Share

3. Pindah rumah

“Ara berangkat yah Ma!”

Keesokan harinya, tepatnya pukul tiga sore, Ara sudah siap dengan dua koper besar berisi barang-barang miliknya yang telah ia kemas semalam. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah pria itu.

Sesungguhnya, keraguan masih terus membayangi diri Ara. Tetapi setelah "dibujuk” oleh Ghazi, dan mendengar cerita dari sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik, Ara mendapat sedikit keberanian untuk mencoba memulai semuanya dari awal.

Seperti sekarang, setelah 15 menit melakukan perjalanan, akhirnya Ara sampai di rumah pria itu yang ada di desa seberang. Rumahnya kecil, tetapi terlihat sangat bersih dan asri karena dipenuhi bunga warna-warni yang tertanam rapi di halaman rumahnya.

Sedikit malas Ara mengetuk pintu di depannya. Tidak lama kemudian, Ghazi keluar dengan handuk yang masih bertengger di lehernya dan rambut yang masih terlihat basah.

"Saya kira kamu nggak akan ke sini." ucap Ghazi tersenyum membukakan pintu.

Ara mendengus. "Tolong bawakan itu masuk." ucapnya menggerakkan dagu menunjuk dua koper besar miliknya, kemudian melenggang masuk tanpa menunggu respon Ghazi.

"Lagaknya seperti nyonya besar saja." gumam Ghazi terkekeh. Ia mulai membawa masuk barang-barang Ara kemudian kembali menutup pintu.

Ara berjalan menjelajahi isi rumah. Bangunan ini tidaklah besar, tetapi juga bukan bangunan sepetak seperti kontrakan. Ini rumah dengan desain yang minimalis. Hanya ada satu ruang tamu yang tidak terlalu luas, satu kamar tidur, satu ruang keluarga, dapur, serta satu kamar mandi. Tetapi barang-barang di sana semuanya lengkap. Walau itu tak selengkap apa yang ada di rumah Ara.

"Kamarnya cuma satu. Kalau saya tidur di sana, kamu tidur dimana?" tanya Ara saat Ghazi sudah berdiri di sampingnya.

"Ya di situ. Memang kamu mau tidur sendirian? Jangan salahkan saya kalau tengah malam nanti ada yang colak-colek kamu." ucap Ghazi.

"Jangan bercanda!" teriak Ara galak. Selain darah, hal yang paling Ara takutkan di dunia ini adalah hantu.

"Saya serius." sahut Ghazi mulai menarik koper Ara ke dalam kamar. "Kamu nggak sadar kalau rumah ini dikelilingi kebun? Nggak ada manusia lain disekitar sini." ujar Ghazi membuat Ara terdiam. Benar juga. Rumah ini memang tidak memiliki tetangga. Hanya ada beberapa rumah lagi tetapi itu memiliki jarak yang cukup jauh.

"Ya sudahlah biarkan saja." ucap Ara tak ingin membahas lebih jauh. "Oh iya kenapa kamu sudah ada di rumah? Nggak pergi jualan?" tanyanya. Ia diberi tahu oleh Zelin kalau suaminya ini berprofesi sebagai tukang cilok.

"Sudah pulang. Sengaja mau menyambut kedatangan istri cantik saya." ucap Ghazi membuat Ara seketika mengalihkan pandangannya salah tingkah. Ia masih seorang wanita normal, yang ketika dipuji apalagi oleh orang setampan Ghazi, pasti akan merasa gugup.

"Ya ya, kamu harus merasa bangga memiliki saya." ucap Ara. Ghazi hanya tersenyum melihat pipi Ara merona. Mudah sekali membuat perempuan ini bersemu.

"Saya mau ke warung sebentar, ada yang mau dibantu lagi nggak?" tanya Ghazi. Ara menggeleng.

"Cukup, titip permen jahe saja yang banyak." sahut Ara. Ghazi pun menganguk kemudian berlalu keluar. Ara mulai menata barang-barangnya.

Setelah semua selesai, Ara keluar menuju dapur hendak menata beberapa cemilan yang ia bawa. Ketika sampai di sana, Ara terkagum melihat betapa bersihnya dapur Ghazi tanpa adanya sampah yang menumpuk. Persediaan bahan mentah serta bumbu-bumbu dapur pun terlihat sangat lengkap. Ara terheran, dari mana pria itu mendapatkan ini semua? Bukankah ia hanya bekerja sebagai penjual cilok keliling?

"Saya menabung selama sebulan buat beli itu semua. Kamu suka nggak?" Ara langsung menoleh saat suara Ghazi terdengar.

"Itu semua kamu siapin buat saya?" tanya Ara. Ghazi mengangguk.

"Saya nggak punya banyak uang buat beli tas branded atau baju mahal buat kamu, jadi saya beli bahan-bahan dapur saja supaya kamu nggak perlu pergi ke pasar setiap hari." ucap Ghazi tersenyum. Ara terdiam merasa terharu. Ia mulai sedikit mempercayai ucapan sang mama yang berkata kalau Ghazi adalah orang yang baik.

Melihat Ara yang tak kunjung merespon, Ghazi pun berjalan mendekat kemudian menarik hidung mancung milik Ara. "Nggak usah terharu begitu, cukup masakan makanan yang enak saja buat saya sebagai gantinya." ucap Ghazi mengerlingkan mata sebelum berjalan pergi dari sana.

Ara merengut memegangi hidungnya. "Dasar genit!" teriak Ara. "Suka banget pegang-pegang, heran." gumamnya. Ara bukannya benci, ia hanya belum terbiasa karena selama hidup di dunia, Ara belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Ara hanya fokus meniti karirnya hingga ia bisa mendirikan sebuah perusahaan kosmetik yang cukup besar.

Tak terasa, waktu berjalan sangat cepat. Kini Ara sedang membuat minuman untuk Ghazi setelah setengah jam yang lalu mereka telah menghabiskan makan malam dengan masakan yang Ara buat.

"Ini kopi buat kamu." ucap Ara meletakkan secangkir kopi didekat sang suami kemudian ikut duduk di sampingnya.

"Makasih yah." sahut Ghazi tersenyum.

Ia kira Ara akan mengacuhkannya karena pernikahan mereka terjadi atas dasar paksaan. Apalagi kemarin Ara terang-terangan menolaknya. Tetapi ternyata wanita itu cukup dewasa dalam menerima keadaan, dan mulai beradaptasi menjadi seorang istri. Terlihat dari bagaimana usaha Ara yang mencoba melayani segala kebutuhannya, meski Ghazi terkadang melihat wanita itu merengut tak suka.

"Ada yang ingin saya tanyakan." ujar Ara.

"Apa itu?" tanya Ghazi menoleh menatap sang istri.

"Kenapa kamu mau menikahi saya? Kenapa kamu nggak menentang warga saat itu?" tanya Ara.

"Saya ini hanya orang kecil, nggak punya kuasa. Melawan puluhan warga desa, tentu saja saya nggak akan mampu." ucap Ghazi.

"Oke. Kata Mama, saat itu saya pingsan pas lagi beli cilok kamu, kenapa kamu nggak langsung mengantar saya pulang saja?"

"Saat itu hujan deras tiba-tiba turun, jadi saya bawa kamu ke dalam pos ronda. Kalau kamu berpikir, kenapa saat itu saya nggak antar kamu pakai mobil? Ya karena saya nggak bisa nyetir. Saya yang merasa lelah, nggak sengaja tidur di samping kamu dan tiba-tiba para warga datang salah paham." jelas Ghazi. Itu adalah kronologi yang ia ceritakan kepada semua orang. Ghazi tidak mau ada orang yang tahu tentang insiden penyerangan malam itu. Ia juga bersyukur Ara mengalami lupa ingatan.

Ara terdiam mencoba mencari kebohongan dimata pria itu, tetapi entah mengapa ia tidak menemukannya sama sekali. Hanya ada manik coklat gelap yang dalam, dan Ara tak mampu menyelaminya. Tak apa, Ara akan mencari tahu sendiri apakah ucapan Ghazi benar adanya atau tidak.

"Oke kalau gitu, saya mau tidur." ucap Ara berlalu masuk ke dalam kamar. Ghazi ikut bangkit kemudian mengekori wanita itu.

"Tidur dan jangan ganggu saya." ujar Ara saat ia merasakan seseorang berbaring di sampingnya.

Ghazi hanya terdiam menatap punggung Ara. Cukup lama sampai wanita itu berbalik dengan mata terpejam serta napas yang berhembus teratur, menandakan bahwa Ara telah tertidur. Ghazi tersenyum mengagumi wajah sang istri. Ara ini memiliki wajah yang cantik sekaligus manis tanpa menimbulkan rasa bosan ketika dipandang.

"Saya memang belum kenal sama kamu, saya nikahin kamu juga karena desakan para warga, dan secara kebetulan saya butuh sesuatu dari kamu. Tapi saya akan berusaha nggak nyakitin kamu selama kamu masih jadi milik saya." lirih Ghazi menyingkirkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Ara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status