Stella menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, ia begitu berat untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya. “Aku masih teringat saat kita dulu, saat aku menolakmu. Apakah kamu masih marah padaku karena itu?”
Tristan yang masih fokus mengemudikan mobil, merasakan kebekuan di setiap sudut ruang hatinya. Dia bisa merasakan ketegangan di sepanjang ruang mobil, bahkan tanpa harus menoleh ke arah Stella. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat yang dia inginkan untuk dilupakan, tetapi masih terukir jelas di dalam ingatannya.“Iya, aku masih marah,” jawab Tristan dengan suara yang terdengar rendah, tetapi penuh dengan ketegasan.Stella merasakan getaran kesedihan melintasi dadanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi melihat Tristan masih terbawa oleh kemarahan itu membuatnya merasa hancur. Dia berharap Tristan telah melupakan semuanya, tetapi sepertinya luka itu masih ada di dalam hatinya.“Maafkan akuTristan sedang fokus berolahraga di ruang gym pribadi di rumahnya. Pagi yang cerah memberinya semangat ekstra untuk menjalani latihan rutinnya. Dengan gerakan yang teratur, ia mengangkat beban besi dengan tangannya yang kuat, mengejar keringatnya dengan setiap repetisi.Tiba-tiba, pintu ruang gym terbuka, memotong konsentrasi Tristan. Evan, sahabat lamanya muncul di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya.“Tristan, sudah berapa lama kamu nge-gym? Aku sudah menunggumu dari tadi di luar, tapi kamu tidak kunjung keluar,” tanya Evan sambil memperhatikan sahabatnya yang tengah fokus berolahraga.“Aku akan habiskan hari Minggu untuk berolahraga,” jawab Tristan, masih fokus memainkan alat-alat gym-nya.Evan mengernyitkan kening melihat keputusan sahabatnya itu. ”Oh iya, kemarin aku melihat Weni di salah satu minimarket. Apa dia ada di Jakarta?” tanya Evan, mencoba mengalihkan perhatian dari topik olahraga.“Iya, dia sedang ada di Jakarta,” jawab Tristan sambil mengambil botol minum dan
Pagi ini hari begitu cerah menyambut kedatangan Tristan ketika ia memasuki kantor. Suasana kantor begitu sibuk dengan karyawan yang silih memasuki pintu masuk, membawa tas dan membicarakan rencana kerja mereka untuk hari ini. Terdengar suara ceria dari beberapa karyawan yang saling menyapa sambil berjalan menuju meja kerja masing-masing. Tristan melangkah dengan langkah tegas, ia berusaha fokus pada pekerjaannya hari ini.Namun, kesibukan pagi ini terganggu ketika seorang OB (office boy) yang bergegas dengan membawa seember air tak sengaja menabrak Tristan yang sedang melangkah maju. Air dari ember tersebut tumpah membasahi jas Tristan, membuatnya menjadi marah.“Shit, sialan!” umpat Tristan berang ketika jasnya sudah kotor.“Maaf, Tuan! Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap OB tersebut sambil panik, mencoba membersihkan air yang tumpah dengan tisu yang dibawanya.Tristan menatap OB tersebut dengan tatapan tajam, ekspresinya penuh kemarahan. “Ini jas baruku, bagaimana bisa kau begitu
Hoeek! Hoeek!Stella mencoba menutup mulutnya, ketika semua orang yang ada di ruang rapat melihat ke arahnya.“Maaf semua, saya permisi dulu,” pamit wanita berkulit mulus itu, sambil berlari keluar dari ruang rapat. Semua orang menatap heran kepada Stella, tak biasanya wanita itu mual-mual di tempat kerja.Setelah masuk ke kamar mandi, Stella langsung menuju wastafel. Wajahnya pucat dan terlihat sedikit berkeringat. Dia mencuci mulutnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan rasa mual yang mengganggu. Tetapi, mualnya tidak kunjung hilang.Hoeek! Hoeek!Setelah beberapa saat mencuci muka dan menghirup napas dalam-dalam, Stella menatap tampilan dirinya di cermin. Dia terlihat lelah dan gelisah. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat apa yang telah terjadi beberapa hari belakangan. Stres di tempat kerja, pertemuan dengan Tristan, dan sekarang, mual yang tak kunjung mereda.“Kenapa aku jadi mual-mual seperti ini?” Dia mencoba mengingat apa yang mungkin menjadi penyebab mualnya. Ma
“Apa tidak ada pertanyaan lain yang kamu miliki? Kenapa bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Kenapa bisa kamu mengira bahwa aku sedang hamil?” cecar Stella, sambil menatap kesal Tristan.“Gejala yang kamu miliki memang mirip seperti orang hamil, makanya aku bertanya seperti itu,” imbuh Tristan.Stella terlihat begitu kesal. “Memangnya kamu pikir aku wanita apaan yang bisa langsung hamil?”“Bukannya kamu sudah punya pacar, siapa tahu kamu hamil oleh pacarmu!” sergah Tristan dengan ekspresi yang ikut kesal juga.Bibir Stella terkatup mendengar perkataan Tristan. “Dari mana kamu tahu kalau aku sudah punya pacar? Kalau bicara, jangan ngaco deh!”Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Stella langsung meninggalkan Tristan dan keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya begitu cepat, menunjukkan betapa marahnya dia terhadap pertanyaan yang tidak sepatutnya dari Tristan.Tristan hanya terdiam, merasa menyesal atas kata-katanya yang terl
