Share

Bab 2 Senyum Palsu

Author: Vargsagen
last update Huling Na-update: 2025-06-18 18:58:33

Pagi itu, Janu mengancingkan kemeja sambil berjalan ke ruang makan. Rambutnya masih sedikit basah, disisir asal.

Saat mata Janu menangkap teh melati di meja, langkahnya terhenti sepersekian detik. Dia menarik napas pelan, nyaris tak terdengar, tapi ekspresi wajahnya mencerminkan sesuatu yang mirip dengan jemu

Teh ini lagi!

Dia duduk tanpa banyak suara, meletakkan jam tangan di sisi piring. Cangkir teh itu tetap tak tersentuh.

“Pagi,” suara Nora terdengar ringan dari arah dapur. “Tehnya masih hangat.”

Janu melirik sekilas. “Hm. Pagi,” sahutnya pendek. Suaranya tak lebih hangat dari teh yang dibiarkan menguap sendiri.

Nora berjalan pelan mendekat. Senyumnya tetap sama. Tenang, lembut, seperti setiap pagi. Dia menaruh sepiring kecil roti panggang dan selai stroberi di hadapan suaminya.

“Aku memasak untuk makan siang. Mau kubawakan ke rumah sakit?” tanyanya, terdengar tulus.

Janu menarik napas dan menggeleng pelan, sambil mengunyah tanpa semangat.

“Tidak usah. Aku mungkin sibuk nanti siang. Kamu keluar saja. Jalan dengan teman-temanmu. Ke kafe, mall, atau apa,” katanya sambil menyeka mulutnya dengan serbet. Lalu bangkit berdiri, meraih jam tangan.

Nora menatapnya sejenak. Tidak lama, tidak tajam. Hanya cukup untuk membaca nada dari gerak tubuh suaminya.

“Yakin?” suara Nora masih tenang, seolah benar-benar bertanya, bukan menyindir.

“Yakin,” sahut Janu cepat. Lalu menambahkan, “Kamu butuh hiburan juga, kan?”

Dia tak menoleh ketika berkata itu. Tak sempat menangkap tatapan istrinya sekilas berubah tajam.

Cangkir teh itu tetap dibiarkan di meja. Uapnya sudah menghilang. Rasanya pun tak lagi hangat. Sama seperti sesuatu yang dulu mereka sebut rumah.

Nora membereskan piring pelan-pelan, masih dengan gerakan lembut. Dia menatap teh yang tak disentuh itu, lalu tersenyum tipis. Tak masalah. Hari masih panjang. Dan rencana tidak pernah tergesa-gesa.

***

Mesin mobil berdengung pelan. Janu menyetel AC ke suhu dingin meski matahari baru naik separuh. Jalanan pagi itu belum terlalu padat, tapi pikirannya sudah lebih sesak dari lalu lintas kota.

Kadang aku berharap Nora marah. Atau menamparku. Atau meneriakiku karena teh yang tak kusentuh. Tapi dia hanya diam.

Diam yang justru membuatnya semakin terperangkap.

Janu ingin lepas. Ingin bebas dari rumah yang tiap sudutnya mengingatkannya akan janji-janji yang kini terasa asing. Tapi di balik keinginannya untuk pergi, ada satu fakta yang membuatnya bertahan. Perjanjian pranikah.

Jika dia pergi, semua yang mereka miliki tetap jadi milik Nora. Rumah, simpanan, bahkan mobil yang kini dia kendarai. Semua akan jatuh ke tangan Nora. Dia hanya akan keluar dengan pakaian di punggung dan lisensi medis di tangannya.

Dan dunia luar tidak semurah itu. Terutama jika Janu ingin tetap hidup dengan standar yang kini sudah terlanjur nyaman.

Mobil berbelok ke halaman parkir rumah sakit. Janu mengenakan jas dokternya sebelum turun. Langkahnya cepat, kepala sedikit tertunduk seperti biasa. Beberapa suster menyapa. Dia menjawab dengan anggukan singkat, formal.

