Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini.
Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja.
"Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas.
"Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin.
"Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengalami kerugian. Para investor mencabut investasinya tiba-tiba karena kamu Andrew!" Bentak Nathan kesal.
"Tapi, saya tidak melakukan apapun,Pak. Saya bahkan tidak tahu kesalahan saya dimana. Bagaimana bisa Bapak menuduh saya tiba-tiba seperti ini?"
"Ck. Kamu masih bisa menyangkal ternyata. Saya sudah mengumpulkan bukti. Bahwa kamu yang harus bertanggung jawab disini! Iyakan Jovian?"
Jovian hanya mengangguk kemudian mengacungkan jempolnya ke arah Nathan. Sekretaris yang satu ini memang tak memiliki rasa takut sama sekali dengan sang CEO. Bahkan dengan tak etisnya ia masih sempat memakan camilan yang berada di tangannya. Jovian menganggap apa yang di depan matanya ini merupakan hiburan live yang tidak boleh terlewatkan sama sekali.
Nathan menggeram kesal melihat Jovian yang terlalu santai. Jika ia tak merasa balas budi terhadapnya. Mungkin Nathan sudah mendepak Jovian dari ruangannya.
Jovian yang ditatap seperti itu merasa bersalah. Oleh karena itu, ia segera bangkit dari tempat duduknya. Kemudian berdehem sejenak. Setelah itu, ia segera mengotak-atik laptop yang berada di depannya.
"Ekhm. Oke. Sekarang waktunya Tn. Jovian yang berbicara. Andrew, saya melihat bahwa Anda selalu mengelak atas tuduhan dari Pak Nathan. Padahal, Pak Nathan sudah mengumpulkan bukti-bukti yang jelas. Namun, tetap saja kamu mengelak. Kamu tidak tahu siapa itu Pak Nathan. Jika beliau marah, beliau tak segan akan membunuhmu tikus kecil!" Ucap Jovian pada Andrew.
Nathan tersenyum sinis mendengar perkataan Jovian. Semua perkataannya sudah mewakili dirinya.
"Kamu dengar itu, Andrew? Kamu bahkan tidak akan bisa berkutik jika sudah berurusan dengan saya. Mengakulah. Jika kamu mengaku. Saya akan melepaskanmu setelah kamu mengganti semua kerugian saya tentunya. Jika tidak, saya akan membunuhmu dan membuat seluruh keluargamu menjadi sengsara. Bagaimana?"
Andrew membelalakkan matanya tak percaya. Bagaimana mungkin Nathan yang ia kenal sebagai sosok tegas penuh wibawa dan memiliki hati yang lembut tiba-tiba saja berubah menjadi sosok yang begitu kejam dan tak punya hati. Ia hampir tak percaya bahwa yang berada di depannya ini merupakan Nathan. Sang atasan. Mungkin ini hanyalah ancaman belaka. Pak Nathan tak mungkin melakukan itu.
Lebih baik, ia kembali menyangkal.
"Tidak Pak. Saya tidak melakukan itu semua. Apapun akan saya lakukan agar Bapak bisa percaya dengan saya." Ucap Andrew sembari memelas.
"Melakukan apapun?" Tanya Nathan menginterogasi.
"Iya Pak." Jawab Andrew mantap.
"Bagaimana kalau kamu memberitahu siapa dalang dibalik kasus itu?"
Andrew gemetaran. Ia tak mungkin mengatakannya. Jika ia berani membuka mulut, ia akan habis di tangan Edgar. Namun, jika ia tidak mengatakannya ia akan habis di tangan Nathan. Sama saja. Jika ke kiri ke kandang harimau. Jika ke kanan ke kandang singa. Keringat dingin mulai keluar dari seluruh tubuhnya. Ia sampai tidak tahu caranya bernafas.
Menghela nafas panjang. Andrew memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia percaya pada dirinya sendiri bahwa Nathan akan melepaskannya. Ia yakin bahwa Nathan tak akan menghabisinya dengan sia-sia setelah ia menjelaskan semuanya.
"Maaf,Pak. Benar saya yang melakukan korupsi itu. Namun, saya terpaksa melakukannya,Pak." Ucap Andrew dengan suara gemetaran.
"Terpaksa?" Tanya Jovian.
"Benar,Pak. Saya dipaksa oleh seseorang untuk melakukannya. Jika saya tidak melakukannya, saya diancam akan dihabisi. Dan keluarga saya akan menderita jika itu terjadi. Saya tulang punggung keluarga untuk kedua orang tua saya dan adik-adik saya. Jika saya tidak ada, bagaimana mereka bertahan hidup? Sekali lagi, maafkan saya,Pak." Jelas Andrew.
Nathan terdiam sejenak. Sudah ia duga bahwa Andrew yang melakukannya. Namun, ia cukup mempercayai apa yang dikatakan oleh Andrew. Ia begitu mengenali karyawannya tersebut. Andrew merupakan karyawan sederhana yang tidak pernah neko-neko. Ia bekerja dengan begitu baik, ia juga tak pernah mengeluh akan pekerjaannya.
"Oke. Saya terima penjelasanmu. Tapi, sekali lagi saya bertanya. Siapa dalang dibalikmu?" Tanya Nathan.
"Ed... Edgar Emiloo Grissom. Pemilik perusahaan LMX."
Nathan menggeram pelan. Pria itu lagi. Entah kenapa, pria itu suka sekali mencari masalah dengannya. Ia tak menyangka jika Edgar berani berbuat sejauh ini. Sebelumnya, ia tak berani bergerak seincipun. Namun kali ini, ia berani sekali mengusik ketenangannya.
Nathan melirik Jovian sekilas. Sepertinya ia harus memberikan tugas yang baru. Sebelum Jovian berkata,
"Eits.. Santai saja Pak Nathan. Saya sudah memberi pelajaran kecil untuk orang itu. Jadi, Bapak tidak perlu repot-repot memberikan saya perintah." Jawab Jovian santai.
"Jika kamu sudah tahu bahwa pelakunya Edgar. Kenapa dari tadi kamu diam saja? Jika kamu mengatakan yang sebenarnya, saya tidak perlu repot-repot menginterogasi Andrew seperti tadi!" Ucap Nathan kesal.
"Saya suka drama Pak. Kebetulan apa yang dilakukan Bapak tadi layaknya sebuah drama. Jadi saya menganggap itu sebagai hiburan."
Nathan mengepalkan tangannya erat, menahan kesal. Jika bisa, ia ingin segera melemparkan tubuh kurus Jovian agar pria itu tak lagi bersikap kurang ajar terhadapnya. Semenjak Nathan sedikit memberikan kepercayaan terkadang tingkah Jovian sampai kelewat batas.
Nathan kembali memfokuskan pandangannya pada Andrew. Pria itu masih menunduk, tak berani menatap wajah Nathan sama sekali. Ia terlihat sangat ketakutan.
"Kamu tenang saja. Saya tidak akan meminta ganti rugi. Saya melepaskan kamu. Kamu masih bisa bekerja disini. Tapi ingat. Jangan mengulanginya lagi. Jika ada seseorang yang menyuruhmu berbuat yang tidak-tidak tolong langsung melapor kepada saya. Ingat. Jika Edgar mengancammu, cukup hubungi saya. Saya akan membantumu." Ucap Nathan tegas.
Andrew menatap Nathan dengan tatapan berkaca-kaca. Ia tak menyangka jika Nathan begitu baik. Nathan cepat sekali memaafkannya. Padahal, kesalahannya bisa dibilang sangat besar hingga Nathan mengalami kerugian bermiliar-miliar.
"Terimakasih Pak Nathan. Saya berjanji, saya tidak akan mengulanginya lagi." Ucap Andrew.
"Baik. Kamu boleh pergi dari ruangan ini."
Andrew hanya mengangguk. Kemudian meninggalkan Nathan yang masih menatap kepergiannya.
Nathan menghela nafas. Entah kenapa ia kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa ia tidak bisa bersikap kejam dengan orang lain? Apakah ia terlalu bodoh untuk memaafkan seseorang? Entahlah. Nathan hanya bisa berharap, semoga semuanya cepat kembali seperti sedia kala.