Tristan langsung meraih tangan Stella dan membawa wanita itu ke dekatnya. “Kalau mau lihat, lihat punyaku saja,” kata Tristan, tiba-tiba lelaki itu menarik tubuh Stella ke arahnya. Dan wajah Stella mendarat tepat di depan dada bidang Tristan yang begitu indah, sampai membuat mata Stella membelalak sempurna.Deg … deg … deg ….Stella terdiam menikmati irama detak jantung Tristan yang berbunyi begitu merdu di telinganya. Kedekatan mereka membuat Stella terdiam, sampai lupa akan segala hal. Wanita itu memandang dengan intensitas yang membuatnya merasakan getaran aneh di dalam dirinya.Stella tak bisa menahan tangannya untuk meraih dada bidang Tristan, ia mengelusnya begitu lembut sampai membuat tubuh Tristan berdesir. Sentuhan lembutnya menyebabkan gemetar tak terelakkan yang melintasi tubuh Tristan.Manik mata Tristan mengikuti dengan penuh perhatian ke arah mana jemari Stella bergerak. Dia merasakan getaran aneh yang melintasi kulitnya saat sentuhan lembut Stella menyentuhnya. Hatinya
Elsa menatap Tristan dan Stella, kebingungan terukir jelas di wajahnya. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kalian berdua ...?”Elsa mengambil tempat duduk di depan kedua orang tersebut, tatapannya bergeser dari Tristan ke Stella, seolah mencari jawaban yang tak terucap. “Beritahu aku, mengapa kalian berdua di sini, di kamar ini?”Stella, dengan garpu masih tergenggam di tangan, memandang Elsa dengan raut tidak senang. “Tidakkah kau lihat? Kami sedang menikmati makan malam,” ujarnya, suara kesalnya beradu dengan gemerisik daun-daun di luar jendela.Elsa mendekat, tekadnya tak tergoyahkan. Wanita itu ingin mencari tahu lebih jauh kedekatan Stella dan Tristan. “Hanya makan malam, begitu? Aku yakin ada yang lebih dari itu,” katanya, menuntut kebenaran yang tersembunyi di balik pertemuan rahasia mereka.Tristan menarik napas dalam, menatap Elsa dengan tatapan yang sulit diartikan. “Elsa, kau tahu kita sudah lama berteman. Tidak ada yang perlu dirahasiakan di antara kita,” katanya dengan sua
Dafina, yang sedang mengikat dasi Tristan, merasa kesal ketika Stella tiba-tiba datang ke ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu. “Bisakah kamu lebih sopan lagi, Stella? Seharusnya kamu mengetuk pintu terlebih dahulu, bukannya langsung masuk saja,” omel Dafina.Stella hanya terdiam. Ia melangkah mundur lagi dan menutup pintu. Lalu, setelah itu, ia mengetuk pintu. Tok! Tok! Tok!Tristan menghela napas, merasa aneh ketika melihat tingkah Stella. “Masuklah, Stella,” titahnya.Setelah Tristan menyuruhnya untuk masuk, Stella pun masuk kembali dengan wajah yang masih tertekuk.Stella memasuki ruangan dengan wajah yang masih menunjukkan rasa tidak nyaman. “Tuan Tristan, saya minta maaf telah mengganggu Anda tadi,” ucapnya dengan suara yang rendah.Tristan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Stella tidak perlu khawatir. “Tidak apa-apa, Stella. Sekarang, apa yang kamu bawa itu?” tanyanya, mengalihkan topik.Dengan semangat yang kembali, Stella menyerahkan surat perjanjian tersebut kepad
“Aduh, pantatku sakit sekali,” rengek Stella sambil menggosok-gosok pantatnya yang kesakitan.Tristan membantu Stella untuk bangkit. “Apa tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah khawatir.“Tidak apa-apa, apanya? Pantatku sakit sekali ...,” rengek Stella lagi. Ekspresi wajahnya berubah ketika ia menyadari bahwa Dafina ada di ruangan tersebut.“Oh, hahaha, tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Saya baik-baik saja kok,” ucap Stella sambil terkekeh. Setelah meyakinkan Tristan bahwa dia baik-baik saja meskipun dengan wajah yang terasa sedikit memerah karena malu, Stella merasa lega ketika Dafina tampaknya tidak mencurigai apa pun. Namun, kejadian tersebut membuatnya semakin ingin segera meninggalkan ruangan.“Tuan, ini tehnya,” kata Dafina sambil melangkah mendekati meja kerja Tristan.“Letakkan saja di meja,” tunjuk Tristan dengan matanya ke arah meja.“Baik, Tuan,” ujar Dafina, wanita yang memiliki lesung pipi itu langsung meletakkan secangkir teh hangat di atas meja kerja Trist