Pagi itu, Janu mengancingkan kemeja sambil berjalan ke ruang makan. Rambutnya masih sedikit basah, disisir asal.
Saat mata Janu menangkap teh melati di meja, langkahnya terhenti sepersekian detik. Dia menarik napas pelan, nyaris tak terdengar, tapi ekspresi wajahnya mencerminkan sesuatu yang mirip dengan jemu Teh ini lagi! Dia duduk tanpa banyak suara, meletakkan jam tangan di sisi piring. Cangkir teh itu tetap tak tersentuh. “Pagi,” suara Nora terdengar ringan dari arah dapur. “Tehnya masih hangat.” Janu melirik sekilas. “Hm. Pagi,” sahutnya pendek. Suaranya tak lebih hangat dari teh yang dibiarkan menguap sendiri. Nora berjalan pelan mendekat. Senyumnya tetap sama. Tenang, lembut, seperti setiap pagi. Dia menaruh sepiring kecil roti panggang dan selai stroberi di hadapan suaminya. “Aku memasak untuk makan siang. Mau kubawakan ke rumah sakit?” tanyanya, terdengar tulus. Janu menarik napas dan menggeleng pelan, sambil mengunyah tanpa semangat. “Tidak usah. Aku mungkin sibuk nanti siang. Kamu keluar saja. Jalan dengan teman-temanmu. Ke kafe, mall, atau apa,” katanya sambil menyeka mulutnya dengan serbet. Lalu bangkit berdiri, meraih jam tangan. Nora menatapnya sejenak. Tidak lama, tidak tajam. Hanya cukup untuk membaca nada dari gerak tubuh suaminya. “Yakin?” suara Nora masih tenang, seolah benar-benar bertanya, bukan menyindir. “Yakin,” sahut Janu cepat. Lalu menambahkan, “Kamu butuh hiburan juga, kan?” Dia tak menoleh ketika berkata itu. Tak sempat menangkap tatapan istrinya sekilas berubah tajam. Cangkir teh itu tetap dibiarkan di meja. Uapnya sudah menghilang. Rasanya pun tak lagi hangat. Sama seperti sesuatu yang dulu mereka sebut rumah. Nora membereskan piring pelan-pelan, masih dengan gerakan lembut. Dia menatap teh yang tak disentuh itu, lalu tersenyum tipis. Tak masalah. Hari masih panjang. Dan rencana tidak pernah tergesa-gesa. *** Mesin mobil berdengung pelan. Janu menyetel AC ke suhu dingin meski matahari baru naik separuh. Jalanan pagi itu belum terlalu padat, tapi pikirannya sudah lebih sesak dari lalu lintas kota. Kadang aku berharap Nora marah. Atau menamparku. Atau meneriakiku karena teh yang tak kusentuh. Tapi dia hanya diam. Diam yang justru membuatnya semakin terperangkap. Janu ingin lepas. Ingin bebas dari rumah yang tiap sudutnya mengingatkannya akan janji-janji yang kini terasa asing. Tapi di balik keinginannya untuk pergi, ada satu fakta yang membuatnya bertahan. Perjanjian pranikah. Jika dia pergi, semua yang mereka miliki tetap jadi milik Nora. Rumah, simpanan, bahkan mobil yang kini dia kendarai. Semua akan jatuh ke tangan Nora. Dia hanya akan keluar dengan pakaian di punggung dan lisensi medis di tangannya. Dan dunia luar tidak semurah itu. Terutama jika Janu ingin tetap hidup dengan standar yang kini sudah terlanjur nyaman. Mobil berbelok ke halaman parkir rumah sakit. Janu mengenakan jas dokternya sebelum turun. Langkahnya cepat, kepala sedikit tertunduk seperti biasa. Beberapa suster menyapa. Dia menjawab dengan anggukan singkat, formal. Di koridor menuju ruang staf, seseorang menarik lengannya perlahan. “Masih ada bau sabun hotel murah,” bisik Chalia, tersenyum genit. Janu tak bisa