Langkah Janu cepat dan berat. Wajahnya tegang. Napasnya tak beraturan. Percakapan terakhir dengan Pak Harsanta masih terngiang di telinganya. Tentang racun, tentang Nora, tentang perceraian yang akan dikawal pengacara. Tangannya mengepal saat mendorong pintu ruang praktiknya.Brak! Dia membuka pintu dengan kasar. Chalia yang tengah berada di dalam ruangan itu terkejut. Dia menoleh cepat dari kursi di sudut ruangan. Masih memegang map yang tadi belum sempat diserahkan. “Dokter…”Janu tidak menyahut. Dia langsung menuju lemari. Mengambil kotak kecil, meraih beberapa buku, mencabut foto dari bingkai. Semua dilakukannya dengan kasar. Tergesa. Hampir meledak.“Kalau memang mereka mau membuang aku, ya sudah,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Tiga belas tahun kerja dibayar dengan surat skorsing dan ancaman.”Chalia berdiri perlahan, mendekat dengan hati-hati.“Kamu butuh bantuan untuk membereskan ini?”Janu menggeleng keras. “Tidak. Aku cuma butuh sesuatu untuk menenangkan kepala.”Chalia m
Langit mendung. Di balik kaca jendela lorong, bayangan hujan menggantung. Di ruang kecil yang sepi, Janu duduk di bangku kayu. Masih mengenakan jas putih yang kini tak lagi berarti apa-apa. Jas itu tak bisa menyelamatkannya dari skorsing. Dari aib. Dari kejatuhan yang terasa pelan tapi pasti.Chalia berdiri tak jauh darinya, menyandarkan punggung di dinding. Matanya menatap kosong ke lantai. Mereka tidak bicara selama beberapa menit.Akhirnya, Janu bersuara. Suaranya serak, seperti ditarik paksa dari tenggorokannya yang kering.“Menurutmu siapa yang merekamnya?”Chalia tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahu kecil, seperti enggan terlalu dalam.“Ruangan itu dulu pernah dipasang sistem pengawasan. Tapi katanya sudah dicabut. Mungkin ada yang menyimpan aksesnya atau diam-diam memasang lagi.”Janu mengangguk pelan. Tapi pikirannya tidak di situ. Pikirannya memutar ulang hari demi hari. Raut wajah. Tatapan orang-orang. Detail kecil yang dulu diabaikannya. Lalu, seperti desis ul
Pintu ruang sidang tertutup rapat. Suara langkah Bu Ida dan para anggota komite memudar di lorong.Kini hanya tersisa tiga orang di dalam ruangan: Janu yang masih duduk tenang, Rindu yang menunduk dengan rahang mengeras, dan Chalia yang berdiri ragu di sisi ruangan, menggenggam map tipis yang bahkan tak dibuka sejak tadi.Keheningan terasa berat. Hingga suara Rindu pecah. Pelan, tajam dan penuh luka.“Kamu pandai sekali bicara, Dok.”Janu mengangkat wajahnya perlahan. Dia tak langsung menjawab. Rindu menatapnya tajam.“Pura-pura menyesal. Pura-pura menanggung beban. Padahal yang kamu lakukan hanya menyelamatkan dirimu sendiri dan menjatuhkan aku lebih dalam lagi.”Chalia menoleh ke arah Rindu, ragu, tapi belum ikut bicara. Janu menghela napas, lalu berbicara dengan nada tenang, seperti biasa.“Rindu, aku tidak berniat menyalahkanmu. Aku cuma—”“Cuma apa?” potong Rindu. Suaranya bergetar, tapi matanya tak goyah. “Cuma tidak bisa menolak? Cuma tergoda? Cuma manusia?”Dia tertawa pahit.
Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Meja panjang di tengah menjadi batas tegas antara para anggota Komite Etik dan dua orang yang kini duduk berhadapan dengan tatapan-tatapan tajam. Dr. Janu dan Rindu.Bu Ida, perempuan paruh baya dengan kacamata bingkai tipis dan suara yang berwibawa, membuka sidang dengan nada dingin.“Dr. Janu, kami meminta klarifikasi atas rekaman yang beredar dan menghebohkan lingkungan rumah sakit ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”Janu menarik napas panjang, lalu mengangkat wajah.“Rekaman itu benar adanya. Saya tidak menyangkal. Tapi saya ingin menyampaikan bahwa hubungan saya dengan Rindu tidak pernah bersifat pribadi secara konsisten. Insiden itu terjadi karena situasi yang tidak tepat. Saya menyesalinya.”Bu Ida mengangguk kecil, lalu berpaling ke arah Rindu.“Rindu, Anda ingin menanggapi?”Rindu masih menunduk. Suaranya lirih, seperti dicabut dari dalam dada.“Itu kesalahan. Tapi bukan hanya saya yang harus menanggung akibatnya.”Tatapannya teta
Udara pagi masih segar saat Janu melangkah masuk ke ruang dokter. Wajah lelaki itu segar, siap memulai hari dan menyelesaikan urusan yang belum rampung.Di sana, Chalia sudah duduk lebih dulu. Matanya sembab karena kurang tidur, tapi senyumnya mencoba terlihat profesional. Di meja, dua cangkir kopi sudah tersedia. Yang satu untuknya, yang satu, dengan dua sachet gula diet, untuk Janu.Tapi sebelum minum, Janu menarik kursi, duduk tepat di hadapan Chalia.“Kita harus bicara,” katanya tenang.Chalia mengangkat alis. “Tentang sidang kode etik?”Janu mengangguk. “Mereka pasti akan memanggil kamu juga. Dan aku butuh kamu bersaksi sesuai kenyataan yang bisa menyelamatkan aku.”Chalia menyandarkan punggung. “Maksudmu, aku harus bilang Rindu yang lebih dulu menggoda kamu?”Janu menatap lurus. “Kita sama-sama tahu, yang mereka butuhkan adalah narasi. Dan itu narasi yang paling masuk akal.”Chalia menggeleng kecil, lalu berkata pelan, “Aku bisa. Tapi ada syaratnya.”Janu mencondongkan tubuh. “A
Pintu tertutup pelan saat Janu pergi meninggalkan ruang istirahat. Meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Chalia masih duduk di kursinya. Tubuhnya tak bergerak, tapi pikirannya berputar cepat. Kata-kata manis Janu masih bergema, menjanjikan kebebasan, cinta, bahkan pernikahan.Tapi bukan itu yang terus terulang di benaknya.Nora.Wajah pucat perempuan itu. Tatapannya yang sulit dibaca. Keteguhan sikapnya bahkan dalam kondisi ‘kritis’.Kritis...? Chalia mendengus pelan. Tangannya refleks meraih ponselnya, membuka kembali rekaman laporan medis terakhir yang diakses secara tidak resmi beberapa hari lalu.Tanda-tanda vital stabil. Tidak ada penurunan signifikan. Tidak ada keluhan khas pasien di ICU."Kalau dia benar-benar kritis, kenapa tidak ada penanganan intensif lanjutan? Kenapa hanya satu dokter yang boleh menangani? Kenapa ruangannya begitu tertutup?" gumamnya.Dia berdiri, melangkah mondar-mandir di dalam ruang istirahat sempit itu."Mungkinkah dia hanya berpura-pura?"Satu te