"Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup
Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu
Malam merangkak lambat di sebuah kafe semi-terbuka yang terletak di sudut kota. Lampu-lampu temaram menggantung di atas meja-meja kayu, menciptakan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan kegelisahan yang bergulir di dada Reynand.Ia duduk dengan punggung tegap, namun wajahnya suram. Di depannya, seorang pria bersetelan kasual—rekan bisnis yang sudah lama ia kenal—mencoba mengimbangi suasana dengan obrolan ringan. Tapi sejak lima belas menit terakhir, jelas bahwa pikiran Reynand tak benar-benar hadir di sana.“You okay, Rey?” tanya pria itu akhirnya, menyesap kopinya perlahan. “Kau kelihatan kayak lagi mikirin perang dunia ketiga.”Reynand menarik napas panjang, menatap cangkir kopinya yang sudah mendingin.“Mungkin bukan perang dunia. Tapi perang hati,” gumamnya pelan.Pria itu mengangkat alis. “Ada masalah sama Jihan?”Reynand tak langsung menjawab. Ia memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menimbang jawaban di dasar porselen itu.“Seseorang menjatuhkannya. Karyanya dituduh pla
Ruang kerja Jihan masih sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar, berpadu dengan isak pelan yang tak mampu disembunyikan. Jihan terduduk di sofa kecil, wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangan. Matanya sembab, napasnya tidak teratur. Air mata masih jatuh tanpa permisi. Hatinya remuk. Dunia seolah membencinya. Fitnah menjiplak—hal yang tak pernah terlintas untuk ia lakukan—menyeretnya ke jurang ketakutan yang membuat tubuhnya menggigil.Ceklek!Pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok paling dikenalnya. Tidak lain ialah Reynand, yang ia duga baru kembali setelah menegur staf yang menginterogasi tanpa sepengetahuannya. Pria itu mendekat perlahan. Lalu berlutut di hadapannya. Mata mereka bertemu—mata Jihan merah, basah, kehilangan daya. Sementara mata Reynand menyimpan badai yang ditahan, amarah yang teredam, juga rasa bersalah yang tak bisa ditepis."Sayang ... jangan menangis lagi, kamu tidak sendirian," bisik Reynand serak, nyaris berbisik. Jihan menggeleng lemah. Ai
Bias cahaya lampu gantung jatuh samar ke lantai marmer, memantulkan siluet sepatu hak rendah yang gemetar. Di balik salah satu pintu bilik toilet, suara isakan tertahan terdengar pelan namun memilukan. Sesekali suara itu bergetar—rapuh, seperti benang kusut yang siap putus kapan saja.Jihan duduk di penutup kloset dengan lutut ditekuk, wajahnya terkubur dalam kedua telapak tangan. Bahunya naik turun, napasnya tercekik, dan tangisnya—meski diusahakan pelan—tak mampu ditahan. Bibirnya bergetar, dan kalimat-kalimat penuh kepedihan pun meluncur tanpa sadar dari mulutnya.“Aku tidak menjiplak ... sumpah demi Allah, bukan aku ....” suaranya gemetar, seperti ranting kecil digoyang angin badai. “Jangan ... jangan suspend aku ... kumohon ...”Air matanya jatuh deras, mengalir melintasi pipinya yang kini pucat. Matanya sembab, bibirnya kering. Ia bicara seolah sedang berdialog dengan takdir yang tiba-tiba menusuk dari belakang.Di luar, pintu utama toilet terbuka dengan bunyi klik pelan. Sepatu
Hening.Hanya suara detik jam digital dan desiran AC yang terdengar di ruang kerja Jihan. Matanya terpaku pada layar monitor, jari-jarinya bergerak ragu di atas mouse. Raut wajahnya tegang. Ia sedang menyusun laporan terakhir dari hasil analisis kebutuhan pasar yang ia serap selama dua bulan terakhir—hasil observasi dan diskusi diam-diam dari ruang-ruang pertemuan tempat ia selalu duduk sebagai pendengar diam. Ia tidak menonjolkan diri. Ia hanya menyimak, mencatat, lalu menyusun simpulan.Itu sebabnya Reynand dan tim pemilik proyek mempercayainya mengolah data lintas divisi—karena Jihan, tak seperti yang lain, tidak pernah menuntut sorotan.Namun hari itu, nalurinya terusik. Ada sesuatu yang tak sinkron dalam sistem. File mentah idenya yang ia simpan dalam folder terenkripsi... lenyap.Klik. Klik. Klik. Tidak ada.Napasnya sedikit tercekat. “Apa mungkin aku salah simpan?" Ia bergumam lirih. Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk cepat. Tak lama kemudian sosok itu masuk yang ternyata ad