"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung.
"Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi."Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara."Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu."Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Kalau dipikir-pikir, jarak antara rumah Ghazi dengan tempat ini sangatlah jauh. Mungkin butuh waktu sekitar satu jam perjalanan. Lalu bagaimana bisa kedua pria ini bertemu ketika Ghazi hanya berkeliling disekitar pedesaan? Rasanya itu sedikit janggal. Ghazi yang melihat keraguan dimata Ara pun langsung merogoh sakunya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang receh serta koin ke atas meja."Ini adalah hasil penjualan cilok hari ini. Saya beneran pergi keliling jualan Ra, dan nggak sengaja ketemu dia di jalan." ucap Ghazi meyakinkan. Willy nyaris melongo. Ia tak menyangka bahwa lelaki itu ternyata lebih siap dari dugaannya.Ara yang sempat curiga langsung percaya. Awalnya ia berfikir bahwa Ghazi ini sebenarnya seorang pengusaha, tetapi melihat lelaki itu bahkan membawa uang receh yang lusuh, Ara tak lagi punya alasan untuk menuduh bahwa Ghazi berbohong. Karena kebanyakan pengusaha, bahkan orang biasa pun lebih suka menggunakan transaksi digital ketimbang harus membawa uang cash."Oke saya percaya. Tapi saya harus pergi sekarang, masih ada urusan." pamit Ara ketika ia mendapat notif dari sang asisten yang memintanya untuk kembali ke kantor. Ara berlalu pergi setelah ia menyalami sang suami kemudian mengangguk sopan kearah willy."Dari mana kamu dapat ini?" tanya Willy menunjuk uang yang ada di atas meja. Ghazi terdiam. Pikirannya kembali melayang ketika ia sempat ke kamar mandi dan melihat Ara yang tengah bersitegang dengan seseorang, ia pun menukar beberapa lembar uang ratusan kepada seorang pelayan yang ada di sana supaya bisa menghampiri sang istri tanpa harus berganti pakaian."Sulap." sahut Ghazi berjalan kembali ke meja mereka."Lalu sejak kapan kalian berdua dekat sampai bisa berpelukan?" tanya Willy mengikuti lelaki itu."Seorang perempuan yang tengah rapuh, hanya butuh sebuah pelukan untuk menenangkan. Itu yang Ara lakukan." ucap Ghazi.Willy hanya diam mendengar jawaban pria itu. Ia bisa menyimpulkan bahwa Ara hanya reflek memeluk Ghazi untuk mencari ketenangan serta perlindungan sebab wanita itu sedang mengalami masalah dengan orang lain. Bukan pelukan atas dasar cinta atau hal semacamnya.Ara yang kini sudah berada di dalam mobil, terlihat memukul stir di depannya berulang kali. Antara kesal karena proyeknya gagal, dan malu sebab kelepasan memeluk Ghazi ditempat umum. Ia menggigit bibir saat hatinya mulai resah."Kira-kira apa yang pria itu pikirkan sekarang? Jangan sampai ia mengira bahwa aku sudah menerima dan sudah mulai menyukainya. Ck! Kenapa sampai kelepasan sih Ara?" gerutu Ara kesal pada dirinya sendiri.Saat Ara hendak melajukan mobilnya, ponselnya berdering tanda ada sebuah pesan masuk. Ia pun mengeceknya, dan ternyata itu adalah pesan dari sang om yang memintanya untuk bertemu. Karena tempatnya yang tak jauh dari posisi Ara sekarang, Ara memutuskan untuk menemui omnya terlebih dahulu.Sepuluh menit perjalanan, Ara pun sampai disebuah Cafe yang tidak terlalu besar. Langsung saja ia menghampiri sang om yang terlihat tengah menikmati secangkir teh sendirian."Hi Om." sapa Ara duduk di depan pria paruh baya yang terlihat masih gagah diumurnya yang tak lagi muda."Hi Dear, bagaimana kabarmu?" tanyanya."Sangat baik. Om sendiri gimana?" sahut Ara berbohong tak mau membuat Abraham-Omnya-merasa khawatir.Abraham ini adalah adik dari sang mama. Dulu, semua keluarga dari pihak Zelin tidak ada yang menyukai Ara dan cenderung menjauhinya kecuali Abraham yang masih mau memberinya kasih sayang. Entah apa alasannya Ara tidak tahu. Sampai Ara sukses pun para sepupunya tetap tidak mau melirik apalagi mengakui dirinya sebagai saudara."Ya seperti yang kamu lihat, om baik." ucapnya tersenyum."Syukur kalau begitu. Oh ya ada apa Om minta Ara datang kemari?" tanya Ara."Lusa adalah acara pertunangan anak om sekaligus hari anniversary om dan tante. Akan ada pesta besar, jadi kamu datang yah?" ujar Abraham.Ara sempat terdiam ragu, tetapi pada akhirnya ia tetap mengangguk. "Aku akan datang." ucapnya. Abraham tersenyum lega, saat ia kembali ingin menyahut, ponselnya berbunyi membuat ia menjauh dari Ara yang kini merenung."Aku ajak Ghazi nggak yah? Apa yang akan dikatakan semua orang saat tahu bahwa suamiku hanya seorang penjual cilok?" cicit Ara. Sungguh ia tak siap jika harus dihina lagi seperti dulu.Di tempat yang berbeda, seorang wanita paruh baya terlihat sedang bersantai dengan segelas wine yang tersaji di atas meja. Kaca besar yang menampilkan hiruk pikuk perkotaan tersaji tepat di depan mata. Mendengar langkah seseorang mendekat, ia meletakkan majalah yang tengah ia baca."Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh."Dia telah menikah Nyonya, dan wanita yang--" Ucapannya terhenti saat melihat sang majikan mengangkat tangan singkat."Saya nggak peduli siapa wanita yang dia nikahi. Siapkan penerbangan ke Indonesia, saya akan pulang untuk menyambut menantu saya." ucapnya. Si pelayan mengangguk kemudian berlalu keluar."Anak ini sudah berani bertindak tanpa seizinku, lihat saja, sampai mana ia akan berusaha." lirihnya tersenyum tipis.Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont