Harika Putri Ayyara tidak pernah menyangka bahwa bekerja sebagai sekretaris CEO perfeksionis seperti Alister Ardiwijaya akan mengubah hidupnya. Mulai bekerja dengan penuh tekanan, hingga... perasaan aneh di hati Harika.... Hanya saja, kedatangan seseorang dari masa lalu Alister membuat Harika ragu. Lantas, bagaimana nasib sang sekretaris ceroboh kesayangan tuan perfeksionis ini?
View MoreHarika Putri Ayyara berdiri di depan pintu ruang CEO dengan dada membusung dan dagu terangkat. Ia menarik napas dalam-dalam. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris pribadi Alister Ardiwijaya, CEO Ardiwijaya Grup yang terkenal perfeksionis, disiplin, dan katanya bisa mencium kesalahan dari jarak satu kilometer.
“Tugas pertama adalah ketuk pintu dengan anggun,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri. Ia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Sayangnya, ujung lengan bajunya tersangkut di gagang tas. Saat ia menarik tangannya dengan sedikit tenaga, pintu terbuka lebar, dan Harika kehilangan keseimbangan. Ia terjerembab ke depan dengan posisi hampir sujud, kepalanya nyaris mencium karpet mahal yang sepertinya lebih mahal dari gaji bulanannya. Tepat di depan meja kerja megah, seorang pria berjas rapi dengan wajah setajam patung Yunani menatapnya tanpa ekspresi. Alister Ardiwijaya. Pria yang dikabarkan lebih kejam dari spreadsheet akuntansi dan lebih dingin dari pendingin ruangan di ruang meeting. Harika buru-buru berdiri dan merapikan bajunya. Ia tersenyum lebar seolah-olah baru saja tidak mempermalukan dirinya sendiri. "Selamat pagi, Pak Bos!" sapanya ceria, berharap bisa menyamarkan insiden barusan. Alister tidak menjawab. Matanya melirik jam tangan mahalnya, lalu kembali menatap Harika. "Kau terlambat dua menit tiga puluh tujuh detik," katanya datar. Harika berkedip. Detiknya juga dihitung?! "Eh macet, Pak," jawab Harika spontan, meskipun sadar itu alasan basi. Alister menaikkan sebelah alisnya. "Macet di mana? Aku datang dari tempat yang lebih jauh darimu dan tetap sampai tepat waktu." Harika mencari alasan lain. "Saya tadi membantu nenek menyeberang jalan, Pak." Tatapan Alister semakin tajam. "Kau naik motor, Harika." Astaga. Dia ini cenayang atau bagaimana?! Harika tertawa gugup. "Iya, Pak. Tapi, eh saya tadi sempat berhenti sebentar untuk beli roti buat sarapan. Eh, maksud saya, buat energi supaya bisa bekerja dengan baik." Alister tidak merespons. Ia hanya menatapnya dalam diam, lalu akhirnya berkata, "Aku tidak suka alasan. Aku suka ketepatan waktu, kerapian, dan kesempurnaan." Harika menelan ludah. Ini baru lima menit pertama, dan rasanya sudah seperti wawancara tahap akhir di perusahaan multinasional. "Baik, Pak! Saya akan lebih disiplin!" katanya penuh semangat, mencoba menciptakan kesan profesional. Alister mengangguk. "Bagus. Sekarang, buatkan aku kopi. Hitam, tanpa gula, panasnya pas." Oke, ini mudah! Harika langsung melesat ke pantry, bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya bukan sekretaris abal-abal. Ia mengambil cangkir terbaik, menuangkan air panas dengan hati-hati, dan memilih kopi hitam tanpa gula. Misi berhasil! Dengan penuh percaya diri, ia kembali ke ruang kerja Alister dan meletakkan cangkir di atas meja. Alister menatap cangkir itu. Ia mengangkatnya perlahan, menghirup aromanya, lalu menyeruput sedikit isinya. Hening. Satu detik... Dua detik... Tiga detik. Alister menutup matanya, menarik napas panjang, lalu— "Ini teh." Harika membeku. Alister membuka matanya lagi dan menatapnya tajam. "Kau membuatkanku teh." Harika melirik cangkir itu. Benar saja. Itu bukan kopi. Itu teh hitam. Astaga. Bagaimana bisa aku salah ambil?! "Oh! Mungkin ini teh paling hitam yang pernah ada, Pak!" katanya sambil tertawa canggung, berharap humornya bisa menyelamatkan keadaan. Alister tidak tertawa. Ia hanya meletakkan