Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin.
"Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey.
"Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey.
"Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir."
"Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi."
"Aku akan membawa ponsel dan pulang cepat. Aku janji."
Audrey hanya bisa menghela nafas. Entah kenapa Clara menjadi sosok yang keras kepala. Padahal biasanya anak itu selalu menuruti semua perkataannya. Karena jengah mendengar Clara yang terus mendesak, akhirnya Audrey dengan terpaksa menyetujui keinginan Clara.
"Baiklah. Kakak izinkan. Tapi ingat, cepat kembali dan tepat waktu. Bawa ponsel dan jangan matikan datanya. Oke?" Ucap Audrey.
Clara hanya memberi gestur hormat pada Audrey dengan senyun yang begitu lebar hingva membuat deretan gigi putihnya terlihat. Ia tak menyangka jika membujuk Audrey tak sesulit apa yang ia kira.
***
Clara menyelusuri jalan raya yang mulai sepi. Orang-orang sudah berangkat beraktivitas tadi pagi. Hanya beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang. Terik matahari sudah mulai terasa. Namun, tak menyurutkan semangat Clara sedikitpun. Ia harus hidup bahagia. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan bisa hidup mandiri dan bahagia tanpa kedua orang tuangt.
Sesekali Clara mengelap keringat yang mulai menetes dari pelipisnya. Tak apa, jika keluar banyak keringat, maka ini pertanda bahw ia hidup sehat.
***
Setelah mengantarkan pesanan Clara tersenyum lega. Ia sudah mulai hafal dengan lokasi yang ia telusuri. Jadi, ia tak takut tersesat. Setelah itu, ia memutuskan untuk segera kembali. Ia ingat pesan Audrey. Harus tepat waktu.
Di tengah perjalanan, tubuh kecilnya mulai kelelahan. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak pada sebuah halte yang sepi dari calon penumpang yang menunggu kedatangan bus. Ia mengamati kendaraan yang berlalu lalang kesana kemari. Sesekali ia berkomentar saat beberapa kendaraan lewat di depan matanya.
Mata Clara membola saat menyadari sebuah mobil berhenti tepat di depan matanya. Ia faham betul milik siapa mobil itu. Mobil itu milik ayahnya yang sekarang telah direbut oleh sang paman. Si pengendara mobil itu segera membuka kaca depan miliknya. Itu bibinya. Ingin sekali Clara meninggalkan tempat itu sebelum bibinya berkata, "Sekarang hidup susah ya. Uh. Kasihan sekali. Anak manja yang awalnya kaya raya sekarang jatuh miskin dan menjadi gembel."
Clara hanya diam menanggapi ucapan bibinya. Ia tak mau membuang-buang tenaga untuk menanggapi ucapan menyakitkan itu.
"Kenapa diam saja? Kamu malu karena jadi miskin seperti ini? Kasihan sekali. Memangnya tidak ada orang yang mau menampungmu sampai berkeliaran di jalan seperti ini?" Lanjut bibi lagi.
"Saya hidup miskin ataupun kaya bukan urusan Anda. Lagipula saya bukan siapa-siapa Anda. Apapun yang saya lakukan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Anda. Lagipula, Anda hanyalah orang miskin yang merampas harta kedua orang tua saya! Jadi tolong jaga mulut Anda!" Sentak Clara geram.
"Ck. Merampas? Siapa yang merampas. Saya hanya menikmati hal yang bisa saya terima disini. Jika kamu merasa itu semua menjadi hakmu, ambil saja kalau bisa. Hahaha!"
"Baik. Saya akan melakukan apa yang Anda inginkan. Setelah ini, jangan harap Anda akan hidup tenang. Saya akan melakukan apapun untuk mengambil semua hak saya! Dan saya akan membuat Anda membusuk di penjara!"
"Ancamanmu mengerikan juga bocah! Tapi tidak semudah itu. Kami tidak mungkin bisa dikalahkan dengan bocah ingusan sepertimu!"
"Lihat saja nanti. Seseorang yang berbuat buruk pasti akan mendapatkan balasan yang lebih buruk lagi!"
Setelah menyelesaikan kalimat itu, ia memutuskan untuk meninggalkan bibinya dengan cepat. Ia tak mau berlama-lama berbicara dengan orang yang telah menghancurkan hidupnya. Menatap wajahnya saja sudah membuatnya muak. Sampai-sampai Clara ingin mencabik wajah itu hingga tak berbentuk.
Clara mengayuh sepedanya dengan begitu cepat. Ia ingin segera bertemu dengan Audrey. Ia membutuhkan seseorang yang bisa menenangkannya. Bertemu dengan bibinya membuat Clara yang biasanya tenang menjadi sosok yang emosional sampai menggebu-gebu. Efek bertemu dengan bibinya membuat hati Clara mudah sekali terbolak-balik.
***
Clara memasuki Cafe dengan begitu cepat. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Audrey. Saat melihat sosok itu, Clara langsung memeluknya dengan begitu erat.
Audrey yang diperlakukan seperti itu tampak kebingungan. Ada apa dengan Clara? Tak biasanya anak ini bersifat aneh. Ia jadi berprasangka bahwa Clara mengalami hal buruk tadi. Setelah cukup lama, Audrey berusaha melepaskan pelukannya. Mencoba mencari penjelasan dari Clara.
"Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Audrey.
"Kakak pernah bertemu dengan orang yang begitu kakak benci?" Clara balik bertanya.
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Tadi aku bertemu dengan Bibi. Tidak tahu kenapa. Melihat wajahnya saja aku sudah sangat membencinya. Aku muak Kak. Dia yang sudah menghancurkan hidup aku. Dia juga yang merampas semua harta milik kedua orang tuaku. Aku selalu bilang tidak apa-apa jika mereka mau harta kedua orang tuaku. Tapi, jika mereka terus saja menghinaku seperti itu. Aku ingin mencabut semua kata-kataku kak. Aku ingin mengambil semuanya kembali. Aku tidak mau, jika aset milik Papa dan Mama jatuh ke orang yang salah seperti mereka. Aku benci mereka,Kak." Ucap Clara.
"Tenangkan dirimu okay? Jadi kamu bertemu dengan bibimu tadi? Sampai kamu emosi seperti ini,hm? Lain kali, kamu kontrol emosi kamu ya. Kakak tadi ngelihat kamu jalan sembrono sampai mau mencelakakan seseorang. Kamu boleh saja emosi, tapi kamu juga harus memprioritaskan keselamatanmu dan orang lain juga."
Clara menganggukkan kepalanya pelan. Ia bersyukur, ia memiliki sosok pengganti ibu yang mau melimpahkan kasih sayang kepadanya. Walaupun usia mereka terpaut tak terlalu jauh, namun Audrey mampu menjadi sosok ibu sekaligus kakak bagi Clara. Sosoknya yang lemah lembut dan bijak membuat suasana hati Clara menjadi lebih tenang.
Clara menghela nafas pelan. Emosinya mulai berkurang. Benar apa yang dikatakan Audrey. Ia harus pandai mengontrol emosi mulai sekarang. Ia harus belajar bersikap dewasa. Ia tidak mau bersifat kekanak-kanakan seperti tadi.
Audrey tersenyum saat melihat Clara yang patuh seperti ini. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja dinasehati oleh ibunya. Menggemaskan sekali.
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb
Devan senang sekali karena siang ini ia dijemput oleh seseorang yang tak pernah terbayangkan bahwa ia akan dijemput oleh orang itu. Itu adalah kakeknya, ia terlihat menunggu Devan di depan gerbang dengan bersedekap dada. Saat melihat kedatangan sang cucu, Dimas langsung merenggangkan tangannya. Pertanda ingin dipeluk. Devan segera mempercepat langkah kakinya. Ia tak sabar untuk memeluk kakeknya. Ia bahkan beberapa kali sempat tersandung kakinya sendiri namun tak ia hiraukan. Ia tetap menatap lurus ke depan, memuju sang kakek. Dimas memeluk tubuh kecil itu ketika sudah sampai di didepannya. Ia beberapa kalo menggoyangkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri. Gemas sekali."Tumben kakek yang jemput Devan? Biasanya, Bi Inah yang selalu menjemput Devan." Ucap Devan bingung."Bi Inah sedang kembal
Devan tergesa berlari menuju ke ruang sang ayah. Ia tidak sabar untuk menemuinya. Setelah tadi ia sempat terkantuk-kantuk tadi, sekarang matanya sudah terbuka lebar. Bahkan sang kakek sampai kewalahan untuk menyamakakan langkahnya dengan sang cucu. Dimas mulai sadar, bahwa tubuhnya memang sudah mulai renta. Devan segera membuka pintu ruangan sang ayah. Senyum lebarnya tiba-tiba saja menghilang ketika melihat wanita yang ada di depan papanya. Dengan kesal, ia menghampiri Nathan dengan bibir yang dikerucutkan. Sebal sekali. "Pa, kenapa ada tante menor ini disini? Devan tidak suka! Devan maunya mama! Bukan tante menor!" Ucap Devan kesal. "Hus. Kamu tidak boleh berbicara seperti itu sayang. Bagaimanapun juga, tante Wilda lebih tua dari kamu." Nasihat Nathan. Nathan pun sama kesalnya dengan kedatangan
Clara menatap kedua orang yang lebih tua di depannya ini serius. Mereka menatap Clara dengan pandangan berbeda, tak seperti biasanya. Clara yakin, ada suatu yang disembunyikan oleh keduanya. Alvin dan Audrey bukanlah tipe orang yang pendiam. Mereka selalu bercerita setiap mengalami masalah."Kalian kenapa? Kalian terlihat tidak seperti biasanya?" Tanya Clara penasaran. Audrey hanya menghela nafas. Ia menatap Alvin sekilas, namun sang suami hanya menggelengkan kepalanya pelan. Pertanda tidak tahu. Audrey memegang tangan mungil Clara pelan. Mengelus sejenak kemudian berkata,"Clara, ada yang harus kami bicarakan kepadamu. Maaf, kami tidak mengatakannya lebih awal." Ucap Audrey penuh penyesalan."Iya. Kakak tidak perlu tegang begitu. Memangnya apa yang perlu dibicarakan? Kalian terlihat serius sekali." Sahut Clara disertai kekehan.&n