Deru halus terdengar saat sebuah Mercedes hitam berhenti pelan di depan salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat kota. Pintu mobil bergengsi itu terbuka menampilkan seorang pria yang memakai kemeja putih dengan kancing atas terbuka, serta lengan yang tergulung sampai ke siku. Tak lupa dengan jas hitam yang ia pegang ditangannya.
Walau terkesan berantakan, tetapi aura yang terpancar sungguh menawan. Badan yang proposional dengan wajah yang terpahat tampan, membuat ia selalu menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang, semua orang menoleh memperhatikan saat ia berjalan memasuki perusahaan. Para karyawan mengangguk sopan ketika berapapasan, sambil diam-diam mengagumi bos mereka yang minim senyuman.Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah gagal. Hampir semua proyek yang ia kerjakan selalu sukses dengan hasil yang memuaskan. Inovasi yang ia kemukakan pun selalu mengesankan dan menjadi yang paling unggul. Hal inilah yang membuat perusahaannya terus berkembang dan menjadi salah satu perusahaan teknologi terbaik se-Asia. Ia bukanlah seorang tirani yang ditakuti, tetapi sikapnya yang penuh perhitungan dan teliti, membuat semua musuhnya selalu gigit jari kecewa saat ingin menyurangi. Kemudian akan mundur secara teratur, karena malu atas kegagalannya sendiri.Tujuannya kali ini adalah ruangan paling atas. Dimana itu adalah ruang pribadi miliknya sekaligus tempat ia berfikir keras dalam memajukan bisnis yang tengah ia jalani. Sampai di depan sebuah pintu besar, ia berbisik pelan menyebutkan sederet kode. Pintu itu pun terbuka. Ruangan luas dengan fitur serba canggih langsung tersugu menyambut mata. Dengan pasti ia melangkah masuk."Selamat datang kembali Tuan Addaith." Sebuah robot datang mendekat menyambutnya. "Tuan Willy sudah menunggu Anda." Pria yang dipanggil Addaith itu hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ruangan lain yang berada dekat dengan balkon."Kamu selalu menuntut para pekerja berpakaian rapi, tapi lihatlah dirimu sendiri? Seperti bocah ingusan yang baru saja memimpin sebuah perusahaan. Berpakaian sembrono demi keteranan." ucap Willy tanpa menoleh. Kedua matanya masih fokus membaca berkas-berkas perusahaan yang tengah ia pegang."Kamu tahu apa alasannya." sahut si pria mulai menata pakaian yang ia pakai.Willy mendengus. "Sampai kapan kamu akan begitu? Aku mulai pusing mengurus kertas-kertas ini tahu!" keluhnya. Sudah tiga hari ini ia selalu lembur sebab mengerjakan semua pekerjaan si bos sialan yang kini duduk dihadapannya tanpa rasa bersalah."Sampai aku menemukan apa yang aku inginkan." sahutnya santai sembari menyeruput secangkir kopi yang sudah tersaji di atas meja."Terserah! Yang penting jangan pernah telat memberiku gaji." ujar Willy menggeser sebuah undangan ke depan sang bos. "Dari Pak Abraham. Acaranya lusa, dan jangan suruh aku mewakilimu dirimu. Ia minta agar kamu sendiri yang datang." ucap Willy."Siapa saja yang diundang?" tanya si bos."Tenang saja, perusahaannya nggak ada didaftar tamu undangan. Seharusnya itu aman. Dan agenda hari ini, pertemuan dengan Pak Adinata di restoran biasa setengah jam dari sekarang." ucap Willy."Oke kalau begitu ayo berangkat." ajak si bos dengan jas yang sudah terpasang rapi. Willy yang belum sarapan hanya menghela napas lelah sebelum mulai mengikuti atasannya itu.Satu jam kemudian, dua orang pria yang baru saja melakukan pertemuan dengan salah satu klien, kini terlihat tengah menikmati hidangan yang mereka pesan. Terutama Willy yang memesan beberapa makanan sekaligus demi mengisi perutnya yang kelaparan sejak pagi tadi."Makanan di sini cukup enak. Kamu nggak mau coba?" tawar Willy fokus memotong steak yang ada dipiringnya. Merasa tidak ada sahutan dari sang bos, ia pun mendongak. Ternyata pria itu tengah serius memperhatikan sesuatu. "Apa yang kamu lihat?" tanya Willy."Seorang wanita yang gagal mendapat kepercayaan kliennya." sahut si bos. Karena penasaran, Willy pun menoleh dan terlihatlah seorang wanita cantik dengan ekspresi wajah rumit--mungkin antara kesal, bingung, kecewa, entahlah Willy tak bisa menyimpulkan, tengah duduk sendirian tak jauh dari meja mereka."Lalu apa yang akan--hei mau kemana kamu?" ucap Willy panik saat sang bos berdiri meninggalkannya berjalan menghampiri wanita tersebut. "Astaga ... apa yang ada diotaknya sampai berani mendekat ke sana dengan pakaian seperti itu?" ujar Willy pasrah. Tidak bisakah bos nya ini membiarkan ia makan dengan tenang? Willy yakin, akan ada drama lain lagi setelah ini."Kenapa merengut?" Ara langsung mendongak saat suara seseorang terdengar. Keterkejutan langsung terlukis di wajahnya saat ia mendapati sang suami yang berdiri tepat di depannya. Ara hanya diam. Sebelum ia bergerak cepat memeluk Ghazi kemudian menangis. Ghazi yang dipeluk secara tiba-tiba pun merasa tertegun. Setelah sekian lama semenjak ibunya meninggal, Ghazi baru merasakan lagi hangatnya sebuah pelukan."Dia membentakku, proyek yang aku rencanakan seketika gagal ... " lirih Ara sesenggukkan. Entah mengapa hati Ghazi berdesir saat mendengar ucapan sang istri yang kini terlihat seperti anak kecil yang tengah mengadu kepadanya. Dengan sedikit kaku, Ghazi membalas pelukan Ara."Tenang yah, semua akan baik-baik saja." ucap Ghazi lembut mengusap pelan punggung Ara. Cukup lama, sampai Ara perlahan melepaskan pelukannya kemudian mengusap kedua matanya menghapus sisa-sisa air mata."Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung.Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont