Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Meja panjang di tengah menjadi batas tegas antara para anggota Komite Etik dan dua orang yang kini duduk berhadapan dengan tatapan-tatapan tajam. Dr. Janu dan Rindu.Bu Ida, perempuan paruh baya dengan kacamata bingkai tipis dan suara yang berwibawa, membuka sidang dengan nada dingin.“Dr. Janu, kami meminta klarifikasi atas rekaman yang beredar dan menghebohkan lingkungan rumah sakit ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”Janu menarik napas panjang, lalu mengangkat wajah.“Rekaman itu benar adanya. Saya tidak menyangkal. Tapi saya ingin menyampaikan bahwa hubungan saya dengan Rindu tidak pernah bersifat pribadi secara konsisten. Insiden itu terjadi karena situasi yang tidak tepat. Saya menyesalinya.”Bu Ida mengangguk kecil, lalu berpaling ke arah Rindu.“Rindu, Anda ingin menanggapi?”Rindu masih menunduk. Suaranya lirih, seperti dicabut dari dalam dada.“Itu kesalahan. Tapi bukan hanya saya yang harus menanggung akibatnya.”Tatapannya teta
Udara pagi masih segar saat Janu melangkah masuk ke ruang dokter. Wajah lelaki itu segar, siap memulai hari dan menyelesaikan urusan yang belum rampung.Di sana, Chalia sudah duduk lebih dulu. Matanya sembab karena kurang tidur, tapi senyumnya mencoba terlihat profesional. Di meja, dua cangkir kopi sudah tersedia. Yang satu untuknya, yang satu, dengan dua sachet gula diet, untuk Janu.Tapi sebelum minum, Janu menarik kursi, duduk tepat di hadapan Chalia.“Kita harus bicara,” katanya tenang.Chalia mengangkat alis. “Tentang sidang kode etik?”Janu mengangguk. “Mereka pasti akan memanggil kamu juga. Dan aku butuh kamu bersaksi sesuai kenyataan yang bisa menyelamatkan aku.”Chalia menyandarkan punggung. “Maksudmu, aku harus bilang Rindu yang lebih dulu menggoda kamu?”Janu menatap lurus. “Kita sama-sama tahu, yang mereka butuhkan adalah narasi. Dan itu narasi yang paling masuk akal.”Chalia menggeleng kecil, lalu berkata pelan, “Aku bisa. Tapi ada syaratnya.”Janu mencondongkan tubuh. “A
Pintu tertutup pelan saat Janu pergi meninggalkan ruang istirahat. Meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Chalia masih duduk di kursinya. Tubuhnya tak bergerak, tapi pikirannya berputar cepat. Kata-kata manis Janu masih bergema, menjanjikan kebebasan, cinta, bahkan pernikahan.Tapi bukan itu yang terus terulang di benaknya.Nora.Wajah pucat perempuan itu. Tatapannya yang sulit dibaca. Keteguhan sikapnya bahkan dalam kondisi ‘kritis’.Kritis...? Chalia mendengus pelan. Tangannya refleks meraih ponselnya, membuka kembali rekaman laporan medis terakhir yang diakses secara tidak resmi beberapa hari lalu.Tanda-tanda vital stabil. Tidak ada penurunan signifikan. Tidak ada keluhan khas pasien di ICU."Kalau dia benar-benar kritis, kenapa tidak ada penanganan intensif lanjutan? Kenapa hanya satu dokter yang boleh menangani? Kenapa ruangannya begitu tertutup?" gumamnya.Dia berdiri, melangkah mondar-mandir di dalam ruang istirahat sempit itu."Mungkinkah dia hanya berpura-pura?"Satu te
Janu baru saja keluar dari ruang rapat. Langkahnya cepat menyusul Rindu yang lebih dulu pergi. Tapi sebelum sempat menemukan Rindu, dia dihadang oleh Chalia.Wajah Chalia merah. Matanya menyala, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang membakar di dalam dirinya."Janu!" serunya, lantang, memaksa beberapa kepala menoleh. "Kamu pikir aku bodoh?"Janu tertegun. “Chalia—”“Jangan panggil aku seperti itu. Aku lihat rekamannya. Kamu dan dia … di ruangan itu.”Janu menarik napas dalam, mencoba bersikap tenang. “Dengar, aku bisa jelaskan—”“Jelaskan? Apa yang mau kamu jelaskan dari tubuhmu yang telanjang dan nafsu yang tidak bisa kamu kontrol?” bentaknya. Suaranya nyaris pecah, tapi tidak bergetar. Dia marah, bukan lemah.Janu mendekat, mencoba menurunkan suaranya. “Chalia, tenang dulu. Ini bukan tempatnya.”“Tenang?” Chalia tertawa getir. “Aku membantumu. Aku bantu menyimpan semua rahasiamu. Termasuk... racun itu. Tapi ternyata aku cuma satu dari sekian banyak perempuan yang kam
Ruangan itu sunyi untuk beberapa saat. Satu per satu anggota komite membuka dokumen di hadapan mereka. Wajah-wajah para senior menunjukkan kombinasi antara kekecewaan, kelelahan, dan keraguan. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Sampai akhirnya, ketua komite etik, Dokter Ratna, membuka suaranya.“Saya tidak akan memutar terlalu lama,” ujarnya tegas, menyapu pandangannya ke arah Janu dan Rindu. “Apa yang terekam di video itu sudah cukup menjelaskan bahwa pelanggaran terjadi. Pelanggaran yang sangat serius.”“Dokter Rindu. Anda adalah dokter muda dengan masa depan cerah. Tapi posisi Anda saat ini tidak memungkinkan kami untuk menutup mata. Hubungan tidak pantas di lingkungan rumah sakit, terlebih di ruang rawat, adalah pelanggaran etika dan disiplin berat.”Rindu tidak mengangkat kepala. Matanya sembab, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar.Lalu, giliran mata Ratna menatap Janu. Lebih tajam.“Dan Dokter Janu. Anda adalah tenaga medis senior. Sudah belasan tahun praktik. Kami k
“Dokter Rindu?” tanyanya dengan nada tenang tapi tak bisa disangkal tegas.Rindu yang sedang duduk di ujung ruangan, menengadah. “Saya.”“Mohon ikut saya ke ruang komite etik. Ada hal yang perlu diklarifikasi.”Seluruh ruangan hening. Semua yang mendengar itu menunduk atau pura-pura sibuk. Tak ada yang bertanya, tak ada yang menyela. Tak ada yang membelanya.Rindu berdiri pelan. “Maaf, ini soal apa ya?”Pria itu tidak menjawab langsung. Dia hanya memberi isyarat dengan tangan. “Nanti akan dijelaskan. Saya hanya menjalankan instruksi pimpinan.”Instruksi pimpinan. Berarti masalah ini serius. Lebih dari sekadar kesalahan prosedur.Langkah-langkah Rindu terasa lebih berat dari biasanya. Sepanjang lorong menuju ruang rapat lantai dua, dia bisa merasakan tatapan yang mengikuti dari balik kaca-kaca ruangan.Tatapan kasihan. Atau penghukuman. Atau keduanya.Sesampainya di depan pintu bercat putih dengan label Komite Etik & Profesionalisme, jantungnya seperti tak lagi berdetak biasa. Dia meno