Mag-log inDi balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu.
Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah. “Jujur saja, kadang aku iri,” lanjut Chalia dengan nada datar, tapi matanya tajam. “Kapan aku bisa punya istri seperti dia? Maksudku seseorang yang rela masak, lalu bersusah payah mengantar makanan ke rumah sakit, lalu ditinggal begitu saja. Tapi dia masih bisa tersenyum sopan. Sepertinya yang seperti itu susah dicari.” Janu menatap kosong ke arah dinding. Lalu berkata pelan, “Dia terlalu baik.” Chalia tertawa. “Terlalu baik atau terlalu buta?” Tak ada jawaban. “Aku serius,” potong Chalia. Dia mengambil kotak makan dan mengangkatnya seperti trofi. “Lihat ini. Sayur, nasi, buah, lengkap. Dibungkus penuh cinta. Dan kamu? Kamu bahkan tidak sudi keluar lima menit untuk menerima langsung.” “Aku sudah bilang jangan bahas dia.” “Tapi dia datang pagi ini. Langsung ke ruang praktik, mencari kamu. Dan kamu tahu? Dia sopan, ramah, terus senyum. Seperti … dia masih percaya penuh denganmu.” Janu lagi-lagi tak menjawab. Chalia berdiri dari meja, berjalan mendekat, lalu menatap wajah Janu dari jarak nyaris tak sopan. “Kadang aku berpikir,” katanya lirih, “kalau aku jadi kamu, aku lebih baik meninggalkan dia dari dulu." Janu menoleh. Tapi bukan dengan kehangatan, atau keterkejutan. Tatapannya kosong. Hambar. “Kamu tidak mengerti.” “Aku mengerti, Jan,” desak Chalia. “Kamu lelah. Pernikahanmu hambar. Kalian sudah lama saling diam. Tapi aku ada di sini. Aku tahu kamu luar-dalam. Aku... bisa menggantikannya–" “Cukup,” potong Janu, suara rendah, mata menatap dinding. Chalia terdiam. Dia mundur selangkah, lalu tertawa pendek—pahit. “Kamu bisa tidur denganku berkali-kali. Tapi bahkan untuk janji paling sederhana, kamu tidak berani memberi.” Tak ada balasan. Ruangan itu hening sejenak. Chalia membuka kotak makan itu, aroma ayam teriyaki menyeruak. Dia menatap isinya sebentar, lalu menutup kembali. “Aku tidak sanggup makan ini,” katanya pelan. “Bukan karena tidak enak. Tapi karena dibuat oleh perempuan yang hatinya tidak pantas dipatahkan sesering ini.” Janu akhirnya menatap Chalia. Kali ini, ada sedikit sorot marah di matanya. Tapi hanya sedikit, seperti api kecil yang tak cukup bahan bakar. “Kamu sendiri kenapa masih di sini, Chal?” Chalia mengangkat bahu. “Mungkin karena aku juga rusak. Dan rusak mencari rusak itu adil, kan?” Dia berdiri dari meja, mendekat ke arah Janu. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Tapi kamu harus hati-hati, Jan. Perempuan terlalu baik itu… kalau sampai sadar, bisa jadi jauh lebih kejam daripada yang kamu kira.” Dia meninggalkan kotak makan itu di meja, mencium bibir Janu sebentar, lalu melangkah keluar ruangan tanpa menoleh lagi. Janu masih duduk di sana. Diam. Pikirannya riuh. Aroma ayam teriyaki yang seharusnya mengundang selera kini terasa seperti beban berat. Tangannya sempat terulur. Jari-jarinya menyentuh sudut kotak itu, seolah berniat membuka dan mencicipi sedikit rasa rumah. Tapi hanya sejenak. Yang datang bukan lapar, melainkan gelombang kecil rasa bersalah. Bukan rasa bersalah yang menusuk. Hanya hangat aneh yang menggenang di dada, cukup untuk membuatnya risih. Janu menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia berdiri, membawa kotak makan itu keluar ruangan. Di lorong, dia berpapasan dengan Pak Sardi, petugas kebersihan tua yang tengah mendorong kereta alat pel. Janu menyapanya singkat, lalu menyodorkan kotak makan. “Ini buat Bapak saja.” Pak Sardi tampak terkejut. “Lho, ini dari istri dokter, ya? Apa tidak masalah?” Janu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah kenyang.” Tanpa menunggu jawaban, dia berjalan cepat ke arah kantin. Meninggalkan rasa yang tak sanggup dia telan. Hari harus tetap berjalan. Meskipun sesuatu dalam dirinya terus goyah. * Chalia menunduk ke layar tablet, jarinya sibuk menggulir daftar pasien sore itu. Tapi pikirannya