Malam itu, keluarga Hamid makan bersaama. Diandra dan Ibunya sedang makan malam di meja makan. Perlahan, Diandra sudah terbiasa makan sendiri dengan sendoknya. Diandra hanya diambilkan makanan di piringnya oleh Ibunya, atau oleh asistennya kemudian dia akan memakannya sendiri dengan perlahan.Dia sudah terbiasa melakukannya, sehingga tidak merasa kesulitan apapun saat memilih makanan yang akan masuk ke mulutnya. Pertama, dia menanyakan lauk makanannya, lalu meraba letaknya dan kemudian menggunakan sendoknya.Beberapa menit berlalu, seseorang datang dengan langkahnya yang tegap. Diandra tersenyum, itu adalah suara langkah kaki Ayahnya, Abdul Hamid. Hamid pun tersenyum dan melihat senyuman puterinya itu, dia mendekati Puterinya dan mengecup rambut hitam terurai puterinya itu.”Ayah sudah makan malam? Ayo makan bersama dengan kami Ayah.”Senyum puterinya itu benar-benar membuat kepenatan di kantor seolah hilang seketika. Hamid memiliki beberapa perusahaan dan semuanya juga sudah terdafta
Halimah masuk ke rumah. Sore itu waktu ashar, Halimah meminta Syarif untuk menutup rumahnya, artinya tanda orang antre sudah selesai. Halimah tak mau lagi mengambil airmata puteranya dengan sendok itu. Ini hari Sabtu, esok Adam pasti akan ke Danau Kenanga, dan biarlah Adam menikmati seharinya itu dengan baik dan hari ini biarkan dia istirahat.Walaupun seperti apa kata istirahat untuk Adam? Adam hanya tertidur saja, meskipun airmatanya mengalir perlahan namun matanya hanya berkedip biasa saja. Tak ada gerakan dan hanya seperti orang pesakitan semata.Namun, Halimah paham. Sebenarnya, Adam juga mendengar dan merasakan apapun di sekitarnya. Namun, rasa sakit dan cintanya yang teramat dalam itulah yang tak bisa membuatnya bangkit.Halimah pun masuk ke kamar puteranya itu, dia duduk di sebelah Adam dan mengelus rambut Adam yang mulai memanjang dan sedikit menutupi telinganya. Halimah mendoakan Adam sambil tetap mengelus rambutnya, Adam pun terlihat menggerakkan kepalanya sedikit tanda dia
Perasaan iba dan kasihan pada Diandra membuat hati Halimah terenyuh. Seorang wanita yang masih muda, dengan ujian berat namun dia masih terlihat begitu ikhlas terhadap kehidupannya.Itu menjadi pelajaran berharga bagi Halimah. Bagaimana seorang belajar dari orang lain tentang arti kesabaran dan keikhlasan.Halimah tak kuasa melihat harapan dari wanita cantik di depannya tersebut. Dirinya yang tak bisa bergerak dan juga matanya yang tak bisa melihat. Sungguh, itu adalah dua karunia paling besar yang dimiliki manusia. Namun, ketika ada manusia yang memiliki ujian tersebut dan dia tetap sabar. Maka, mereka adalah orang-orang terpilih di antara yang terpilih.Halimah bingung akan menjawab apa pada wanita cantik tersebut, kepalanya yang kesana kemari seolah memahamkan dirinya bahwa wanita itu tak bisa melihat. Senyum kecilnya demikian indah.”Sebentar..., saya akan meminta izin pada Adam,” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Halimah. Seolah, dia terhipnotis dengan kecantikan dan
”Aku adalah Diandra. Ikhlaskah jika airmatamu itu aku menerimanya?”Angin membela wajah indah Diandra, dan tak ada reaksi dan suara jawaban dari lelaki yang tengah tidur di pembaringan itu. Tidak ada tanda dan tidak ada gerakan sama sekali dari Adam.”Wahai Adam. Aku Diandra, aku adalah orang buta dan lumpuh. Aku selalu bersedih pada takdirku, tapi orangtuaku memaksaku untuk datang kesini. Jika kamu ikhlas, maka aku akan menerima airmatamu dan itu tidak akan mengecewakan orangtuaku.”Diandra tidak mau menyerah.Ada sedikit gerakan yang dilakukan Adam, bibirnya mulai bergerak perlahan, ”Ambillah jika itu bisa membahagiakan orangtuamu.”Suara itu begitu menenteramkan Diandra, dia pun tersenyum. Sembuh atau tidak, dia tak peduli. Dia hanya tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya yang paling dicintainya.Halimah pun mendekati puteranya itu, namun dia tak mengambilnya dengan sendok karena permintaan Diandra. Dia tahu dari informasi bahwa Ibu Adam akan keluar membawa sendok dengan sediki