menahan senyum kecilnya. Sekilas, hanya sekilas. “Kamu seharusnya mandi kemarin, bukan cuma pakai parfum,” lanjutnya, tangan masih bertumpu ringan di lengan Janu. “Mandi itu untuk yang punya waktu,” balas Janu pelan. Chalia tersenyum miring, matanya menatap tajam ke dalam mata Janu. “Kamu tidak takut istrimu mulai mencium sesuatu?” “Aku bilang, dia tidak akan curiga. Nora terlalu sibuk jadi istri baik.” Suara Janu datar, nyaris sinis. Mereka saling pandang beberapa detik sebelum suara langkah kaki dokter lain membuat Chalia mundur selangkah. Janu merapikan jasnya. Senyumnya berubah, lebih kaku, lebih rapi, seperti saklar yang dimatikan dan dinyalakan ulang. “Lain kali kita cari waktu lebih panjang,” bisik Chalia, sebelum berbalik pergi. Janu hanya mengangguk dan melanjutkan langkah ke ruang prakteknya. Dia duduk di kursi, membuka layar komputer, dan mulai menjadwalkan pasien pagi itu. Di luar, matahari sudah terang. Tapi dalam kepalanya, bayangan Nora dan secangkir teh yang tak disentuh masih terus terngiang. * Nora menggenggam kotak makan siang itu dengan erat. Dia memutuskan akan tetap membawakan makan siang ke rumah sakit. Sebagai kejutan, katanya pada diri sendiri. Tapi dalam diam, ada rencana lain yang mulai tumbuh. Bukan dendam. Hanya rasa ingin tahu yang makin sulit dibungkam. Rumah sakit tampak ramai tapi teratur. Nora melangkah pelan menyusuri koridor, bertanya pada perawat jaga sebelum akhirnya sampai di ruang praktik Janu. Saat dia mengetuk pintu dan memperkenalkan diri, suara ramah menyambutnya lebih dulu dari dalam ruangan sebelah. "Ah, Ibu Nora, ya?" Seorang perempuan muda berpakaian seragam hijau muda muncul dari balik pintu. Wajahnya manis dan senyumnya hangat. “Saya Chalia. Asisten Dokter Janu.” Nora tersenyum sopan. “Oh, saya cuma mau antar makan siang." “Wah, baik sekali! Dokter Janu sering cerita tentang Ibu,” ucap Chalia dengan antusias. “Saya sampai sudah menganggap Ibu seperti kakak sendiri. Serius!" Nora sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum. “Ah, yang benar?” “Serius, Bu!” Chalia tertawa. “Dokter Janu itu banyak fansnya di sini. Pasien menyukainya. Dia tenang, ramah, dan tanggap. Saya belajar banyak dari beliau.” Nora mengangguk pelan. Pandangannya menelusuri gerak-gerik Chalia yang tampak lincah tapi terukur. Jenis orang yang tahu persis cara bersikap manis tanpa terlihat berlebihan. “Sebentar ya, saya panggilkan Dokter Janu,” kata Chalia, meninggalkan Nora beberapa saat di ruang tunggu kecil itu. Beberapa menit berlalu, sebelum Chalia kembali dengan senyum sedikit canggung. “Maaf, Bu. Dokter Janu sedang video call dengan keluarga pasien penting. Katanya tidak bisa menemui. Tapi beliau titip salam. Dan beliau minta makannya dititip saja ke saya saja. Apa Ibu berkenan?” Nora terdiam sejenak. Tapi tak ada kecurigaan di wajahnya. “Hm, ya sudah. Tolong sampaikan ini, ya,” ujarnya sambil menyerahkan kotak makan siang itu. “Makanan hangat. Tolong beri tahu Janu supaya langsung dimakan.” “Tentu, Bu,” Chalia menerima kotak itu dengan dua tangan. “Saya pastikan beliau terima.” Mereka saling mengucap salam perpisahan. Nora melangkah pergi perlahan, menyusuri lorong panjang rumah