“Iya, Tuan, setelah saya lihat, wanita itu sudah tak sadarkan diri,” ucap sang sopir.
Tristan langsung keluar dari mobil dan mengecek kondisi wanita tersebut. Meskipun hujan turun dengan deras, ia memutuskan untuk tetap memastikan keadaan wanita yang mereka tabrak. Bajunya sudah basah kuyup, namun itu tidak membuat Tristan berpikir dua kali untuk menyelamatkan wanita tersebut.Tristan mencoba untuk mengulurkan tangannya, melihat dengan jelas apakah wanita itu terluka parah atau tidak?Ketika Tristan berhasil menghadapkan wanita itu ke arahnya, sepasang matanya terbelalak sempurna ketika melihat siapa yang ia tabrak.“Stella …!”Tristan menaruh tangannya di leher Stella untuk memeriksa denyut nadinya. “Dia masih bernapas. Stella, bangunlah!” ucap Tristan dengan cemas sambil menepuk pelan tubuh Stella. Kepanikan Tristan semakin memuncak karena Stella masih belum sadar juga. Lelaki yang memiliki mata tajam itu segera mengangkat tubuh Stella dan membawanya masuk ke dalam mobil.“Kita pergi ke rumah sakit sekarang juga!”“Baik, Tuan.” Sang sopir mengiyakan perintah Tristan dan mempercepat laju mobil mereka menuju rumah sakit.Tristan menatap wanita di sebelahnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya basah kuyup. Ia tidak pernah menyangka bahwa kepulangannya ke negara asal akan membuatnya bertemu kembali dengan Stella, wanita yang pernah dicintainya saat duduk di bangku SMA.Tristan masih jelas ingat saat itu bagaimana rasa cintanya ditolak oleh Stella. Meskipun sudah 13 tahun berlalu, bekas luka di hatinya masih terasa hingga kini.Bagaimana tidak sakit hati? Ketika itu, Tristan dan Stella sudah begitu dekat dan Tristan yakin Stella juga mencintainya. Namun, ketika Tristan mengungkapkan perasaannya di halaman sekolah, tepatnya di depan seluruh siswa, Stella malah menolaknya mentah-mentah. Kejadian itu membuat Tristan trauma akan wanita.“Tuan, kita sudah sampai.”Lamunan Tristan terhenti ketika ia mendengar sopirnya berseru. Tanpa ragu, ia membawa Stella yang masih tak sadarkan diri dan membawanya masuk ke rumah sakit.Setelah Tristan meletakan pelan tubuh Stella di atas brankar. Petugas rumah sakit dengan sigap membawa Stella ke ruang gawat darurat. Tristan masih menunggu di luar ruangan, gelisah menunggu keterangan tentang keadaan Stella.Setengah jam berlalu, Tristan akhirnya dapat melihat dokter keluar dari ruangan gawat darurat. Ia segera berlari mendekati dokter dan bertanya tentang kondisi Stella. “Dokter, bagaimana kondisi Stella?” tanyanya cepat.“Jangan khawatir. Tidak ada luka fisik yang kami temukan pada Stella. Tampaknya, dia hanya pingsan karena kelelahan atau mungkin ada faktor lain yang menyebabkannya. Kami akan memberikan perawatan lebih lanjut untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”Tristan merasakan lega mendengar kabar itu, tapi tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatirannya. “Terima kasih, Dokter. Apakah saya bisa melihatnya sebentar?”“Maaf, kami masih perlu melakukan beberapa tes tambahan. Anda bisa menunggu di luar ruangan. Kami akan memberitahu Anda begitu ada perkembangan.”“Baiklah.” Tristan mengangguk paham dan berjalan keluar dari ruangan gawat darurat. Hatinya masih terasa cemas, tetapi setidaknya dia merasa sedikit lega karena Stella sedang dalam perawatan yang baik.