Nathan kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Devan. Apa yang dikatakan Devan memang benar. Ia kurang memerhatikan anaknya, walaupun ia sudah berusaha memberikan seluruh kasih sayangnya untuk sang anak. Ia menyesali segalanya. Mengapa Devan baru mengatakannya sekarang? Jika anak itu mengatakan dari dulu, mungkin ia akan memberikan perhatian lebih. Ia kira yang telah ia berikan kepada Devan sudah cukup, nyatanya tidak.
Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi Devan. Walaupun ia dibantu oleh bi Inah, tetap saja tanggung jawab sang anak dipikul olehnya.
Dimas, ayah Nathan,menatap sang anak khawatir. Ia tampak memikirkan sesuatu. Terlihat jelas dari wajahnya yang menunjukkan raut frustasi.
"Nathan? Kau ada masalah?" Tanya Dimas.
"Tidak Ayah. Aku hanya memikirkan Devan."
"Devan? Apa dia berbuat masalah?"
"Tidak Ayah. Tadi Devan ngomong sama saya, kalau dia kurang diperhatikan oleh saya. Saya jadi merasa bersalah dengan Devan. Saya belum bisa menjadi orang tua yang baik bagi dia." Keluh Nathan.
"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak. Mungkin saja anak kamu sedang emosi, makanya dia ngomong seperti itu sama kamu."
"Tidak Ayah. Ini memang salahku. Ucapan Devan sepenuhnya benar. Aku terlalu fokus dengan perusahaan. Sampai aku lupa dengan janji-janjiku pada Devan. Aku menyesal sekali."
"Kamu melakukan itu semua juga karena Devan kan? Jangan terlalu merasa bersalah, cukup setelah kamu tahu, kamu ubah diri kamu menjadi seperti apa yang diinginkan Devan. Daripada melamun seperti ini."
"Benar Ayah. Haahh... Menjadi single parent memang berat." Keluh Nathan.
"Ayah kan sudah bilang berkali-kali. Segera cari pengganti. Kasihan Devan. Dia masih membutuhkan sosok ibu, Nathan. Ayah sudah mencarikanmu wanita sampai ke pelosok negeri tak ada yang kamu pilih sama sekali. Sia-sia perjuangan ayah."
"Kan saya sudah bilang Ayah. Jangan mencari-carikan aku wanita. Aku belum bisa melupakan Emilia Ayah. Sekuat apapun aku mencoba, tetap saja aku tidak bisa menyukai mereka. Iya aku tahu jika Devan membutuhkan sosok ibu. Tapi, jika hatiku berkata lain aku tak bisa memaksa Ayah."
"Terserah kamu lah. Ayah sudah menyerah. Ayah tidak mau membawa-bawa wanita-wanita yang menurut Ayah baik jika tak membuahkan hasil sama sekali. Yang terpenting cucuku bisa bahagia. Sudah itu saja."
"Seharusnya Ayah melakukan itu dari dulu. Jadi Ayah tak perlu repot-repot untuk mencarikan aku pendamping."
Sepasang ayah dan anak itu hanya tertawa bersama. Mereka sama-sama duda karena maut yang memisahkan mereka. Benar-benar pasangan yang serasi.
***
Sekarang, Clara tinggal bersama Alvin dan Audrey. Setelah mendengar cerita dari Clara, Audrey memutuskan agar Clara tinggal bersamanya dan Alvin. Sebagai wanuta, ia tak tega melihat seorang harus tinggal sendiri di jalanan yang ramai. Usia Clara juga masih terlalu muda untuk menghadapi dunia yang begitu keras tanpa orang lain yang mendampinginya.
Clara berkutat pada baju-baju milik Audrey. Ia memutuskan untuk membantu Audrey daripada harus merasakan bosan di apartemen Alvin. Ia bekerja dengan cukup cekatan walaupun baru pertama kali ia bekerja. Sebenarnya Audrey sempat melarang, namun Clara bersikeras bahwa ia harus membantu Audrey. Hitung-hitung balas budi, katanya.
***
Hari mulai larut. Clara dan Audrey segera menutup butik. Tubuh mereka sudah cukup lelah. Apalagi Clara, ia belum terbiasa bekerja walaupun hanya paruh waktu.
