nora hanya menangis dalam diam. Kata-kata Raksa tadi masih menggema dalam kepalanya, menyalakan sedikit api hangat yang bahkan dirinya sendiri tidak mengira bisa kembali dia rasakan.Selama ini dunia terasa dingin, penuh kecurigaan, penuh kebencian. Kini, ada seseorang yang duduk tak jauh darinya, berjanji dengan caranya sendiri untuk tetap tinggal.Nora mengangkat wajahny. Mata bengkak dan merah, lalu menatap Raksa lama sekali. Ada sesuatu yang muncul di sana. Campuran antara rasa lega dan rasa sakit.“Raksa…” suaranya lirih, serak. “Aku… aku seharusnya sudah mati malam itu.”Raksa menegakkan tubuh. Wajahnya tegang. “Jangan katakan itu lagi.”“Tapi itu kenyataan,” Nora memaksa. Air mata kembali mengalir. “Aku sudah melangkah terlalu jauh. Menjadi orang seperti ini, tidak ada lagi tempat untukku di dunia. Kalau pun kamu ada di sini sekarang. Kalau pun kamu memilih untuk tidak menyerahkanku aku tetap seorang pembunuh.”Raksa hendak memotong, tapi Nora menata
Raksa berdiri di depan pintu kamar perawatan. Tangannya sempat terhenti di gagang pintu. Dia menarik napas panjang. Di dalam sana, dia yakin Nora sedang menunggu. Dia tak tahu apa yang akan keluar dari mulut perempuan itu, tapi firasatnya mengatakan sesuatu besar akan terungkap.Dengan hati-hati, Raksa mendorong pintu. Nora duduk bersandar di ranjang. Wajahnya pucat tapi matanya jernih, jernih dengan tekad, meski berlapis luka.“Bagaimana perasaanmu hari ini?” suara Raksa tenang, nyaris berbisik.“Masih hidup,” jawab Nora lirih, dengan senyum yang tidak benar-benar senyum. “Itu saja.”Raksa mendekat, menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya terdengar suara mesin infus yang berdetak pelan.“Raksa…” Nora memulai, suaranya pelan, nyaris retak. “Pernahkah kamu merasa… segala luka yang kita tanggung akhirnya harus dibalas entah bagaimana caranya?”Raksa menatapnya. “Aku tahu perasaan itu. Tapi balas dendam jarang membawa kelegaan.”Nora menghela napa
Ruang istirahat perawat sore itu dipenuhi aroma antiseptik dan bunyi samar monitor dari ruang sebelah. Lampu neon berpendar dingin, menyorot wajah pucat Chalia yang sudah menunggu di kursi pojok. Bahunya merosot, seolah seluruh beban dunia ditumpahkan ke tubuhnya yang rapuh.Raksa masuk, menutup pintu perlahan. Langkahnya berat. Dadanya dipenuhi kebimbangan. Dia tahu arah kasus ini. Tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Tapi dia tetap harus menuntun percakapan ini. Harus menyusun narasi yang bisa menyelamatkan Nora.“Chalia,” ucapnya datar. “Aku ingin kamu jujur sepenuhnya malam ini. Tentang hubunganmu dengan Janu. Tentang apa pun yang pernah kalian lakukan.”Chalia menegang. Untuk beberapa saat, matanya berputar resah, lalu tertunduk dalam. Ada jeda panjang sebelum ia membuka suara.“Ya,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku… aku memang punya hubungan dengan Janu.”Raksa menahan napas, menatap tajam.“Aku bodoh,” lanjut Chalia, suaranya pecah. “Aku tahu dia sudah menikah. Aku tahu han
Atasan Raksa menghela napas panjang, menatap kedua orang tua Janu yang masih berkacak pinggang di ujung ruang rapat. Wajah mereka merah. Napas masih berat karena amarah. Dia tahu betul suasana itu bisa memecah konsentrasi penyidikan kapan saja jika tidak segera diredakan.“Bapak, Ibu,” ujar Pak Wirya dengan nada tenang namun tegas, “kami paham bagaimana sakitnya kehilangan anak. Saya juga tak ingin perkara ini berlarut tanpa hasil. Tapi tolong percayakan prosesnya pada kami. Jika saudara merasa penyidik yang menangani, Pak Raksa, tidak objektif, kami bisa segera mengganti penanggung jawab penyidikan.”Kedua orang tua Janu saling pandang. Ibu Janu menghembuskan napas panjang, matanya masih menyala. “Kalau memang begitu, kami minta itu. Kami ingin keadilan,” katanya singkat.Wirya menepuk meja pelan untuk menghentikan gelombang emosi. “Kalau Pak Raksa tidak bisa bersikap objektif, saya tak akan ragu menarik dia dari kasus. Prioritas kita kebenaran. Bukan melindungi siapa pun. Itu jamin
Raksa menahan napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan. “Kami sudah mengumpulkan bukti sejauh ini,” katanya pelan tapi terukur. “Dan memang ada arah kecurigaan yang jelas pada perawat Chalia. Namun, kami masih kesulitan menemukan bukti kuat yang bisa menjeratnya di pengadilan.”Sejenak ruangan hening. Lalu, Ibu Janu menyambar kalimat itu seperti pisau. “Kesulitan? Maksudmu, anak saya mati begitu saja tanpa keadilan karena kalian kesulitan?” Suaranya meninggi. Matanya merah karena amarah sekaligus tangis yang ditahan.Ayah Janu mencoba meredam, meski wajahnya tak kalah keras. “Yang kami minta sederhana, Pak Raksa. Tangkap dia. Tekan dia. Buat dia bicara. Kamu polisi, bukan? Kalau memang dia bersalah, dia pasti akan mengaku.”Raksa menegakkan tubuh, kedua tangannya terkepal di atas meja. Dia ingin menjelaskan bahwa prosedur hukum tak semudah itu, bahwa setiap langkah yang dia ambil harus bisa dipertanggungjawabkan. Tapi menghadapi duka dan kemarahan dua orang tua yan
Ruangan seketika terasa menyempit. Nora menahan napas. Bola matanya melirik cepat pada Raksa.Raksa berdiri kaku. Merasa semua sorot mata tertuju padanya. Pertanyaan itu sederhana dalam bentuknya, tapi jawaban di kepalanya bercabang ribuan arah. Dia tahu arah kebenaran. Dia punya potongan-potongan yang bisa dirangkai menjadi sebuah tuduhan. Tapi dia juga tahu, membuka mulut sekarang berarti menelanjangi Nora di depan ayahnya sendiri.“Pak Harsanta…” suara Raksa terdengar rendah. Dia menelan ludah. “Yang saya tahu, Ibu Nora berada dalam tekanan berat sejak almarhum Pak Janu meninggal. Itu bisa saja yang mendorongnya mengambil langkah nekat.”Pak Harsanta menatap lebih dalam, seolah ingin menguliti tiap kata Raksa. “Itu jawaban seorang polisi atau jawaban seorang pria yang sedang mencoba melindungi anak saya?”Kata-kata itu menghantam tepat di ulu hati Raksa.Raksa menunduk sesaat, lalu kembali menegakkan tubuh. “Mungkin keduanya, Pak.”Keheningan jatuh. Nora memejamkan mata. Hatinya be