Share

Part 2

        Clara kembali menyusuri jalan tak tentu arah. Tak tahu kenapa, fikirannya terfokuskan pada anak yang baru saja menghampirinya. Clara mendesah pelan. Tak seharusnya ia memikirkan itu. Mungkin anak itu begitu merindukan ibunya sampai ia mengira orang lagi itu adalah ibunya.

SYAASSH

        Clara mendelik kesal mengetahui mobil yang baru saja melewati sebuah genangan di sampingnya hingga membuat air menciprat membasahi bajunya. Mobil itu berhenti di depannya. Clara segera menghampiri pengemudi mobil itu, berniat memarahinya. Barangkali ia bisa dimintai pertanggung jawaban. Sehingga ia bisa mendapatkan sedikit pundi-pundi uang untuk dia makan.

          Clara mengetuk kaca mobil itu kasar. Ia terus mengeluarkan kata umpatan dan cacian. Sang pengemudi mulai merasa jengah mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut Clara. Akhirnya ia membuka kaca pintu mobilnya.

           Clara membulatkan matanya saat mengetahui siapa pengemudi mobil tersebut. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"Clara? Kok kamu disini?" Tanya orang itu, ia segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Clara.

"Kak Alvin? Kok kak Alvin disini?" Clara balik bertanya.

"Ya ampun, Clara. Kenapa penampilan kamu jadi seperti ini? Kakak tadi ke rumah kamu. Kata paman sama bibi kamu, kamu pergi keluar negeri. Kakak udah coba hubungin kamu berkali-kali, tapi nomor kamu nggak aktif." Ucap Alvin panjang lebar.

"Ceritanya panjang kak. Aku nggak bisa cerita disini." Jawab Clara sembari menundukkan kepalanya. Ingin sekali ia bercerita dengan Alvin, namun disini bukanlah tempat yang nyaman untuk bercerita.

"Yaudah. Sekarang kamu ikut kakak ya."

          Clara hanya mengangguk, mengikuti perkataan Alvin. Alvin membuka pintu mobilnya mempersilahkan Clara masuk dan membantu Clara mengangkat koper besarnya.

                             ***

           Nathan duduk termenung di ruang keluarga. TV yang ia nyalakan tak ia hiraukan sama sekali. Setelah kejadian tadi, Nathan semakin merindukan Emilia. Ia sudah berusaha melupakan mendiang sang istri. Bahkan ayahnya terus mendesak agar ia segera mencari pengganti ibu untuk Devan. Nathan sudah berusaha. Setiap kali ia berusaha mendekati wanita lain, hatinya tak bergerak sedikitpun. Mereka tak bisa membuat hati Nathan berpaling.

           Nathan mendesah pelan. Ia sudah melakukan semua saran ayahnya. Sang ayah berulang kali memperkenalkannya pada beberapa wanita muda kenalannya. Nathan sudah berusaha untuk menyukai salah satu wanita pilihan ayahnya. Namun, hatinya tak bisa goyah sedikitpun. Hatinya masih milik mendiang istrinya. Belum pernah tergantikan oleh siapapun.

            Sering kali sang ayah memarahi Nathan. Dengan berdalih bahwa Devan membutuhkan sosok seorang ibu. Akan tetapi, saat Nathan membawa seorang wanita ke dalam rumahnya Devan menolak dengan keras bahwa ia tak mau memiliki ibu lagi. Ia hanya mau Emilia, ibu kandungnya.

"Tuan?" 

            Nathan menolehkan kepalanya saat mendengar suara orang yang baru saja memanggilnya. Itu bi Inah. Wanita paruh baya yang sudah bekerja selama dua puluh tahun pada keluarganya.

"Iya Bi. Ada apa?" Tanya Nathan.

"Tuan sedang ada masalah? Saya perhatikan Tuan seperti melamun dari tadi."

"Tidak Bi. Saya hanya memikirkan Devan."

"Tuan muda Devan? Memangnya ada apa dengan Tuan muda, Tuan?"

"Saya bingung Bi. Devan terus saja menanyakan tentang ibunya. Saya sampai bingung harus mencari alasan apa lagi agar Devan tak menanyakan ibunya terus menerus. Saya takut kondisi Devan semakin parah karena dia tak mau melupakan ibunya. Tadi saja, dia sempat berhalusinasi." Jelas Nathan.

"Berhalusinasi? Berhalusinasi bagaimana?"

"Devan tadi cerita sama saya. Kalau dia sempat bertemu dengan ibunya di taman. Dia menceritakannya dengan sangat bahagia. Kata Devan, ibunya telah berjanji bahwa dia akan pulang menyusulnya. Tapi sampai sekarang dia belum juga pulang. Seperti itu. Aku takut jika Devan terganggu psikisnya Bi."