***“Tristan, kenapa kamu baru pulang? Di mana kamu menginap semalam?” tanya Imelda dengan cemas.Tristan menghampiri ibunya yang duduk di sofa. “Maaf, Ma, tadi malam ada insiden,” jawab Tristan dengan wajah sedikit terlihat lelah.“Insiden?” Damian yang mendengar suara anaknya, lalu keluar dari kamar dan bergabung di sisi istri dan anaknya.“Iya, Pa. Tadi malam pas Tristan mau pulang tidak sengaja menabrak seseorang,” jelas Tristan.“Lantas, bagaimana dengan orang yang kamu tabrak, apa dia baik-baik saja?” tanya Imelda lagi, kali ini dengan suara yang lebih tenang dan lembut.Tristan menepuk tangan ibunya sambil meyakinkannya. “Mama tenang saja. Kata dokter dia baik-baik saja.”Helaan napas lega terdengar dari Imelda. “Syukurlah, mama begitu khawatir ketika mendengar kamu menabrak seseorang."“Tristan, papa pikir kamu masih lelah. Mungkin sebaiknya kamu mulai bekerja besok saja,” saran Damian.Namun, Tristan menolak saran ayahnya. “Tidak apa-apa, Pa. Ini hari pertama aku bekerja, mungkin akan lebih baik jika aku memperkenalkan diri dulu kepada beberapa karyawan.”Damian mengangguk setuju sambil tersenyum. “Kalau begitu baiklah. Tetapi, kamu harus lebih berhati-hati lagi,” pesan Demian dengan tegas.“Baik, Pa.”“Tristan, Mama begitu senang ketika kamu bilang akan kembali ke Indo. Tapi, Mama dengar, kamu selalu menolak wanita ketika di Prancis, apakah itu benar?” tanya Imelda dengan suara yang cemas.“Ma, Tristan hanya tak ingin mengganggu pekerjaan.” tutur Tristan.“Tapi, mama ingin kamu segera memiliki pacar, atau mungkin langsung menikah.”“Ma ….”“Tristan, Sayang. Ayolah … umurmu sudah 30 tahun. Anak teman-teman mama sudah menikah, bahkan ada di antara mereka yang sudah memiliki cucu. Atau, kamu mau mama kenalkan sama anak temannya mama?” kata Imelda dengan suara yang sedikit memaksa.Tristan mulai merasa sangat tidak suka dengan obrolan ini. Dia tidak ingin memikirkan pacar atau nikah sampai terkait dengan insiden yang telah terjadi dulu.Tristan menghela napas gusar. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 09:15 pagi. “Sudah jam sembilan, Tristan mau siap-siap dulu untuk bekerja,” katanya sambil pergi meninggalkan kedua orang tuanya, lalu pergi ke kamar.“Pa, lihat anakmu! Dia begitu keras kepala, padahal mama hanya ingin melihat Tristan memiliki pasangan.” Imelda berdecak kesal ketika anaknya mengabaikan perkataannya dan langsung masuk ke kamar.Damian mencoba menenangkan istrinya. “Sudahlah, biarkan saja anak kita fokus kerja dulu,” katanya sambil memeluk Imelda.Namun, Imelda tidak bergeming. “Ck, Papa ini. Mama ingin segera menggendong cucu. Atau lebih baik, kita jodohkan saja dia sama anak teman kita?”“Tristan pasti tidak mau, Ma. Mama ini jangan terlalu memaksa dia,” kata Damian dengan suara yang tegas.“Tapi, Pa. Mama tidak ingin anak kita terus saja trauma karena kejadian 13 tahun lalu. Bagaimana kalau anak kita itu mati rasa? Mama tidak bisa membiarkan semua itu.”Imelda masih mengingat jelas ketika putranya ditolak oleh wanita sampai Tristan mengurung dirinya di dalam kamar. Ia tak habis pikir kejadian itu sampai membuat anaknya trauma tentang wanita.Damian menghela napas gusar. “Mama terlalu banyak berpikir,” katanya sambil pergi meninggalkan istrinya sendirian.