tidak ada di daftar itu. Tidak sepenuhnya. Sesekali matanya melirik ke arah Janu yang tengah memeriksa pasien di bilik kecil sebelah. Nada suaranya lembut seperti biasa. Gerakannya penuh kendali. Senyum seperlunya. Tapi sorot matanya… kosong. Chalia tahu ekspresi itu. Dia mengenal lelah di wajah lelaki itu seperti mengenal lekuk tubuhnya sendiri. Lelah karena Nora. Lelah karena pulang ke rumah yang tak lagi hidup. Kadang, saat jam praktik sepi, Chalia teringat pada malam pertama mereka tidur bersama. Bukan karena gairahnya, tapi karena betapa rapuhnya Janu saat itu. Bagaimana tangannya bergetar ringan saat membelai pipinya. Bagaimana dia mengecup Chalia bukan seperti lelaki haus, tapi seperti orang tenggelam yang akhirnya bisa bernapas lagi. Hari-hari setelahnya, Chalia makin yakin. Dia melihat cara Janu memperlakukannya. Kadang lembut, kadang menjauh. Tapi tak pernah benar-benar meninggalkannya. Dia melihat cara Janu bicara soal pernikahannya. Nafas datar dan mata yang tak lagi bersinar. Dia tahu lebih banyak dari siapa pun. Lalu, mengapa masih belum cukup? Mengapa Janu masih saja pulang ke rumah itu? Chalia menggigit bibir bawahnya. Seharusnya Janu sadar aku bisa lebih dari sekadar tempat pelarian. Aku bisa jadi rumah. Aku bisa jadi hidup yang baru. Pintu bilik terbuka. Janu keluar, mengangguk singkat pada pasien yang lewat. Chalia berpaling cepat, kembali memainkan peran asistennya—ramah, efisien, profesional. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia akan tetap ada di sini. Di sisi Janu. Sampai lelaki itu berhenti hanya memikirkan kenyamanan dan mulai memilih kebebasan. Memilih dirinya. Tapi sampai kapan? Apakah ada jalan supaya dia dan Janu bisa bersama tanpa harus berlama-lama menunggu?Setelah ciuman singkat itu, mereka sama-sama terdiam. Nora menunduk, masih merasakan debar yang asing sekaligus menenangkan di dadanya. Raksa tidak buru-buru bicara, tidak mendesak jawaban yang lebih, hanya membiarkan keheningan itu mengalir bersama desir angin sore.Mereka duduk bersebelahan di bangku taman dengan tangan masih saling menggenggam. Jemari Nora yang dulu selalu dingin, kini hangat. Meski masih sedikit gemetar. Raksa menoleh, menatapnya dalam diam, lalu berbisik pelan, seakan takut merusak momen itu.“Dulu, aku pikir tugasku hanya menemukan kebenaran dalam kasus-kasus,” ucap Raksa lirih. “Tapi ternyata kebenaran itu tidak selalu tentang hitam dan putih. Kadang kebenaran adalah seseorang yang duduk di samping kita, yang kita pilih untuk percaya dan lindungi.”Nora menoleh perlahan. Ada senyum samar di wajahnya, samar tapi nyata. “Aku dulu berpikir hidupku sudah berakhir. Sejak semua keburukan itu menelanku. Tapi ternyata, masih ada yang tersisa. Masih ada ruang untuk bern
Ruang tamu rumah Pak Harsanta yang mewah dihiasi foto-foto lama keluarga. Beberapa di antaranya menampilkan Nora kecil. Tertawa polos, digendong sang ibu, atau duduk di pangkuan ayahnya. Kini foto-foto itu seperti artefak dari masa lain, mengingatkan betapa jauh jarak antara masa lalu dan kenyataan sekarang.Raksa duduk tegak di kursi tamu. Kemejanya rapi meski wajahnya sedikit lelah. Tangannya diletakkan di atas lutut, kaku, seolah dia sedang menghadapi sidang internal kepolisian, padahal yang ada di hadapannya hanya seorang ayah dengan rambut yang memutih.Pak Harsanta menuangkan teh hangat ke cangkir, lalu mendorongnya ke arah Raksa. “Silakan diminum dulu,” katanya pelan.Raksa mengangguk sopan. Tapi teh itu tetap dibiarkan mengepul tanpa tersentuh, karena kata-kata yang mengganjal jauh lebih panas daripada cairan di cangkir. Dia menarik napas, menatap lurus.“Pak,” ucapnya hati-hati, “saya datang bukan hanya untuk mengunjungi. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”Pak Harsanta menga
Suasana kantor polisi siang itu jauh dari biasa. Ruangan yang biasanya berisi percakapan datar antaranggota kepolisian kini dipenuhi ketegangan yang kental. Pak Wirya, atasan Raksa, sudah berdiri di sana, berusaha menjaga agar percakapan tidak berubah menjadi ledakan yang lebih besar.Di hadapannya, pasangan suami istri itu, orang tua Janu, duduk dengan wajah merah padam, suara mereka meninggi hampir tanpa henti.“Anak kami dibunuh, dan pelakunya malah dilindungi di tempat perawatan!” suara Ibu Janu pecah, penuh dengan kemarahan bercampur air mata. “Apakah ini yang disebut keadilan? Dia seharusnya di penjara! Diadili layaknya penjahat!”Pak Wirya mencoba menenangkan, “Bu, saya mengerti perasaan Anda. Proses hukum tetap berjalan, tapi ada prosedur khusus—”“Prosedur?!” Pak Janu menghantam meja dengan telapak tangannya. “Prosedur macam apa yang membuat seorang pembunuh hidup nyaman sementara anak kami sudah mati?! Polisi macam apa kalian ini?”Raksa, yang sejak tadi berdiri di sisi ruan
Mobil polisi meluncur perlahan meninggalkan gedung pengadilan. Langit sore tampak redup. Awan menebal seolah ikut menyerap suasana muram dari ruang sidang tadi.Nora duduk di kursi belakang, diapit dua dunia yang sama-sama asing tapi anehnya memberi rasa aman. Raksa di sampingnya, ayahnya, Pak Harsanta, di sisi lain.Tangannya terkunci di pangkuan. Tubuhnya tegak tapi lunglai. Nira merasa begitu lelah sampai-sampai bergerak pun terasa sulit.Dari kaca jendela, kota berjalan mundur. Bangunan, pohon, dan orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang kisah kelamnya.Raksa membuka percakapan lebih dulu, suaranya rendah tapi terukur. “Terima kasih sudah ikut mendampingi, Pak. Tidak semua orang tua bisa setegar Bapak.”Pak Harsanta menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan saya, siapa lagi? Nora satu-satunya putriku. Mau bagaimanapun kondisinya, tetap anak saya.” Suaranya berat, namun kali ini tanpa getir yang biasanya muncul setiap kali Nora mendengar ayahnya bicara tentang dir
Satu hari sebelum persidangan, Raksa berjalan menyusuri koridor menuju ruang isolasi khusus. Udara di dalam ruangan itu selalu dingin, lebih karena kesunyian yang menempel di dinding-dindingnya. Setiap kali dia melangkah ke sana, selalu ada perasaan asing yang menekan dada. Perasaan bahwa dia bukan sedang mengunjungi seorang tersangka, melainkan seseorang yang tersesat jauh dalam dirinya sendiri.Pintu berlapis besi itu dibuka petugas. Raksa melangkah masuk. Di dalam, Nora duduk di sudut ranjang dengan tubuh tegak namun lemah, seperti boneka yang kehilangan benang pengikat. Meski begitu, wajahnya lebih segar dibanding beberapa hari lalu. Tidak lagi pucat, meski matanya tetap kosong.Raksa menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ada jeda panjang sebelum dia bersuara, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.“Kamu kelihatan lebih sehat,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi berat.Nora menoleh perlahan. Senyuman tipis terbit di bibirnya, tapi itu bukan senyum. Lebih tepatnya sepert
Raksa berdiri di depan pintu ruang kerja atasannya cukup lama sebelum akhirnya mengetuk. Ketukan tiga kali itu terdengar mantap. Namun, di dalam dadanya, jantungnya berdegup seperti genderang perang.“Masuk,” suara berat Pak Wirya terdengar jelas.Raksa mendorong pintu perlahan, lalu masuk sambil membawa map tebal berisi berkas-berkas. Dia berdiri tegak di depan meja, memberi hormat singkat, kemudian duduk setelah dipersilakan.“Jadi,” Pak Wirya membuka percakapan tanpa basa-basi, “kamu sudah temukan sesuatu yang bisa mengakhiri teka-teki ini?”Raksa menarik napas panjang. Dengan hati-hati dia meletakkan map itu di atas meja, membuka halaman demi halaman.“Saya harus jujur. Dari semua bukti yang ada, dari alur kronologi hingga pengakuan samar, semuanya mengarah pada satu nama. Nora Lituhayu.”Wirya terdiam. Tatapannya yang tajam menancap ke wajah Raksa, seolah hendak menembus isi kepalanya. “Lanjutkan.”Raksa menunduk sejenak, lalu menjelaskan. “Catatan laboratorium membuktikan adany