Di koridor menuju ruang staf, seseorang menarik lengannya perlahan.

“Masih ada bau sabun hotel murah,” bisik Chalia, tersenyum genit.

Janu tak bisa menahan senyum kecilnya. Sekilas, hanya sekilas.

“Kamu seharusnya mandi kemarin, bukan cuma pakai parfum,” lanjutnya, tangan masih bertumpu ringan di lengan Janu.

“Mandi itu untuk yang punya waktu,” balas Janu pelan.

Chalia tersenyum miring, matanya menatap tajam ke dalam mata Janu. “Kamu tidak takut istrimu mulai mencium sesuatu?”

“Aku bilang, dia tidak akan curiga. Nora terlalu sibuk jadi istri baik.” Suara Janu datar, nyaris sinis.

Mereka saling pandang beberapa detik sebelum suara langkah kaki dokter lain membuat Chalia mundur selangkah. Janu merapikan jasnya. Senyumnya berubah, lebih kaku, lebih rapi, seperti saklar yang dimatikan dan dinyalakan ulang.

“Lain kali kita cari waktu lebih panjang,” bisik Chalia, sebelum berbalik pergi.

Janu hanya mengangguk dan melanjutkan langkah ke ruang prakteknya.

Dia duduk di kursi, membuka layar komputer, dan mulai menjadwalkan pasien pagi itu. Di luar, matahari sudah terang. Tapi dalam kepalanya, bayangan Nora dan secangkir teh yang tak disentuh masih terus terngiang.

*

Nora menggenggam kotak makan siang itu dengan erat. Dia memutuskan akan tetap membawakan makan siang ke rumah sakit. Sebagai kejutan, katanya pada diri sendiri. Tapi dalam diam, ada rencana lain yang mulai tumbuh. Bukan dendam. Hanya rasa ingin tahu yang makin sulit dibungkam.

Rumah sakit tampak ramai tapi teratur. Nora melangkah pelan menyusuri koridor, bertanya pada perawat jaga sebelum akhirnya sampai di ruang praktik Janu. Saat dia mengetuk pintu dan memperkenalkan diri, suara ramah menyambutnya lebih dulu dari dalam ruangan sebelah.

"Ah, Ibu Nora, ya?"

Seorang perempuan muda berpakaian seragam hijau muda muncul dari balik pintu. Wajahnya manis dan senyumnya hangat.

“Saya Chalia. Asisten Dokter Janu.”

Nora tersenyum sopan. “Oh, saya cuma mau antar makan siang."

“Wah, baik sekali! Dokter Janu sering cerita tentang Ibu,” ucap Chalia dengan antusias. “Saya sampai sudah menganggap Ibu seperti kakak sendiri. Serius!"

Nora sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum. “Ah, yang benar?”

“Serius, Bu!” Chalia tertawa. “Dokter Janu itu banyak fansnya di sini. Pasien menyukainya. Dia tenang, ramah, dan tanggap. Saya belajar banyak dari beliau.”

Nora mengangguk pelan. Pandangannya menelusuri gerak-gerik Chalia yang tampak lincah tapi terukur. Jenis orang yang tahu persis cara bersikap manis tanpa terlihat berlebihan.

“Sebentar ya, saya panggilkan Dokter Janu,” kata Chalia, meninggalkan Nora beberapa saat di ruang tunggu kecil itu.

Beberapa menit berlalu, sebelum Chalia kembali dengan senyum sedikit canggung.

“Maaf, Bu. Dokter Janu sedang video call dengan keluarga pasien penting. Katanya tidak bisa menemui. Tapi beliau titip salam. Dan beliau minta makannya dititip saja ke saya saja. Apa Ibu berkenan?”

Nora terdiam sejenak. Tapi tak ada kecurigaan di wajahnya.

“Hm, ya sudah. Tolong sampaikan ini, ya,” ujarnya sambil menyerahkan kotak makan siang itu. “Makanan hangat. Tolong beri tahu Janu supaya langsung dimakan.”

“Tentu, Bu,” Chalia menerima kotak itu dengan dua tangan. “Saya pastikan beliau terima.”

