Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be
Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu
Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing
"Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup
Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu