Janu baru saja keluar dari ruang rapat. Langkahnya cepat menyusul Rindu yang lebih dulu pergi. Tapi sebelum sempat menemukan Rindu, dia dihadang oleh Chalia.Wajah Chalia merah. Matanya menyala, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang membakar di dalam dirinya."Janu!" serunya, lantang, memaksa beberapa kepala menoleh. "Kamu pikir aku bodoh?"Janu tertegun. “Chalia—”“Jangan panggil aku seperti itu. Aku lihat rekamannya. Kamu dan dia … di ruangan itu.”Janu menarik napas dalam, mencoba bersikap tenang. “Dengar, aku bisa jelaskan—”“Jelaskan? Apa yang mau kamu jelaskan dari tubuhmu yang telanjang dan nafsu yang tidak bisa kamu kontrol?” bentaknya. Suaranya nyaris pecah, tapi tidak bergetar. Dia marah, bukan lemah.Janu mendekat, mencoba menurunkan suaranya. “Chalia, tenang dulu. Ini bukan tempatnya.”“Tenang?” Chalia tertawa getir. “Aku membantumu. Aku bantu menyimpan semua rahasiamu. Termasuk... racun itu. Tapi ternyata aku cuma satu dari sekian banyak perempuan yang kam
Ruangan itu sunyi untuk beberapa saat. Satu per satu anggota komite membuka dokumen di hadapan mereka. Wajah-wajah para senior menunjukkan kombinasi antara kekecewaan, kelelahan, dan keraguan. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Sampai akhirnya, ketua komite etik, Dokter Ratna, membuka suaranya.“Saya tidak akan memutar terlalu lama,” ujarnya tegas, menyapu pandangannya ke arah Janu dan Rindu. “Apa yang terekam di video itu sudah cukup menjelaskan bahwa pelanggaran terjadi. Pelanggaran yang sangat serius.”“Dokter Rindu. Anda adalah dokter muda dengan masa depan cerah. Tapi posisi Anda saat ini tidak memungkinkan kami untuk menutup mata. Hubungan tidak pantas di lingkungan rumah sakit, terlebih di ruang rawat, adalah pelanggaran etika dan disiplin berat.”Rindu tidak mengangkat kepala. Matanya sembab, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar.Lalu, giliran mata Ratna menatap Janu. Lebih tajam.“Dan Dokter Janu. Anda adalah tenaga medis senior. Sudah belasan tahun praktik. Kami k
“Dokter Rindu?” tanyanya dengan nada tenang tapi tak bisa disangkal tegas.Rindu yang sedang duduk di ujung ruangan, menengadah. “Saya.”“Mohon ikut saya ke ruang komite etik. Ada hal yang perlu diklarifikasi.”Seluruh ruangan hening. Semua yang mendengar itu menunduk atau pura-pura sibuk. Tak ada yang bertanya, tak ada yang menyela. Tak ada yang membelanya.Rindu berdiri pelan. “Maaf, ini soal apa ya?”Pria itu tidak menjawab langsung. Dia hanya memberi isyarat dengan tangan. “Nanti akan dijelaskan. Saya hanya menjalankan instruksi pimpinan.”Instruksi pimpinan. Berarti masalah ini serius. Lebih dari sekadar kesalahan prosedur.Langkah-langkah Rindu terasa lebih berat dari biasanya. Sepanjang lorong menuju ruang rapat lantai dua, dia bisa merasakan tatapan yang mengikuti dari balik kaca-kaca ruangan.Tatapan kasihan. Atau penghukuman. Atau keduanya.Sesampainya di depan pintu bercat putih dengan label Komite Etik & Profesionalisme, jantungnya seperti tak lagi berdetak biasa. Dia meno
Pukul delapan lewat lima belas. Kepala ruangan, Ibu Endah, sedang menandatangani laporan rutin ketika pintu ruangannya diketuk cepat.“Masuk,” sahutnya, tak mengalihkan pandangan dari map di hadapan.Pintu terbuka. Ira serta Dita masuk. Wajah mereka pucat dan tegang. Endah langsung mendongak.“Ada apa pagi-pagi begini? Kalian kelihatan seperti habis melihat setan.”Ira menelan ludah. Tangannya menggenggam sebuah flashdisk kecil yang tadi dia cabut dari komputer nurse station. “Maaf, Bu. Kami menemukan ini di atas meja perawat pagi ini. Ada nama dokter Rindu tertulis di stiker kecilnya.”Endah mengangkat alis. “Flashdisk? Isinya?”Dita buru-buru menimpali. Suaranya pelan, nyaris berbisik. “Kami buka sebentar. Cuma satu file video… dan itu bukan… bukan laporan medis, Bu.”Endah menyipit. “Lalu apa?”Mereka saling pandang sebelum akhirnya Ira berkata, “Video pribadi. Sangat pribadi. Melibatkan dokter Janu dan dokter Rindu.”Rahang Endah mengeras.“Apa kalian yakin?” Nadanya berubah tajam
Malam turun dengan sunyi yang ganjil. Lorong menuju ruang ICU hanya diterangi lampu-lampu lembut yang memantul di lantai keramik. Di salah satu kamar privat yang dijaga ketat, Nora duduk tegak di ranjangnya. Selimut tertata rapi. Tubuhnya tampak lemah seperti pasien kritis, tapi matanya menyala.Layar kecil laptop di pangkuannya memantulkan cahaya redup ke wajahnya. Dia memutar ulang rekaman yang telah diedit dengan teliti. Tidak ada suara, hanya potongan gambar. Tubuh yang saling melekat, ciuman yang tak bisa disalahartikan, dan wajah Janu serta Rindu yang tampak jelas dalam keremangan ruangan itu. Kamera tersembunyi berhasil menangkap segalanya.Nora menatap layar itu lama, ekspresinya datar. Tapi tangan yang mengepal menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya.“Sudah cukup.”Dia menutup laptop, lalu mencabut flashdisk berisi rekaman tersebut. Pergerakannya pelan dan hati-hati saat mengenakan jaket tipis serta masker medis. Meski masih dalam perawatan, tak seorang pun
Rindu duduk di sudut ruangan, membenahi kancing seragamnya dengan tangan yang gemetar. Matanya terasa panas. Sebelum sempat menahan, butiran air mata jatuh membasahi pipi. Dia menunduk, membiarkan rambutnya menutupi wajah. Menutupi dirinya dari pandangan Janu, dan mungkin, dari rasa malunya sendiri.Di seberang, Janu sedang merapikan pakaian dengan santai, seolah yang baru saja terjadi adalah hal biasa. Hal wajar. Hal yang tak perlu ditangisi.“Rin…,” Suara itu lembut, hampir menyentuh, tapi bagi Rindu justru makin menyesakkan. “Kenapa kamu menangis?”Rindu menggeleng cepat, tak sanggup menjawab. Tangisnya pecah, nyaris tanpa suara, hanya bahunya yang bergetar.“Aku... aku tidak seharusnya begini...” bisiknya akhirnya. “Kenapa aku tidak bisa menolak kamu, Mas?”Janu mendekat, berjongkok di hadapannya, mencoba menghapus air matanya dengan ibu jari. Sentuhan itu membuat Rindu makin merasa hampa. Bukannya terhibur, dia merasa makin terperangkap.“Kamu tahu jawabannya, Rin,” ucap Janu, se