cangkir itu dengan perlahan, seolah-olah sedang mengendalikan diri untuk tidak melemparnya keluar jendela. "Harika," katanya dengan nada lelah. "Jika kau tidak bisa membedakan kopi dan teh, aku khawatir dengan masa depan perusahaan ini." Harika menahan napas. Baru hari pertama dan sepertinya kariernya sudah di ambang kehancuran, tapi Harika Putri Ayyara bukan tipe yang menyerah begitu saja. "Pak, saya janji tidak akan salah lagi!" katanya penuh tekad. Alister menghela napas panjang. "Baiklah. Aku beri kau kesempatan kedua. Sekarang buatkan kopi yang benar." Harika mengangguk mantap dan bergegas kembali ke pantry. Kali ini, ia memastikan untuk mengambil kopi. Kopi hitam. Tanpa gula. Panasnya pas. Dengan bangga, ia kembali ke ruangan Alister dan meletakkan cangkirnya. Alister menatapnya lagi, mengangkat cangkir, menghirup aromanya, lalu meminumnya. Hening lagi. Alister perlahan membuka mata. "Harika." "Ya, Pak?" "Aku minta kopi tanpa gula." Harika mengangguk. "Iya, Pak! Itu tanpa gula!" Alister menatapnya tajam. "Lalu kenapa rasanya seperti ada garam?" Harika berkedip. Garam? Ia buru-buru mengambil cangkir kosong tadi dan memeriksanya. Matanya membelalak saat menyadari sesuatu. Astaga. Itu bukan gula. Itu garam! Wajahnya langsung pucat. "Eh mungkin kopi dengan garam bisa jadi tren baru, Pak?" Alister menutup matanya lagi, menarik napas panjang seolah-olah sedang menenangkan diri. "Aku hanya butuh kopi biasa, Harika. Hanya kopi hitam biasa. Bisakah itu terjadi tanpa insiden tambahan?" Harika menegakkan bahu. "Bisa, Pak! Saya akan buatkan sekarang juga!"Gunawan menyeruput teh hangatnya perlahan, matanya tetap mengamati wajah Harika yang kini tampak lebih tenang meski jelas ada banyak hal yang belum terselesaikan di dalam kepalanya. Harika menggulung lengan cardigannya, menatap cangkir tehnya yang sudah tinggal setengah. "Kakek beberapa minggu lalu, Mama juga bilang hal yang sama. Dia juga minta aku kembali. Katanya, sudah waktunya aku berdiri di tempatku sendiri. Tapi…." "Tapi?" Gunawan mendorong nada suaranya pelan, sabar. Harika mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum, meski ada keraguan di balik matanya. "Aku aku minta waktu satu tahun, Kek. Setahun aja. Setelah itu aku akan siap." Gunawan meletakkan cangkir tehnya perlahan di atas meja, keningnya sedikit berkerut. "Kenapa harus setahun, Harika?" Harika menarik napas panjang. "Karena aku belum bisa meninggalkan Pak Alister. Dia masih butuh aku sebagai sekretarisnya dan jujur, aku juga belum bisa begitu saja pergi dari sisinya sekarang." Gunawan menatap cucunya dalam-dalam, da
Alarm ponsel Harika sudah berbunyi sejak satu jam lalu, tapi pemiliknya justru masih bergelung di balik selimut. Sinar matahari menembus celah gorden dan menyusup ke wajahnya dan tepat pukul 9:07 pagi, seekor ayam tetangga berkokok dengan nada tinggi yang menyebalkan."AKHH!!" Harika duduk tegak seperti baru saja tertarik dari mimpi buruk ke dunia nyata. Matanya membelalak ke arah jam dinding."YA AMPUN! Aku kesiangan! Kenapa nggak ada yang ingetin kalau hari Minggu tetap harus nyuci baju, nyapu, dan masak!"Ia berlari ke kamar mandi dengan sandal rumah sebelah kiri dan kanan yang tidak sama ukuran, rambut awut-awutan, dan daster penuh gambar alpukat. Saat menyikat gigi, ia memandangi wajahnya di cermin dan tiba-tiba bayangan semalam menyerbu masuk ke pikirannya. Kilatan lampu kapal pesiar. Alunan musik lembut. Wajah Alister yang temaram di bawah cahaya lilin."Aku mencintaimu, Harika."GUBRAK! Sikat giginya jatuh ke wastafel.Wajah Harika langsung memerah. "Ya Tuhan, dia bilang cinta
