Share

7. Kenyataan yang Meresahkan

Seperti kata pepatah, malu bertanya maka tak tahu. Kalau dibiarkan jadi penasaran. Serba salah bukan? 

Begitulah situasi hati dan pikiran Nita saat ini. Sejak mereka bertolak dari penginapan, otaknya mulai tidak konsen. Perubahan sikap Kandar yang terkesan mendadak sungguh membuat tanda tanya besar di kepala.

Apakah pria itu merasa malu gara-gara hampir menciumnya di parkiran penginapan tadi? Atau mungkin karena suatu alasan lain yang telah melibatnya dirinya? Nita sama sekali tidak bisa menebaknya. 

"Ayolah bicara dan tanyakan padanya langsung!" Seru perempuan itu dalam hati. Sementara matanya menatap lekat pada Kandar yang tengah fokus menyetir. 

Meskipun sudah sebulan menjadi istrinya, Nita masih agak canggung membahas sesuatu diluar pekerjaan. Apalagi jika menyangkut masalah privasi seperti ini. Bedacerita kalau Kandar yang memulainya terlebih dahulu.

"Apa harus aku memancingnya agar dia mau membahasnya terlebih dahulu?" batin Nita berbisik. 

 "Kenapa kamu menatap seperti itu? Baru sadar ya kalau suamimu ini ganteng?" Tiba-tiba saja Kandar bersuara. 

Nita langsung tercekat di tempat. Bisa-bisanya sang suami berkata demikian padahal sedang dalam posisi menatap kedepan sambil menyetir. Dia seperti punya mata ketiga saja. 

"B-bukan seperti itu. Tadi saya hanya asal melihat," kata Nita salah tingkah.

"Kalau benar juga tidak masalah. Memang faktanya kalau suamimu ini ganteng," ucap Kandar dengan pedenya. 

Cih, ge-er sekali dia. Memang sih ganteng tapi terkadang agak menyebalkan, Nita menggerutu dalam hati. Entah kenapa ia jadi kesal sendiri mendengarnya. 

Tapi, tunggu sebentar! Nita seperti diingatkan oleh sesuatu. Belum lama ini wajah Kandar terlihat seperti mau makan orang. Baginya cukup aneh jika langsung berubah ceria secepat itu. Apa jangan-jangan tadi dia hanya... 

Nita berdehem sejenak. "Pak suami!" Panggilnya.

"Ada apa?" sahut Kandar masih dalam posisi menyetir. 

"Apa tadi anda marah sama saya?" tanya Nita memastikan. 

Kening Kandar langsung mengkerut, namun masih tetap fokus dengan stir kemudinya. "Marah? Soal apa?" 

Yah, malah balik bertanya. Padahal jelas-jelas tadi raut wajahnya langsung berubah aneh sebelum bertolak dari penginapan. Apa Kandar sudah melupakannya? pikir Nita. 

"Soal... itu. Anu itu tadi." Nita tampak kesulitan mengatakannya. Padahal kalimat tersebut sudah di ujung lidah. 

"Anu apa?" tanya Kandar. 

"Itu, anu tadi disana." Lidah Nita terasa kelu mengatakannya. 

"Kamu kebelet pipis?" tebak Kandar. 

"Bukaan itu!" 

"Lalu?" 

Agrrh! Kenapa sulit sekali mengatakannya. Bisa tidak Kandar mengerti bahasa batin. Jadi tidak perlu repot-repot lagi bicara pakai bahasa bibir, pikir Nita. 

Tinggal ngomong saja padahal, kenapa tadi mereka tidak jadi cipokan. Yang ada malah sikap Kandar mendadak berubah lalu memilih buru-buru menghidupkan mesin mobil. Padahal Nita sudah sangat antusias menunggunya sampai bibir pegal, akibat terlalu lama memonyongkan bibir. 

"Nanti saja kita bahas kalau sudah agak tenang. Bapak fokus saja menyetir dulu." Nita akhirnya menyerah gara-gara teramat sulit bibirnya untuk diajak berkata-kata. 

"Yakin tidak mau sekarang?" tanya Kandar memastikan. 

"Yakin, bapak. Saya tidak ingin kita dalam masalah gara-gara bapak tidak fokus menyetir." Nita beralasan. Untunglah, Kandar bukan tipe pemaksa jadi pria itu tidak mempermasalahkannya.

***

Beberapa waktu berlalu, suasana dalam mobil kembali hening. Pasangan pasutri berstatus rangkap itu tampak sibuk dengan aktivitas mereka. Kandar tengah fokus menyetir, sementara Nita dalam diam terus mempertanyakan rasa penasarannya. 

Beberapa meter kebelakang, sebuah mobil hitam masih saja mengikuti kendaraan mereka. Tidak ada yang sadar akan hal itu. Awalnya si pengemudi terlihat biasa saja saat menyetir. Namun beberapa menit setelahnya sosok itu tampak terkejut luar biasa. 

"Sial! Hampir saja mau nabrak. Harusnya bilang dong dari awal kalau mau berhenti," ucapnya tak terima. 

Tiba-tiba saja kendaraan didepannya, alias mobil Kandar mendadak menepi ke pinggir jalan. Otomatis si pengemudi terkejut dan langsung ngerem mendadak. Namun sosok itu tetap melanjutkan perjalanan lalu kemudian berhenti di tepian yang lain. Seperti sengaja menunggu target mobil yang telah diincarnya. 

Sementara itu di dalam mobil Kandar... 

"Eh, kenapa kita berhenti disini? Apa ada sesuatu?" tanya Nita penasaran. 

Kandar tidak segera menjawab. Pria itu malah memilih menyambar botol minuman di dasbor mobil dan meneguknya. Nita menduga sang suami tiba-tiba menghentikan kendaraan karena sedang kehausan. 

"Bicaralah," ucap Kandar kemudian. 

Wajah Nita menunjukkan raut tidak mengerti. "Tentang apa?" 

"Masalah anu yang menganggumu tadi. Bukankah suasana seperti ini cukup tenang untuk bicara?" jelas Kandar. 

"Ah, ternyata masalah tadi." Nita membatin. 

Tak disangka Kandar masih tergerak ingin membahasnya. Jujur saja sekarang Nita mendadak gugup. Ditambah lagi tatapan sang suami yang begitu intens semakin mendukung suasana. Apakah mempertanyakan hal itu sekarang adalah tindakan tepat? 

"Ini kesempatan, Nita! Kalau tidak bertanya sekarang maka kamu tidak akan pernah tahu. Kesampingkan dulu rasa malumu itu," bisik batinnya seolah menguatkan.

Setelah menempuh pemanasan kata dan basa-basi yang lumayan memakan waktu. Pada akhirnya Nita mengeluarkan pertanyaan yang telah membuat dirinya penasaran sejauh ini. Tentang alasan kenapa tadi Kandar tiba-tiba menyuruhnya diam bahkan tanpa bergerak. Hanya itu, tanpa menyinggung masalah ciuman yang gagal.

"Oh, soal itu. Tadi ada sesuatu yang aneh menyangkut di rambutmu. Saya pikir itu bercak tahi burung, ternyata cuma serbuk bunga dandelion." Kandar akhirnya menjawab rasa penasaran itu. 

"Hanya itu?" Nita seakan tidak puas dengan jawaban yang didengarnya. 

"Benar hanya itu." Kandar mengatakannya dengan mantap, sama sekali tidak ada raut kebohongan disana. 

Hal ini benar-benar sangat tidak masuk akal bagi Nita. Bagaimana bisa serbuk bunga dandelion disamakan dengan bercak tahi burung. Miripnya dari mana coba? Terkesan seperti alasan yang dibuat-buat. 

"Hanya gara-gara itu bapak menahan saya. Sampai-sampai saya harus memenjamkan mata dan... dan..." 

Ah, Nita tak sanggup menyebut bagian terakhir. Tekanan darahnya mendadak naik mendengar alasan yang tidak masuk akal itu. Bagaimana bisa ia jadi salah paham dan mengira Kandar ingin menciumnya?

"Yah, memang kenyataannya begitu. Mau bagaimana lagi," sahut Kandar dengan ekspresi yang meyakinkan. 

Mimik serius wajah tampan itu sungguh melukai harga diri Nita. Rasanya ia ingin membenamkan diri ke dasar kursi mobil paling dalam. Situasi saat ini benar-benar memalukan! 

"Sudah pak, jangan bicara lagi! Saya tidak sanggup mendengarnya." Nita ingin mengakhiri obrolan mereka untuk meredakan rasa malunya. 

Hal itu sempat membuat hening sejenak. Kandar masih memperlihatkan tatapan bingung. Berusaha mencerna topik yang sedang dibicarakan.

"Sebentar…" Kandar seperti teringat sesuatu. "Kenapa tadi bibirmu monyong-monyong seperti tunggir ayam begitu. Jangan-jangan kamu...." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status