I love you
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb
Devan senang sekali karena siang ini ia dijemput oleh seseorang yang tak pernah terbayangkan bahwa ia akan dijemput oleh orang itu. Itu adalah kakeknya, ia terlihat menunggu Devan di depan gerbang dengan bersedekap dada. Saat melihat kedatangan sang cucu, Dimas langsung merenggangkan tangannya. Pertanda ingin dipeluk. Devan segera mempercepat langkah kakinya. Ia tak sabar untuk memeluk kakeknya. Ia bahkan beberapa kali sempat tersandung kakinya sendiri namun tak ia hiraukan. Ia tetap menatap lurus ke depan, memuju sang kakek. Dimas memeluk tubuh kecil itu ketika sudah sampai di didepannya. Ia beberapa kalo menggoyangkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri. Gemas sekali."Tumben kakek yang jemput Devan? Biasanya, Bi Inah yang selalu menjemput Devan." Ucap Devan bingung."Bi Inah sedang kembal
Devan tergesa berlari menuju ke ruang sang ayah. Ia tidak sabar untuk menemuinya. Setelah tadi ia sempat terkantuk-kantuk tadi, sekarang matanya sudah terbuka lebar. Bahkan sang kakek sampai kewalahan untuk menyamakakan langkahnya dengan sang cucu. Dimas mulai sadar, bahwa tubuhnya memang sudah mulai renta. Devan segera membuka pintu ruangan sang ayah. Senyum lebarnya tiba-tiba saja menghilang ketika melihat wanita yang ada di depan papanya. Dengan kesal, ia menghampiri Nathan dengan bibir yang dikerucutkan. Sebal sekali. "Pa, kenapa ada tante menor ini disini? Devan tidak suka! Devan maunya mama! Bukan tante menor!" Ucap Devan kesal. "Hus. Kamu tidak boleh berbicara seperti itu sayang. Bagaimanapun juga, tante Wilda lebih tua dari kamu." Nasihat Nathan. Nathan pun sama kesalnya dengan kedatangan
Clara menatap kedua orang yang lebih tua di depannya ini serius. Mereka menatap Clara dengan pandangan berbeda, tak seperti biasanya. Clara yakin, ada suatu yang disembunyikan oleh keduanya. Alvin dan Audrey bukanlah tipe orang yang pendiam. Mereka selalu bercerita setiap mengalami masalah."Kalian kenapa? Kalian terlihat tidak seperti biasanya?" Tanya Clara penasaran. Audrey hanya menghela nafas. Ia menatap Alvin sekilas, namun sang suami hanya menggelengkan kepalanya pelan. Pertanda tidak tahu. Audrey memegang tangan mungil Clara pelan. Mengelus sejenak kemudian berkata,"Clara, ada yang harus kami bicarakan kepadamu. Maaf, kami tidak mengatakannya lebih awal." Ucap Audrey penuh penyesalan."Iya. Kakak tidak perlu tegang begitu. Memangnya apa yang perlu dibicarakan? Kalian terlihat serius sekali." Sahut Clara disertai kekehan.&n
Devan telah mengenakkan seragamnya. Setelah semalaman anak itu membuat Nathan kelimpungan, sekarang anak itu terlihat begitu bersemangat untuk bersekolah. Walaupun wajahnya masih nampak sedikit pucat, namun anak itu terlihat begitu sehat dengan keaktifannya. Nathan menatap Devan khawatir. Sebenarnya, ia melarang putra semata wayangnya itu untuk bersekolah. Akan tetapi anak itu tetap kekeuh bahwa ia akan tetap pergi ke sekolah. Mendengar rengekan terus menerus Devan, terpaksa Nathan mengabulkan permintaan Devan. Daripada membuat anak itu terus merengek layaknya sebuah kereta butut."Papa, ayo cepat. Devan tidak mau terlambat hanya karena keleletan Papa!" Ucap Devan kesal."Serius kamu mau berangkat ke sekolah? Besok saja ya. Papa temani kamu di rumah. Bagaimana?" Tanya Nathan."Atau mau ditemani kakek?" Sahut Dimas."Tidak mau