Mereka saling mengucap salam perpisahan. Nora melangkah pergi perlahan, menyusuri lorong panjang rumah sakit dengan tatapan lurus ke depan. Tidak tergesa, tidak pula kecewa.

Tapi dalam pikirannya, satu nama mulai tertulis pelan dalam catatan kecil yang hanya bisa dia baca sendiri. Chalia.

Manis. Ramah. Dan terlalu sering menyebut nama suaminya dengan cara yang tidak semua orang perhatikan. Persis seperti wanita yang diam-diam meniduri suami orang lain.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Vargsagen
Janu yg lbh jahat🥹🥹
goodnovel comment avatar
Piemar
Seru ceritanya...Chalia bener" manipulatif
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 134 Yang Tak Akan Pernah Berakhir

    Setelah ciuman singkat itu, mereka sama-sama terdiam. Nora menunduk, masih merasakan debar yang asing sekaligus menenangkan di dadanya. Raksa tidak buru-buru bicara, tidak mendesak jawaban yang lebih, hanya membiarkan keheningan itu mengalir bersama desir angin sore.Mereka duduk bersebelahan di bangku taman dengan tangan masih saling menggenggam. Jemari Nora yang dulu selalu dingin, kini hangat. Meski masih sedikit gemetar. Raksa menoleh, menatapnya dalam diam, lalu berbisik pelan, seakan takut merusak momen itu.“Dulu, aku pikir tugasku hanya menemukan kebenaran dalam kasus-kasus,” ucap Raksa lirih. “Tapi ternyata kebenaran itu tidak selalu tentang hitam dan putih. Kadang kebenaran adalah seseorang yang duduk di samping kita, yang kita pilih untuk percaya dan lindungi.”Nora menoleh perlahan. Ada senyum samar di wajahnya, samar tapi nyata. “Aku dulu berpikir hidupku sudah berakhir. Sejak semua keburukan itu menelanku. Tapi ternyata, masih ada yang tersisa. Masih ada ruang untuk bern

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 133

    Ruang tamu rumah Pak Harsanta yang mewah dihiasi foto-foto lama keluarga. Beberapa di antaranya menampilkan Nora kecil. Tertawa polos, digendong sang ibu, atau duduk di pangkuan ayahnya. Kini foto-foto itu seperti artefak dari masa lain, mengingatkan betapa jauh jarak antara masa lalu dan kenyataan sekarang.Raksa duduk tegak di kursi tamu. Kemejanya rapi meski wajahnya sedikit lelah. Tangannya diletakkan di atas lutut, kaku, seolah dia sedang menghadapi sidang internal kepolisian, padahal yang ada di hadapannya hanya seorang ayah dengan rambut yang memutih.Pak Harsanta menuangkan teh hangat ke cangkir, lalu mendorongnya ke arah Raksa. “Silakan diminum dulu,” katanya pelan.Raksa mengangguk sopan. Tapi teh itu tetap dibiarkan mengepul tanpa tersentuh, karena kata-kata yang mengganjal jauh lebih panas daripada cairan di cangkir. Dia menarik napas, menatap lurus.“Pak,” ucapnya hati-hati, “saya datang bukan hanya untuk mengunjungi. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”Pak Harsanta menga

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 132 Pilihan

    Suasana kantor polisi siang itu jauh dari biasa. Ruangan yang biasanya berisi percakapan datar antaranggota kepolisian kini dipenuhi ketegangan yang kental. Pak Wirya, atasan Raksa, sudah berdiri di sana, berusaha menjaga agar percakapan tidak berubah menjadi ledakan yang lebih besar.Di hadapannya, pasangan suami istri itu, orang tua Janu, duduk dengan wajah merah padam, suara mereka meninggi hampir tanpa henti.“Anak kami dibunuh, dan pelakunya malah dilindungi di tempat perawatan!” suara Ibu Janu pecah, penuh dengan kemarahan bercampur air mata. “Apakah ini yang disebut keadilan? Dia seharusnya di penjara! Diadili layaknya penjahat!”Pak Wirya mencoba menenangkan, “Bu, saya mengerti perasaan Anda. Proses hukum tetap berjalan, tapi ada prosedur khusus—”“Prosedur?!” Pak Janu menghantam meja dengan telapak tangannya. “Prosedur macam apa yang membuat seorang pembunuh hidup nyaman sementara anak kami sudah mati?! Polisi macam apa kalian ini?”Raksa, yang sejak tadi berdiri di sisi ruan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 131 Penebusan

    Mobil polisi meluncur perlahan meninggalkan gedung pengadilan. Langit sore tampak redup. Awan menebal seolah ikut menyerap suasana muram dari ruang sidang tadi.Nora duduk di kursi belakang, diapit dua dunia yang sama-sama asing tapi anehnya memberi rasa aman. Raksa di sampingnya, ayahnya, Pak Harsanta, di sisi lain.Tangannya terkunci di pangkuan. Tubuhnya tegak tapi lunglai. Nira merasa begitu lelah sampai-sampai bergerak pun terasa sulit.Dari kaca jendela, kota berjalan mundur. Bangunan, pohon, dan orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang kisah kelamnya.Raksa membuka percakapan lebih dulu, suaranya rendah tapi terukur. “Terima kasih sudah ikut mendampingi, Pak. Tidak semua orang tua bisa setegar Bapak.”Pak Harsanta menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan saya, siapa lagi? Nora satu-satunya putriku. Mau bagaimanapun kondisinya, tetap anak saya.” Suaranya berat, namun kali ini tanpa getir yang biasanya muncul setiap kali Nora mendengar ayahnya bicara tentang dir

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 130 Vonis

    Satu hari sebelum persidangan, Raksa berjalan menyusuri koridor menuju ruang isolasi khusus. Udara di dalam ruangan itu selalu dingin, lebih karena kesunyian yang menempel di dinding-dindingnya. Setiap kali dia melangkah ke sana, selalu ada perasaan asing yang menekan dada. Perasaan bahwa dia bukan sedang mengunjungi seorang tersangka, melainkan seseorang yang tersesat jauh dalam dirinya sendiri.Pintu berlapis besi itu dibuka petugas. Raksa melangkah masuk. Di dalam, Nora duduk di sudut ranjang dengan tubuh tegak namun lemah, seperti boneka yang kehilangan benang pengikat. Meski begitu, wajahnya lebih segar dibanding beberapa hari lalu. Tidak lagi pucat, meski matanya tetap kosong.Raksa menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ada jeda panjang sebelum dia bersuara, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.“Kamu kelihatan lebih sehat,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi berat.Nora menoleh perlahan. Senyuman tipis terbit di bibirnya, tapi itu bukan senyum. Lebih tepatnya sepert

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 129 Langkah

    Raksa berdiri di depan pintu ruang kerja atasannya cukup lama sebelum akhirnya mengetuk. Ketukan tiga kali itu terdengar mantap. Namun, di dalam dadanya, jantungnya berdegup seperti genderang perang.“Masuk,” suara berat Pak Wirya terdengar jelas.Raksa mendorong pintu perlahan, lalu masuk sambil membawa map tebal berisi berkas-berkas. Dia berdiri tegak di depan meja, memberi hormat singkat, kemudian duduk setelah dipersilakan.“Jadi,” Pak Wirya membuka percakapan tanpa basa-basi, “kamu sudah temukan sesuatu yang bisa mengakhiri teka-teki ini?”Raksa menarik napas panjang. Dengan hati-hati dia meletakkan map itu di atas meja, membuka halaman demi halaman.“Saya harus jujur. Dari semua bukti yang ada, dari alur kronologi hingga pengakuan samar, semuanya mengarah pada satu nama. Nora Lituhayu.”Wirya terdiam. Tatapannya yang tajam menancap ke wajah Raksa, seolah hendak menembus isi kepalanya. “Lanjutkan.”Raksa menunduk sejenak, lalu menjelaskan. “Catatan laboratorium membuktikan adany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status