“Anak sama ayah sama saja, sama-sama tak mengerti perasaan wanita,” gumam Imelda lirih ketika melihat suaminya juga pergi meninggalkannya sendirian. Ia merasa tak ada yang mendengarkan keinginannya untuk segera memiliki cucu.Di sisi lain, Tristan yang ada di dalam kamar merasa sangat kesal dengan terus menerus ditanya tentang pacarnya. Ia selalu mengalihkan pembicaraan, tetapi ibunya tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap kali mereka berbicara, topik tentang pacar itu selalu muncul.Tristan meraih ponselnya dari atas meja nakas, ia segera menghubungi seseorang.“Halo, Tristan. Ada apa?” tanya seseorang di seberang telepon.“Aku butuh bantuanmu.”Mobil Rolls Royce Wraith Black Badge meluncur dengan megah di jalanan yang ramai menuju Wishnutama Corporation. Suara mesin yang halus memecah keheningan pagi, menarik perhatian banyak orang yang melintas di sekitar gedung pencakar langit itu. Di dalam mobil, Tristan duduk dengan tegak, menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Pikirannya sibuk merenungkan tanggung jawab yang akan segera diembannya sebagai pewaris perusahaan besar, Wishnutama Corporation. Hari ini, ia akan memulai perjalanan barunya sebagai CEO di perusahaan ayahnya.Saat mobil mewah itu berhenti, Tristan turun dengan langkah tegas. Sepatu pantofel hitamnya berkilau di bawah sinar matahari pagi, menambah kesan elegan dan berkelas pada penampilannya. Beberapa karyawan yang menyambut kedatangan Tristan memberi hormat, mereka begitu terkesan dengan pimpinan baru mereka.“Selamat pagi, Tuan,” sapa salah seorang karyawan.Tristan hanya mengangguk.“Pagi, Tuan,” sapa karyawan lainnya dengan penuh hormat.“Tuan, hari i
“Tristan, kenapa kamu ada di sini?” Stella bertanya dengan suara yang begitu lirih.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di sini?” Tristan sangat bingung, karena seharusnya Stella masih dirawat di rumah sakit, namun tiba-tiba saja dia muncul di kantornya. Damian yang takut akan kemarahan Tristan, bangkit dari kursinya ketika melihat Stella, sekretarisnya yang baru tiba di kantor. Damian tak ingin Tristan marah karena keterlambatan Stella.“Stella, kamu baru tiba?” Damian bertanya dengan nada suara yang tegas ketika sudah berada di depan Stella.“Oh, iya, Pak Damian. Maaf saya terlambat,” ujar Stella sambil membungkukkan kepalanya menunjukkan rasa permintaan maaf yang tulus.“Kenapa? Apakah jalanan macet lagi?” ledek Damian, karena Stella sering kali terlambat akibat kondisi lalu-lintas.“I-iya, sedikit macet,” jawab Stella sambil tersenyum gugup saat melihat Damian.“Tidak masalah. Rapat baru saja dimulai beberapa menit yang lalu,” Kata Damian dengan santai memberikan
“Apa yang kamu lakukan di meja kerjaku?” Stella terkejut ketika melihat Dafina, sekretaris Tristan, sedang duduk di meja kerjanya. Stella merasa kesal karena ini adalah meja kerjanya dan tidak ada yang berhak menggunakannya selain dirinya sendiri. Dia langsung meminta Dafina untuk pergi dari meja kerjanya.“Tolong pergi dari meja ini, ini adalah meja kerjaku!” kata Stella dengan tegas.Namun, Dafina mengabaikan permintaan Stella dan berkata, “Tapi sekarang, aku yang menempati meja ini. Kamu tidak lagi dibutuhkan di perusahaan ini karena posisimu telah digantikan olehku.”Stella menjadi semakin kesal dengan ucapan Dafina. “Ini tidak benar! Aku masih menjadi bagian dari perusahaan ini dan aku masih membutuhkan meja kerjaku!” balas Stella.Dafina berdecak kesal, ia melempar dokumen yang ia pegang ke atas meja, sambil berdiri, wanita itu berkata, “Stella, faktanya bahwa Pak Damian sudah tidak bekerja lagi di sini. Dan sudah jelas bahwa kamu sudah tidak memegang posisi di perusahaan ini la