sakit dengan tatapan lurus ke depan. Tidak tergesa, tidak pula kecewa. Tapi dalam pikirannya, satu nama mulai tertulis pelan dalam catatan kecil yang hanya bisa dia baca sendiri. Chalia. Manis. Ramah. Dan terlalu sering menyebut nama suaminya dengan cara yang tidak semua orang perhatikan. Persis seperti wanita yang diam-diam meniduri suami orang lain.Nora tiba di rumah dengan langkah ringan. Langkah-langkahnya tak tergesa, tak pula berat. Dia membuka pintu rumah, meletakkan tas tangan di tempat biasa, lalu melepas sepatunya dengan tenang. Tak ada gelombang amarah dalam dirinya. Tak ada isak kecewa.Apa yang dia lihat pagi tadi, Janu dan perempuan itu, hanyalah babak lain dari drama yang sudah hapal di luar kepala.Janu memang tak pernah setia. Dan anehnya, itu tak lagi menyakitkan. Karena sejak memutuskan untuk melenyapkan Janu, Nora sudah tahu lelaki itu tak akan pernah benar-benar miliknya. Yang dia incar bukan cintanya. Tapi kuasanya. Ketundukannya. Kelemahannya.Nora berjalan menuju dapur, menuang air ke dalam gelas kristal. Tangannya halus, gerakannya tenang, tapi pikirannya berjalan lebih cepat dari air yang mengalir dari keran.Janu harus mati. Tapi bukan dengan cara yang sama seperti kemarin. Itu terlalu lemah. Terlalu berisiko. Jika dia bisa diselamatkan sekali, bukan tak mungkin dia bisa diselamatkan lagi. Dan kali ini,
Langit begitu cerah siang itu. Matahari bersinar terik, tak ada tanda hujan akan turun. Di dalam kafe, aroma espresso dan vanilla bercampur samar dengan lagu jazz lembut yang mengalun pelan.Nora duduk di pojokan. Di depannya, secangkir teh melati masih mengepul, belum disentuh. Wajahnya tenang, tapi pikirannya riuh. Masih membentang dari ruang kerja ayahnya ke rumah yang sebentar lagi harus dia hadapi lagi bersama Janu.Belum sempat dia menyesap tehnya, pintu kafe terbuka. Angin tipis membawa aroma matahari.“Wah, ternyata kamu di sini juga.” Suara itu familiar.Nora menoleh. Raksa berdiri di dekat meja kasir, menggenggam kantong kertas berisi cup kopi. Rambutnya agak berantakan. Namun, senyumnya seperti biasa, tenang, agak malas, dan berbahaya.“Tempat favorit,” balas Nora dengan senyum kecil. “Kamu juga kelihatan sering ke sini, ya?”Raksa mengangkat alis, lalu memutuskan duduk di kursi seberangnya. “Biasanya cuma beli dan pergi. Tapi hari ini, aku ingin duduk sebentar.”Nora menya
Udara pagi masih segar. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang, Janu mulai terbangun, perlahan mengangkat tubuhnya yang masih terasa berat. Dia mengedarkan pandangan dan mendapati Nora tengah duduk di tepi ranjang. Masih mengenakan jubah tidur berwarna lembut. Namun, rambutnya sudah disisir rapi ke samping.“Pagi,” ucap Nora pelan, seolah tak ingin mengejutkannya.Janu hanya mengangguk kecil. “Kamu bangun pagi sekali.”“Aku tak bisa tidur terlalu lama.” Dia tersenyum kecil. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Sedikit,” jawab Janu jujur.Nora menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Ada ketulusan dalam tatapannya.“Terima kasih untuk semalam,” ujar Nora lembut. “Semalam, aku memikirkan semua yang kamu katakan,” ucapnya dengan suara pelan. “Aku sadar mungkin selama ini aku terlalu keras. Terlalu sibuk dengan luka dan amarahku sendiri.”Janu tak menyela, hanya memandangnya dengan penuh kehati-hatian.Nora melanjutkan, l
Dua minggu setelah keluar dari rumah sakit, Janu kini sudah jauh lebih baik. Tubuhnya mulai pulih sepenuhnya, meskipun bekas trauma keracunan itu masih membekas jelas di pikirannya. Nafasnya tidak lagi sesak. Langkahnya mulai mantap. Dia sudah bisa berjalan keliling rumah tanpa bantuan, bahkan sesekali keluar ke teras untuk menghirup udara pagi.Namun, ada satu hal yang belum berubah. Dia tak pernah menyentuh satu pun makanan atau minuman yang disajikan Nora.Pagi, siang, hingga malam, semua dia pesan sendiri. Makanan dikirim ke rumah oleh layanan katering terpercaya. Dia membeli minuman dan air mineralnya sendiri. Bahkan teh dan kopi dia buat di kamar dengan perlengkapan pribadi. Semua dengan satu prinsip. Jangan beri celah.Anehnya, Nora tak menunjukkan reaksi berlebihan. Tak ada pertengkaran, tak ada air mata. Dia tetap menjalankan peran sebagai istri dengan wajah datar namun tenang. Menyapu, mencuci, menyetrika. Hanya tak pernah menyiapkan makanan atau minuman untuk Janu.Tapi di
Seminggu sudah sejak racun hampir membunuhnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi dokter menyatakan Janu bisa menjalani rawat jalan. Dia menunggu di kursi roda, menatap pintu utama rumah sakit. Wajahnya tenang, tapi pikirannya berkecamuk.Dia belum tahu siapa yang meracuni kopinya, tapi beberapa nama terus berputar di kepalanya. Nora. Rindu. Chalia. Dan saat pintu otomatis terbuka, salah satu nama itu menjadi nyata.Nora melangkah masuk dengan senyum hangat dan tangan menggenggam buket bunga kecil. Penampilannya sederhana, wajahnya tampak lelah, tapi segar. Terlalu segar untuk seseorang yang baru saja "kritis".Janu tertegun sesaat. Dia tidak mengira Nora yang akan datang menjemput. Bukan Chalia. Bukan sopir kantor. Bukan siapapun. Tapi istrinya yang penuh teka-teki.“Mas,” ucap Nora lembut, “aku datang menjemputmu pulang.”Janu tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, menganalisis bahasa tubuh Nora, mencoba mencari celah di balik senyum itu.“Kenapa kamu?” tanyanya datar.Nora
Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah tirai jendela. Monitor detak jantung di samping ranjang menunjukkan angka stabil. Meski tubuhnya masih lemah, otak Janu mulai menyusun rencana. Dia tahu, ini bukan waktu untuk sembarangan percaya.Pintu kamar diketuk pelan sebelum terbuka.“Pagi, Mas,” suara Chalia terdengar hangat seperti biasa, tapi matanya menyimpan kekhawatiran. Dia membawa nampan berisi sarapan dari rumah sakit.“Aku ambilkan bubur ayam dan teh tawar hangat. Katanya Mas Janu belum boleh makanan berminyak.” Dia tersenyum, berusaha tampak santai.Janu menatapnya. Lama. Terlalu lama.Mata itu tak sekadar melihat, tapi seperti membedah isi hati. Tatapan yang dulu membuat Chalia merasa dihargai, kini terasa menginterogasi.Chalia mengernyit. “Kenapa kamu melihatku begitu?”Janu tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh pada gelas teh.“Kamu yang buatkan?” tanyanya lirih, tapi tajam.“Dari rumah sakit,” jawab Chalia cepat. “Disiapkan petugas. Aku cuma bawa ke sini.”Janu me