Harika mengangguk, sedikit kikuk, lalu mempersilakan Adeline masuk. Mereka duduk di ruang tamu kecil dengan karpet tipis dan kipas angin yang mengayun pelan di langit-langit. "Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Adeline sambil menatap sekeliling. "Iya, tapi aman kok," jawab Harika sambil menyuguhkan air putih. Setelah basa-basi sebentar, Adeline meletakkan gelas di meja dan menatap Harika lekat-lekat. "Aku langsung ke inti aja ya, Harika. Aku cuma mau tahu satu hal." Harika menelan ludah. "Apa itu?" "Kamu punya perasaan sama Alister?" Suasana langsung membeku. Harika terdiam, matanya berkedip cepat, lalu tertawa kecil yang jelas-jelas dipaksakan. "Lho kok nanyanya kayak gitu?" "Harika," potong Adeline. "Aku serius. Aku tahu kamu dekat sama dia. Kamu sering bersikap konyol, tapi aku bukan bodoh. Aku bisa lihat sesuatu dari cara dia mandang kamu." "B-bukan gitu, aku... aku cuma sekretarisnya. Lagian Pak Bos itu terlalu perfeksionis buat tipe aku. Aku mah sembarangan orangny
Alister membuka mulutnya, tampak hendak mengatakan sesuatu, namun sebelum sempat melanjutkan, Harika buru-buru menambahkan, “Tapi sebelumnya saya ke pantry dulu ya, Pak. Kayaknya saya butuh secangkir teh manis biar bisa hadapi dunia ini.” Tanpa menunggu jawaban, Harika melangkah keluar ruangan sambil terkekeh kecil, meninggalkan aroma bunga peony dari parfumnya yang ringan. Tak lama setelah pintu tertutup kembali, suara ketukan lain terdengar. Kali ini pelan dan penuh keraguan. "Masuk!" ujar Alister, masih menyesuaikan fokusnya kembali. Pintu terbuka perlahan. Adeline berdiri di sana, mengenakan blus putih dan rok abu panjang. Wajahnya pucat, namun matanya tampak lebih tenang daripada terakhir kali mereka bertemu. Alister langsung berdiri. "Adeline?" Adeline melangkah masuk. "Aku tahu seharusnya aku tidak ke sini tanpa janji dulu, tapi aku butuh bicara." Alister menunjuk kursi di hadapannya. "Silakan duduk!" Adeline duduk perlahan. Sejenak ia menatap meja, lalu berkata pelan, "
"Maaf, saya pembawa kekacauan," balas Harika, pura-pura serius. "Dan anehnya semua kekacauan yang kamu bawa justru bikin semuanya hidup."Harika melirik cepat, tapi tak berani terlalu lama menatapnya."Aku harusnya marah tadi," lanjut Alister pelan. "Tapi begitu lihat kamu teriak ‘meletus balon hijau dor!’ sambil jatuh, rasanya semua beban di kepala langsung hilang.""Apa Pak Alister baru saja bilang saya jadi semacam terapi stres perusahaan?"Alister mengangguk. "Yang mahal, langka, dan tidak tergantikan."Harika terdiam. Angin meniup rambutnya pelan. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan, merasa jantungnya mulai mengetuk pintu akal sehatnya lagi."Pak Alister.""Hmm?""Kalau semua orang punya versi terburuknya, saya kayaknya udah nunjukin semua versi saya ke Bapak."Alister menoleh padanya. Tatapannya lembut, namun tajam seperti biasa."Justru karena itu, aku jadi tahu siapa kamu tanpa topeng dan tahu apa yang aku rasakan."Harika menatap api, tidak berani menoleh. "Apa yang Bapak
Sabtu pagi di lokasi gathering di Villa Ardiwijaya, kawasan PuncakVilla luas berarsitektur modern minimalis itu sudah ramai dengan staf. Halaman belakang menghadap langsung ke pegunungan berkabut, lengkap dengan taman hijau, area BBQ, dan panggung kecil. Suasana santai dan ceria menyambut seluruh karyawan Ardiwijaya Grup. Harika baru turun dari mobil jemputan sambil membawa dua totebag besar berisi perlengkapan acara dan satu bantal leher berbentuk ayam lucu. "AAAKKK!!" Tali totebag sebelah kanan putus. Sekantong keripik, kotak mic karaoke, dan bantal ayam kesayangan Harika berjatuhan di jalan masuk. Ia langsung panik memunguti barang-barangnya dengan gaya khas Harika—panik, heboh, dan setengah mengomel pada diri sendiri. "Ya ampun, ayamku kotor! Aku belum sempat cuci, kenapa nasibnya seperti cilok jatuh ke got?!" Fenny datang tergopoh-gopoh, tertawa sambil ikut membantu. "Kamu tuh emang bawa bala setiap kali acara kantor, tapi setidaknya kamu bawa hiburan gratis." "Saya bawa s
Alister duduk di kursinya, membuka halaman demi halaman laporan, tapi konsentrasinya teralih. Ia mengingat ucapan ayahnya. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu, Alister." Lalu ia mengingat lagi senyum ceroboh Harika, tumpahan kopi yang sudah tak terhitung, dan semua gumaman sok berani yang malah terdengar lucu. Dia menghela napas. "Justru karena dia tidak cocok untuk siapa pun, dia jadi cocok untukku." Sementara itu, di kafetaria kantor, Fenny menyenggol bahu Harika yang sedang menyeruput teh tarik. "Jadi kamu sekarang udah bikin dua orang pingsan karena jatuh cinta, satu bos, satu vas." Harika menunduk ke meja. "Tolong, jangan ingatkan aku soal vas itu." "Tapi kamu sadar nggak, akhir-akhir ini Pak Alister makin posesif? Kayak waktu kamu ngobrol sama Mas Januar kemarin, ekspresi dia kayak pengen makan Januar pakai garpu." Harika langsung menutup muka dengan gelas. "Jangan mulai. Jangan mulai. Jangan mulai." Fenny mengaduk minumannya dengan ekspresi jahil. "Harika, ini serius. Ak
Sore hari Harika sedang menuang air panas ke gelas dan seperti biasa terlalu penuh sampai air meluap."Panas! Panas! Aduh, duh, duh, duh!" jeritnya sambil loncat-loncat kecil.Januar yang kebetulan lewat langsung mengulurkan tisu. "Kamu butuh pengawas pribadi sepertinya."Harika tertawa malu-malu. "Atau pelatihan dasar menyeduh teh."Di sudut ruangan, Alister sedang berdiri sambil memeriksa ponselnya, tapi matanya jelas-jelas memperhatikan Harika. Ia melihat tawa Harika yang entah kenapa selalu terasa istimewa dan tawa itu bukan untuknya.Beberapa detik kemudian, ia langsung berjalan menghampiri mereka."Harika!" panggilnya tiba-tiba.Harika menoleh cepat, hampir menjatuhkan gelas. "Ya, Pak?""Mulai minggu depan, kamu ikut saya dalam semua pertemuan dengan investor. Termasuk konferensi pers dan kunjungan proyek di luar kota."Harika mengedip. "Eh? Tapi saya belum pernah....""Anggap ini bagian dari promosi informal. Saya ingin kamu belajar lebih banyak."Januar hanya tersenyum kecil,