Ahad tiba lagi.Waktu seperti biasa bagi Adam untuk memandangi indahnya Danau Kenanga, Syarif mengantarkannya dengan motor. Di sepanjang jalan pun, Adam hanya terus menerus tersenyum. Di rumah Adam, Halimah bersih-bersih rumah karena setiap orang sudah mengetahui bahwa hari Ahad adalah hari spesial bagi Adam dengan kenangannya dan di rumah tidak melayani tamu.Akhir-akhir ini, warga desa di sekitar desa Adam juga terus terlihat antre pada hari senin hingga sabtu. Bahkan, ketika mereka hanya sakit pegal dan gatal saja mereka datang karena itu lebih praktis dan tak perlu ke dokter. Sakit sepela pun kadang mereka datang, terlebih Halimah selalu melayani siapapun yang datang meminta pertolongan dengan terapi airmata tersebut.Halimah hanya tak mau mengecewakan mereka yang datang ke rumahnya untuk meminta pengobatan. Dan, Adam pun mengizinkan hal itu dengan anggukan kepalanya, tak peduli rasa sakitnya yang teramat dalam tersiksa karena cinta namun dia masih seolah memberi kebaikan pada sia
Di hotel, penginapan di kota yang dekat dengan desa yang ditempati Adam. Rombongan dari ibukota pusat yang berangkat 6 orang beristirahat masing-masing. Diandra satu kamar dengan asisten wanita, sedangkan ibunya Sarah sekamar dengan suaminya yang datang tadi malam menyusul mereka.Di ujung sebuah kamar, nampak wanita muda tertidur begitu nyaman seolah kelelahan yang sangat baru saja menyertainya. Wanita yang sudah agak tua juga tengah berbaring di kursi yang besar di sebelah kamar. Kamar itu vip, sehingga sangat besar ruangan dalam kamar itu dan sang asisten perempuan itu menjaga Nonanya.Suara derum mobil dan motor mulai terdengar, satu-satu. Pagi mulai menyapa di waktu subuh tersebut. Ada gerak jemari lenting milik Diandra yang mulai bergerak. Satu satu. Jemari yang bersih dan indah itu gerak perlahan dari telunjuk, kemudian jari tengah, lalu jari kelingkin. Sepertinya pemiliknya mulai sadar dari tidur malamnya dan seperti biasa untuk memulai mempersiapkan dirinya untuk bangun dan b
Hari-hari dilalui Naura seperti ribuan waktu yang selalu mengingatkannya masa lalu. Ingat bahwa waktunya telah berlalu begitu cepat. Rasa cinta yang dulu diberikan suaminya, Sandi. Banyak berubah.Apakah hal itu karena dirinya belum juga memberikan keturunan baginya? Tapi, bukankah mereka sudah berusaha dan masih banyak waktu yang bisa diberikan padanya. Kesempatan itu harusnya diberikan, setidaknya mereka menikah baru beberapa tahun saja.Rasa cinta suaminya, sudah banyak berkurang. Berbeda saat pertama mereka menikah, kini bahkan tak ada sapaan hangat menanyakan kabar ketika Sandi pulang. Bahkan, suaminya langsung tertidur dengan alasan kelelahan.Mungkin, pekerjaan di kantor demikian banyak dan cukup menyita waktunya sehingga Naura berusaha memahami kondisi suaminya. Lama kelamaan, Naura mulai terbiasa diacuhkan dan tidak dipedulikan. Sapaan sayang yang dulu sering didapatkan hilanglah sudah.Sejak merasa kesepian, Naura jadi memikirkan lelaki yang sudah ditinggalkannya, Adam. Enta
Senyum Diandra merekah, wajah yang ditatapnya itu demikian menyejukkan bahkan lebih sejuk dari angin sepoi di Danau Kenanga tersebut. Meskipun pandangannya kosong menatap air di danau dan hanya tersenyum namun entah kenapa Diandra begitu menikmati melihat wajah tersebut.”Kau bahagia Adam?”Suara Diandra begitu lembut, wajahnya teramat dekat dengan wajah tirus Adam. Adam tak menjawab, hanya senyuman ekspresi jawabnya dan matanya yang berkedip semata.”Hmm... Kau tak bosan Adam?”Lagi-lagi, Diandra bertanya pada Adam dan dia tak peduli apakah Adam menjawabnya atau tidak. Dia seperti ingin membayar janjinya, bahwa dia akan menjadi orang yang akan membersamainya. Adam yang terluka cintanya dan dirinya yang bebas dari kegelapan dunianya.Mungkin mereka berjodoh. Benar, Diandra yakin bahwa semua sudah diatur oleh Allah yang menciptakan dunia ini.Tak peduli apapun, entah kenapa Diandra mulai menyukai lelaki kerempeng dan sakit itu. Malaikat yang membawanya untuk bisa melihat indahnya dunia