Langit malam di atas kapal pesiar Ventura semakin pekat dihiasi bintang-bintang yang malu-malu mengintip dari balik awan. Lampu-lampu kapal memantul di permukaan laut yang tenang, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di meja makan yang terletak di dek belakang kapal, Harika dan Alister duduk berhadapan.Harika tertawa kecil setelah menyesap mocktail-nya. "Kalau tahu bakal makan malam kayak gini, aku nggak bakal pakai sepatu yang bikin kaki lecet."Alister menatapnya, matanya lembut namun tegas. "Harika."Nada suaranya membuat Harika berhenti tertawa. Ia meletakkan gelasnya perlahan, mengangkat wajah dan menatap pria di hadapannya."Ya, Pak?""Anggap saja ini kencan pertama dan terakhir kita."Harika menatapnya berusaha mencari petunjuk bahwa itu hanya lelucon atau kalimat pengantar untuk sesuatu yang manis, tapi tatapan Alister terlalu serius."Mulai besok tidak akan ada lagi hubungan selain antara bos dan sekretaris. Kita harus kembali ke tempat kita semula," lanjut Alister pelan
Malam itu tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Cahaya senja menyapu langit pelabuhan saat Alister melangkah keluar dari mobilnya. Jas hitam pas badan membungkus tubuhnya sempurna, rambutnya tersisir rapi. Matanya menyapu kapal pesiar mewah bernama The Ventura yang bersandar dengan elegan di dermaga.Lampu-lampu keemasan memantul di permukaan air, menciptakan bayangan romantis yang terasa seperti setting sebuah kisah yang salah waktu. Alister naik ke dek kapal dengan langkah pasti. Ia disambut oleh seorang petugas dengan pakaian serba putih."Selamat malam, Tuan Alister. Anda tamu pertama yang datang."Alister hanya mengangguk singkat, matanya menyapu ruangan pesta yang telah dihias dengan nuansa putih dan emas, menandakan kemewahan khas keluarga Ranjaya. Meja-meja panjang dihiasi bunga lili putih, lilin-lilin aromaterapi mengambang di atas mangkuk kaca bening, tapi belum ada tanda-tanda Adeline ataupun para tamu lainnya dan kemudian terdengar langkah kaki. Alister berbalik.Harika
"Harika?"Suara Fenny dari HRD yang sedang berdiri di dejat meja resepsionis terdengar nyaris tak percaya saat gadis ceroboh itu melenggang masuk ke lobby utama dengan rok pensil, sepatu hak tiga senti yang tampaknya baru dibeli semalam dan ekspresi seperti baru menang undian."Selamat pagi dunia yang penuh fitnah dan kemenangan moral!" seru Harika dramatis, menjentikkan rambutnya ke belakang.Beberapa staf berhenti di tengah langkah, menatapnya dengan rasa penasaran dan gumaman pelan. Harika mendekat ke meja resepsionis sambil berbisik, "Eh, tadi malam ada keajaiban. Namaku bersih. Bersih, Fenny. Kaya piring selesai dicuci pake sabun lemon anti-bakteri."Fenny membuka mulut, lalu berkata, "Tapi kamu seharusnya masih....""Diliburkan? Itu seharusnya, tapi entah kenapa tadi pagi aku dapat email langsung dari Pak Direktur Utama. Katanya semua tuduhan dicabut. Nama baik dipulihkan dan aku boleh kembali kerja seperti biasa."Fenny masih bengong saat Harika mengedipkan mata penuh kemenanga
Malam hari di rumah besar keluarga Ardiwijaya, Alister membuka pintu ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk. Tirtakusuma yang sedang membaca koran, mendongak. "Ada apa lagi, Alister?”"Jadi Ayah sengaja menjatuhkan Harika?" tanyanya tanpa basa-basi lagi. Alister belum puas dengan percakapan di telepon tadi sore."Aku melakukan apa yang perlu dilakukan agar kamu tidak menghancurkan masa depanmu sendiri!" bentak Tirtakusuma. "Perempuan itu hanya sekretarismu. Tidak layak jadi istrimu!"Alister menatap ayahnya, rahang mengeras. "Kalau begitu Ayah juga tidak layak mengatur hidupku."Sinar bulan mulai merayap ke dinding kaca yang tinggi, menyisakan bayangan putih pucat yang menari di antara rak-rak buku tua dan figura emas berbingkai lambang keluarga. Tirtakusuma duduk di kursi utama seperti biasa, tegak, dingin, penuh kendali. Di hadapannya, Alister berdiri dengan rahang mengeras dan tangan mengepal."Ayah akan mebersihkan nama Harika," ucap Tirtakusuma mantap, menyandarkan diri ke kursi, lal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments