Share

Bab 3 Yang Tersembunyi

Aвтор: Vargsagen
last update Последнее обновление: 2025-06-18 19:00:06

Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu.

Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya.

Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya.

“Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?”

Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi."

Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.”

Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit.

“Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?”

Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.

“Jujur saja, kadang aku iri,” lanjut Chalia dengan nada datar, tapi matanya tajam. “Kapan aku bisa punya istri seperti dia? Maksudku seseorang yang rela masak, lalu bersusah payah mengantar makanan ke rumah sakit, lalu ditinggal begitu saja. Tapi dia masih bisa tersenyum sopan. Sepertinya yang seperti itu susah dicari.”

Janu menatap kosong ke arah dinding. Lalu berkata pelan, “Dia terlalu baik.”

Chalia tertawa. “Terlalu baik atau terlalu buta?”

Tak ada jawaban.

“Aku serius,” potong Chalia. Dia mengambil kotak makan dan mengangkatnya seperti trofi. “Lihat ini. Sayur, nasi, buah, lengkap. Dibungkus penuh cinta. Dan kamu? Kamu bahkan tidak sudi keluar lima menit untuk menerima langsung.”

“Aku sudah bilang jangan bahas dia.”

“Tapi dia datang pagi ini. Langsung ke ruang praktik, mencari kamu. Dan kamu tahu? Dia sopan, ramah, terus senyum. Seperti … dia masih percaya penuh denganmu.”

Janu lagi-lagi tak menjawab.

Chalia berdiri dari meja, berjalan mendekat, lalu menatap wajah Janu dari jarak nyaris tak sopan.

“Kadang aku berpikir,” katanya lirih, “kalau aku jadi kamu, aku lebih baik meninggalkan dia dari dulu."

Janu menoleh. Tapi bukan dengan kehangatan, atau keterkejutan. Tatapannya kosong. Hambar.

“Kamu tidak mengerti.”

“Aku mengerti, Jan,” desak Chalia. “Kamu lelah. Pernikahanmu hambar. Kalian sudah lama saling diam. Tapi aku ada di sini. Aku tahu kamu luar-dalam. Aku... bisa menggantikannya–"

“Cukup,” potong Janu, suara rendah, mata menatap dinding.

Chalia terdiam. Dia mundur selangkah, lalu tertawa pendek—pahit.

“Kamu bisa tidur denganku berkali-kali. Tapi bahkan untuk janji paling sederhana, kamu tidak berani memberi.”

Tak ada balasan.

Ruangan itu hening sejenak. Chalia membuka kotak makan itu, aroma ayam teriyaki menyeruak. Dia menatap isinya sebentar, lalu menutup kembali.

“Aku tidak sanggup makan ini,” katanya pelan. “Bukan karena tidak enak. Tapi karena dibuat oleh perempuan yang hatinya tidak pantas dipatahkan sesering ini.”

Janu akhirnya menatap Chalia. Kali ini, ada sedikit sorot marah di matanya. Tapi hanya sedikit, seperti api kecil yang tak cukup bahan bakar.

“Kamu sendiri kenapa masih di sini, Chal?”

Chalia mengangkat bahu. “Mungkin karena aku juga rusak. Dan rusak mencari rusak itu adil, kan?”

Dia berdiri dari meja, mendekat ke arah Janu. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan.

“Tapi kamu harus hati-hati, Jan. Perempuan terlalu baik itu… kalau sampai sadar, bisa jadi jauh lebih kejam daripada yang kamu kira.”

Dia meninggalkan kotak makan itu di meja, mencium bibir Janu sebentar, lalu melangkah keluar ruangan tanpa menoleh lagi.

Janu masih duduk di sana. Diam. Pikirannya riuh. Aroma ayam teriyaki yang seharusnya mengundang selera kini terasa seperti beban berat.

Tangannya sempat terulur. Jari-jarinya menyentuh sudut kotak itu, seolah berniat membuka dan mencicipi sedikit rasa rumah. Tapi hanya sejenak.

Yang datang bukan lapar, melainkan gelombang kecil rasa bersalah. Bukan rasa bersalah yang menusuk. Hanya hangat aneh yang menggenang di dada, cukup untuk membuatnya risih.

Janu menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia berdiri, membawa kotak makan itu keluar ruangan. Di lorong, dia berpapasan dengan Pak Sardi, petugas kebersihan tua yang tengah mendorong kereta alat pel. Janu menyapanya singkat, lalu menyodorkan kotak makan.

“Ini buat Bapak saja.”

Pak Sardi tampak terkejut. “Lho, ini dari istri dokter, ya? Apa tidak masalah?”

Janu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah kenyang.”

Tanpa menunggu jawaban, dia berjalan cepat ke arah kantin. Meninggalkan rasa yang tak sanggup dia telan.

Hari harus tetap berjalan. Meskipun sesuatu dalam dirinya terus goyah.

*

Chalia menunduk ke layar tablet, jarinya sibuk menggulir daftar pasien sore itu. Tapi pikirannya tidak ada di daftar itu. Tidak sepenuhnya.

Sesekali matanya melirik ke arah Janu yang tengah memeriksa pasien di bilik kecil sebelah. Nada suaranya lembut seperti biasa. Gerakannya penuh kendali. Senyum seperlunya. Tapi sorot matanya… kosong.

Chalia tahu ekspresi itu. Dia mengenal lelah di wajah lelaki itu seperti mengenal lekuk tubuhnya sendiri.

Lelah karena Nora. Lelah karena pulang ke rumah yang tak lagi hidup.

Kadang, saat jam praktik sepi, Chalia teringat pada malam pertama mereka tidur bersama. Bukan karena gairahnya, tapi karena betapa rapuhnya Janu saat itu. Bagaimana tangannya bergetar ringan saat membelai pipinya. Bagaimana dia mengecup Chalia bukan seperti lelaki haus, tapi seperti orang tenggelam yang akhirnya bisa bernapas lagi.

Hari-hari setelahnya, Chalia makin yakin. Dia melihat cara Janu memperlakukannya. Kadang lembut, kadang menjauh. Tapi tak pernah benar-benar meninggalkannya.

Dia melihat cara Janu bicara soal pernikahannya. Nafas datar dan mata yang tak lagi bersinar. Dia tahu lebih banyak dari siapa pun.

Lalu, mengapa masih belum cukup? Mengapa Janu masih saja pulang ke rumah itu?

Chalia menggigit bibir bawahnya.

Seharusnya Janu sadar aku bisa lebih dari sekadar tempat pelarian. Aku bisa jadi rumah. Aku bisa jadi hidup yang baru.

Pintu bilik terbuka. Janu keluar, mengangguk singkat pada pasien yang lewat. Chalia berpaling cepat, kembali memainkan peran asistennya—ramah, efisien, profesional. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Dia akan tetap ada di sini. Di sisi Janu. Sampai lelaki itu berhenti hanya memikirkan kenyamanan dan mulai memilih kebebasan. Memilih dirinya. Tapi sampai kapan? Apakah ada jalan supaya dia dan Janu bisa bersama tanpa harus berlama-lama menunggu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 8 Terhimpit

    Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin. Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak. Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf. Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus. Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi. Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa. Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya. Mungkinkah hanya kebetulan? Mungkin

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

    Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas. Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.Seakan tak terjadi apa pun.Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 6 (Bukan) Permainan Kecil

    Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara. “Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi perma

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 5 Pertanyaan Beracun

    Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya. Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi s

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 4 Jejak Yang Tertinggal

    Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia. Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pag

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 3 Yang Tersembunyi

    Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu. Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status