"Tadi tuan muda sempat bertemu dengan seorang perempuan tuan. Wajahnya sangat mirip dengan mendiang Nyonya Emilia. Bahkan saya jika hanya melihat sekilas, mungkin saya akan menyangka bahwa dia Nyonya Emilia. Tapi, sepertinya dia masih sangat muda Tuan jika dilihat dari raut wajahnya."

"Benarkah? Aoakah Bibi tahu sedikit informasi tentang perempuan itu?"

"Maaf Tuan. Saya tidak tahu sama sekali. Saya merasa tidak enak jika harus bertanya lebih lanjut tentang dia. Perempuan itu terlihat kebingungan saat Devan selalu menyebutnya dengan sebutan mama. Tapi jika dilihat dari penampilannya, dia seperti seorang gadis jalanan. Dia terlihat membawa koper besar dan tampilannya juga seperti orang yang sedikit tidak terawat." Jelas Bi Inah panjang lebar.

            Nathan terdiam. Jadi ini yang membuat Devan menjadi uring-uringan selalu menanyakan perihal sang ibu semenjak ia pulang bekerja. Nathan jadi penasaran. Siapakah perempuan itu? Apa sebenarnya sang istri memiliki seorang kembaran? Tapi tidak mungkin. Setahu dia, sang istri merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Istrinya juga tak pernah menceritakan bahwa ia memiliki saudara lain selain kakaknya. Dan menurut keterangan dari Bi Inah, perempuan itu terlihat jauh lebih muda dengan mendiang istrinya. Apa benar perkataan orang-orang. Bahwa setiap orang memiliki tujuh kembaran yang hidup di dunia ini? Nathan memijit kepalanya yang mulai pening. Memikirkan itu saja sudah membuat kepalanya berdenyut sakit.

                               ***

            Clara mengikuti Alvin memasuki sebuah apartemen yang tampak asing baginya. Seingatnya, Alvin tak memiliki sebuah apartemen. Alvin tinggal bersama kedua orang tuanya pada perumahan kawasan elite. Bukan apartemen. 

            Clara melihat seorang wanita yang tampak menyambut kedatangan Alvin. Ia mengernyitkan alisnya heran. Apa Alvin sudah memiliki kekasih? Jika hanya kekasih kenapa mereka sudah tinggal bersama?

"Clara, sini. Kok malah berdiri  begitu." Ucap Alvin.

"I-iya." Jawab Clara canggung.

"Ah iya. Clara kenalin ini istri aku, Audrey. Anggap aja dia kakak kamu. Sama kaya kamu nganggap aku." Ucap Alvin.

"Oh hai kak. Aku Clara. Sahabat kak Alvin sejak kecil. Aku sudah menganggap kak Alvin sebagai kakakku sendiri."

          Wanita itu tersenyum melihat gadis yang berdiri disamping Alvin. Ia sama persis seperti yang Alvin ceritakan. Ia masih begitu muda dan cantik. 

"Oh jadi kamu Clara yang sering diceritakan oleh Alvin? Salam kenal ya, aku Audrey. Kamu bisa anggap aku kakak kamu sendiri." Ucap Audrey tulus.

"Yaudah, daripada berdiri terus pasti lelah. Lebih baik kalian duduk. Aku akan menyiapkan minuman dan cemilan dulu." Lanjutnya.

"Ah, tidak usah kak. Nanti malah ngerepotin." Ucap Clara sungkan.

"Enggak kok. Kakak nggak ngerasa direpotin sama sekali. Malah kakak seneng bisa ngelihat kamu. Asal kamu tahu, kak Alvin sampai uring-uringan gara-gara nyariin kamu. Kakak sampe kesel banget denger dia ngoceh gara-gara kamu belum juga ketemu." Balas Audrey dengan raut kesal.

"Benarkah? Kak Alvin nyari aku sampai segitunya?" Tanya Clara penasaran.

"Ceritanya panjang dek. Nanti dilanjutinnya ya. Kakak ke dalam dulu ya." Ucap Audrey sembari meninggalkan mereka berdua.

        Clara hanya menatap kepergian Audrey. Ia tak menyangka jika Alvin sudah menikah. Ia merasa dikhianati. Mereka berdua pernah berjanji, bahwa mereka tak akan menyembunyikan sesuatu sekecil apapun. Ia melirik Alvin yang masih memainkan ponselnya. Dengan kesal Clara memukul punggung Alvin keras.

DUAGGHH!!

           Alvin berjengit kaget saat tiba-tiba pukulan keras mendarat begitu saja pada punggungnya. Ia menatap Clara tak suka. Anak ini begitu kurang ajar terhadap orang yang lebih tua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status