Clara mendudukkan bokongnya pada sofa empuk milik Alvin. Rasanya begitu nyaman, setelah ia berhari-hari hidup di jalanan tanpa merasakan bagaimana nyamannya duduk di sofa. Clara menghela nafas. Jujur, tubuhnya lelah sekali. Sebagai anak yang awalnya dimanjakan oleh orang tua, Clara benar-benar kesulitan jika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya.
Alvin mengamati Clara yang terlihat kelelahan. Ia heran, memangnya apa saja yang telah dilakukan gadis itu sampai gadis itu terlihat begitu kelelahan. Setahu dia, dulu ia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah kedua orang tua Clara meninggal dunia akibat kecelakaan tragis pada malam itu. Ia jadi tak tega melihat Clara yang awalannya merupakan gadis ceria yang menyalurkan sebuah kebahagiaan bagi siapapun yang menatapnya.
Alvin penasaran. Dengan siapa Clara tinggal. Apakah dengan pamannya? Yang Alvin tahu, kerabat yang tersisa dari Clara hanyalah pamanny. Sang paman adalah adik kandung dari ayah Clara. Ia terlihat begitu baik seperti ayah Clara.
"Kakak ngapain ngeliatin aku seperti itu?" Tanya Clara agak risih.
"Kakak hanya penasaran. Kok kamu bisa jalan sendirian di jalanan begitu?"
"Kakak kepo." Jawab Clara singkat.
Audrey tersenyum melihat kedekatan diantara Clara dan Alvin. Terlihat seperti saudara kandung.
"Ngobrolin apa sih? Kalian terlihat serius sekali?" Tanya Audrey.
"Ini. Kak Alvin kepo banget, kak." Jawab Clara.
"Bukannya kepo,dek. Kakak cuma penasaran aja. Kakak khawatir sama kamu. Kamu keliatan kecapekan gitu. Nggak biasanya kamu kaya gini. Terus, ngapain kamu bawa-bawa koper segede itu? Mana jalan sendiri di jalan. Kakak takut kamu kenapa-napa." Jelas Alvin.
Clara menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah karena telah membuat orang lain khawatir. Ia takut untuk mengatakan semuanya. Ia takut jika Alvin semakin mengkhawatirkannya. Ia harus terlihat seperti gadis kuat. Bukan gadis cengeng seperti dulu. Namun, apa daya. Hatinya masih begitu rapuh. Masih sama seperti dulu.
Clara menatap ke arah Alvin yang masih menunggu jawaban keluar dari mulutnya. Melihat itu, Clara semakin merasa bersalah. Ingin sekali ia mengatakan semuanya, namun apa setelah ini ia akan baik-baik saja? Apakah paman dan bibi akan kembali menghukumnya jika ia bercerita kepada orang lain? Tapi, jika ia tak bercerita sama sekali, ia akan terus menyimpan rasa sakit di hati kecilnya. Lagipula ia punya siapa-siapa untuk diajak bercerita.
"Kamu kenapa diam saja? Kamu ada masalah?" Tanya Alvin.
"Ceritanya panjang kak. Aku nggak tahu mau cerita darimana." Jawab Clara sendu.
"Kamu bisa cerita darimana saja. Yang penting kakak bisa faham. Jangan di pendam sendirian, kakak akan menjadi pendengar yang baik. Iyakan sayang?" Tanya Alvin pada Audrey.
"Iya. Kami akan menjadi pendengar yang baik. Mungkin jika kamu sudah bercerita. Hatimu akan terasa lebih baik. Jangan takut, kami bersamamu." Ucap Audrey.
"Sebenarnya aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku tumbuh menjadi gadis manja dan cengeng? Menjadi anak semata wayang, membuat aku begitu dimanja dan selalu dituruti apa yang aku mau. Hingga akhirnya aku meminta banyak sekali permintaan. Tapi, mereka tetap menuruti semuanya. Hal itu membuat aku menjadi egois. Seolah-olah semuanya harus tertuju padaku. Tak ada yang lain. Malam itu, aku sakit. Hanya demam. Tapi, aku menyuruh papa dan mama segera pulang, padahal aku tahu kalau diluar sedang hujan lebat. Kemudian, aku mendapat kabar kalau mereka kecelakaan dan meminggal di lokasi. Aku jadi begitu merasa bersalah. Seandainya aku tak menyuruh mereka pulan mungkin mereka masih ada disisiku. Hiks." Clara mulai terisak. Hatinya begitu sesak mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
Audrey memeluk tubuh Clara yang mulai bergetar hebat. Ia yakin, pasti Clara masih terguncang akibat kepergian kedua orang tuanya.