Clara kelelahan. Ia jadi membayangkan bagaimana lelahnya kedua orang tua ketika bekerja dari pagi kadang sampai larut malam. Kembali mengingat papa dan mama membuat hari Clara kacau. Ia mendesah pelan. Ia harus melangkah ke depan. Tidak menoleh ke belakang.
Clara mengelus perutnya yang merasa lapar. Tadi siang , ia hanya menyantap satu buah lembar roti saja. Ia tidak enak jika meminta makanan pada Audrey. Sudah beruntung ia diperbolehkan tinggal bersama Alvin dan Audrey. Clara harus tahu diri. Clara juga tahu, bahwa Audrey belum makan. Ia terlalu sibuk mengurus para pembeli yang membludak hari ini. Ia yakin bajwa Audrey lupa akan makan siangnya.
KRUYUUKKK
Audrey menoleh ke arah Clara kemudian tersenyum gemas. Adiknya ini pasti sudah merasa lapar, tapi anak itu sungkan untuk mengatakannya.
"Kamu lapar?" Tanya Audrey.
Clara hanya menyengirkan bibirnya hingga semua gigi depannya terlihat. Ia malu sekali mengatakan pada Audrey. Sial. Kenapa Clara tidak bisa menahan rasa lapar ini?
"Iya kak. Hehe." Jawab Clara sembari cengengesan.
"Yaudah, nanti kita mampir dulu ke tempat makan ya? Kamu mau makan apa?"
"Terserah kak. Aku nurut kakak aja."
Audrey hanya mengangguk. Kemudian menutup butiknya diikuti oleh Clara. Ia harus memastikan bahwa butiknya terkunci rapat, sehingga ia tak khawatir jika tiba-tiba ada seorang pencuri.
***
Devan baru saja pulang dari acara lesnya. Seperti biasa, Bi Inah yang menjemputnya. Sang ayah tak ada waktu untuk menjemput Devan. Terlalu sibuk mengusrusi perusahaan.
"Bi, Devan lapar. Kita mamir makan dulu yuk Bi."
"Den Devan lapar? Yaudah kita mampir makan dulu ya. Pak Mamang kita mampir makan dulu ya." Ucap bi Inah pada Pak Mamang, sopir pribadi keluarga Nathan.
"Baik Bi." Jawab Pak Mamang.
Mereka berhenti pada sebuah restoran cepat saji. Mereka segera memesan apa yang mereka inginkan.
Devan menunggu makanan datang. Dengan bosan ia mengetuk-ngetuk dagunya pelan. Ia melirik ke arah sekelilingnya. Restoran ini tampak begitu ramai. Mungkin ini adalah salah satu alasan yang menyebabkan makanannya datang cukup lama.
Mata Devan tertuju pada arah pada dua sosok yang baru saja masuk ke dalam restoran. Mereka sesekali melemparkan canda tawa. Kemudian mereka duduk tak jauh dari tempat Devan. Mata Devan membola ketika menyadari salah satu sosok yang tak asing dari matanya. Itu namanya.
Devan segera berlari menuju ke tempat Clara. Ia tak memperdulikan orang-orang yang menatapnya aneh, yang ada difikirannya hanyalah, Devan ingin ketemu mama.
"Mama!" Teriak Devan langsung menubrukkan tubuh kecilnya pada Clara dan memeluk Clara erat.
Clara kaget tentu saja. Sudah dua kali ia dipanggil mama oleh bocah yang tak dikenal. Ia masih syok, tak mampu berkata-kata. Oh, apakah bocah ini sama seperti yang menemuinya di taman itu?
"Mama, kenapa mama bohong sama Devan? Katanya mama mau pulang? Tapi mama bohong. Devan sampai capek nungguin mama pulang."
Audrey menatap Clara aneh. Mama? Apakah ada yang disembunyikan dari anak itu. Yang ia tahu, Clara merupakan anak baik-baik. Tak mungkin ia memiliki seorang anak dari hubungan di luar nikah. Tapi, bagaimana mungkin anak ini memanggilnya dengan sebutan mama?
Clara yang ditatap seperti itu oleh Audrey hanya menggeleng pelan. Clara juga sama bingungnya dengan Audrey. Ia kira bocah ini sudah melupakannya. Tapi apa ini? Bocah ini masih memanggilnya dengan sebutan mama.
Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan."Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan."Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya."Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin.""Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu." Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!