"Lalu, aku tinggal bersama paman dan bibi. Awalnya mereka terlihat begitu baik. Mereka yang menenangkanku saat banyak sekali pelayat yang datang. Tapi, setelah itu. Mereka tiba-tiba berubah. Mereka suka sekali memarahiku yang bahkan aku tak mengerti letak kesalahanku. Puncaknya, seminggu yang lalu, mereka mengusirku dari rumahku sendiri. Aku sempat mengelak, tapi mereka tetap kekeuh. Mereka berkata bahwa seluruh aset ayah sudah jatuh ke tangan paman. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja dari rumah itu. Aku takut sekali dengan paman dan bibi. Akhirnya, seperti yang kakak lihat, aku tinggal di jalanan." Lanjut Clara.
Alvin dan Audrey begitu terenyuh mendengar cerita Clara. Mereka seolah-olah merasakan apa yang Clara rasakan. Mereka tak menyangka jika kehidupan Clara langsung berubah 180° setelah kepergian kedua orang tuanya.
Alvin jadi semakin merasa bersalah. Seharusnya ia pulang saat mendengar orang tua Clara meninggal dunia. Namun, di satu sisi, ia harus membantu ayahnya untuk memperbaiki perusahaan yang mengalami masalah hingga membuatnya dan sang ayah pontang panting. Alvin hanya terus memikirkan seandainya. Seandainya ia bisa pulang lebih cepat, mungkin Clara tidak akan tinggal di jalanan seperti ini.
***
Devan terbangun dari tidurnya. Ia menatap ke arah jendela, ternyata hari mulai menggelap. Sepertinya Devan tidur terlalu lama. Devan mendudukan dirinya sendiri. Devan mengingat sesuatu. Jika ini sudah sore, berarti mama sudah pulang.
Devan segera bangkit kemudian berlari keluar dari kamarnya. Ia melihat ayahnya sedang fokus membaca sebuah koran. Bibirnya melengkung ke bawah saat ia menyadari tak ada eksistensi mama di penglihatannya. Devan mendengus sedih, sepertinya mama benar-benar membohonginya. Apakah mama memang tak menyayanginya?
"Papa. Kenapa mama belum pulang? Padahal ini sudah mau sore." Tanya Devan pada sang papa.
Nathan memfokuskan pandangannya pada sang anak. Anaknya terlihat menyimpan sebuah kekecewaan pada mulut bulatnya. Nathan jadi bingung, apa yang harus ia katakan?
"Sudah papa bilang Devan. Jangan bahas mama lagi. Mama kamu udah nggak ada. Dia bukan mama kamu." Ucap Nathan lembut.
"Tapi papa, itu mama. Devan yakin sekali. Mungkin dia nggak sayang lagi sama Devan. Makanya dia bohongin Devan terus. Sama kayak papa."
Nathan mengernyitkan alisnya bingung, "Kok jadi papa?"
"Iya. Papa sering bohongin Devan. Katanya kalau Devan dapat nilai sepuluh papa bakal kasih aku hadiah. Sekarang? Papa nggak ngasih apa-apa tuh sama Devan." Kesal Devan.
"Lho, kamu dapat nilai sepuluh? Kok nggak bilang sama papa? Kalau begitu salah siapa nggak ngasih tahu papa,hm? Bukannya papa bohong, tapi papa emang nggak tahu kalau kamu dapat nilai sepuluh."
"Bukan salah aku, tapi salah papa. Seharusnya papa yang tanya sama aku dapat nilai berapa. Itu tandanya papa perhatian sama Devan. Nggak melulu Devan yang laporan sama papa! Papa emang nggak perhatian sama Devan!"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Devan meninggalkan Nathan yang masih terpaku.
Ucapan Devan membuat batin Nathan tertohok. Benar ucapan anaknya. Ia kurang memberikan perhatian kepada anak semata wayangnya itu. Devan patut marah. Ini memang salahnya.
Nathan kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Devan. Apa yang dikatakan Devan memang benar. Ia kurang memerhatikan anaknya, walaupun ia sudah berusaha memberikan seluruh kasih sayangnya untuk sang anak. Ia menyesali segalanya. Mengapa Devan baru mengatakannya sekarang? Jika anak itu mengatakan dari dulu, mungkin ia akan memberikan perhatian lebih. Ia kira yang telah ia berikan kepada Devan sudah cukup, nyatanya tidak. Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi Devan. Walaupun ia dibantu oleh bi Inah, tetap saja tanggung jawab sang anak dipikul olehnya. Dimas, ayah Nathan,menatap sang anak khawatir. Ia tampak memikirkan sesuatu. Terlihat jelas dari wajahnya yang menunjukkan raut frustasi."Nathan? Kau ada m
Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan."Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan."Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya."Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin.""Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu." Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n