Stella dan sahabatnya, Elsa, sedang duduk di ruang tamu kontrakan mereka. Stella terlihat terus-menerus melamun, membuat Elsa bingung dan mencoba mencari tahu apa yang sedang membuat sahabatnya itu sedih.“Kenapa kamu terus melamun? Apa kamu masih memikirkan Ramon?” tanya Elsa penasaran. Elsa merasa kesal ketika Stella memberitahunya bahwa Ramon telah berselingkuh dan telah membuat sahabatnya itu kecewa.Stella menjawab dengan tegas, “Aku tidak lagi memikirkannya.” Elsa kemudian bertanya lagi, mencoba menggali penyebab lamunan Stella. “Lalu karena apa?”“Ini karena pengganti Pak Damian,” jelas Stella sambil menghela napas. Elsa memperlihatkan raut wajah heran. “Kenapa? Apa dia orangnya galak?”“Lebih dari itu,” jawab Stella dengan nada serius. “Kamu pasti tidak akan percaya siapa dia,” tambahnya, membuat Elsa semakin penasaran.“Siapa memangnya?”“Tristan,” ungkap Stella sambil memainkan ponselnya.“Tristan...?” Elsa berhenti sejenak, mencoba mengingat. “Dia pernah satu SMA dengan
Tristan, seorang pria yang selalu terlihat sibuk dengan pekerjaannya, duduk di mejanya dengan tumpukan dokumen yang tersebar di hadapannya. Matanya terfokus pada setiap detail yang tertera di lembaran-lembaran kertas tersebut, sementara pikirannya sibuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam menjalani hari yang padat.Namun, perhatiannya terganggu oleh keberadaan Stella, seorang wanita cantik yang masih berada di ruangannya. Dengan pakaian kemeja pink yang menambah kesan manis pada penampilannya, Stella tampak tenggelam dalam lamunan sendiri. Tristan tidak bisa menahan kebingungannya. “Kenapa kamu masih ada di sini? Apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain?” tanyanya, mencoba memahami alasan keberadaan Stella yang terus berada di ruangannya.“Oh, baiklah.” Stella tersentak dari lamunannya dan segera berbalik untuk menuju pintu, seperti tersadar bahwa keberadaannya di sana tidak diinginkan. Namun, sepasang kakinya berhenti melangkah ketika Tristan menghentikannya dan berseru,
Ping! Pesan masuk dari Tristan: “Stella, bisa kita bicara sebentar setelah rapat hari ini?”Ping! Belum juga Stella membalas, pesan dari Tristan masuk lagi. “Nanti malam jam 08:00 di First Love Cafe,” bunyi pesan dari Tristan.Stella hampir tidak percaya pada apa yang dibacanya. “Seriusan? Aku tidak lagi bermimpi, ‘kan?” gumamnya dengan gugup sambil menepuk wajah. Ia segera melirik ke arah ruang kerja Tristan, namun pintunya tertutup rapat. Stella merasa gelisah. Dia ingin memastikan apakah itu benar-benar Tristan yang mengirimkan pesan tersebut.“Kenapa dia ingin bertemu denganku? Dan mengajakku bertemu di cafe?” gumam Stella yang merasa bingung. Untuk apa lelaki itu mengiriminya pesan dan meminta untuk bertemu? Stella duduk di depan meja kerjanya, matanya menatap kosong ke arah monitor komputernya. Namun, pikirannya sudah jauh terlempar ke masa lalu, saat ia masih SMA dan dekat dengan seorang laki-laki bernama Tristan.Tristan adalah sosok yang cerdas, berbakat dan sangat populer
Tetapi ketika melihat siluet Tristan di ujung cafe, Stella meremas gaunnya dengan gemetar saat menyadari bahwa Tristan duduk di meja yang sama dengan Dafina.“Apa yang terjadi? Mengapa dia melakukan ini?” gumamnya lirih dalam kebingungan.Stella tak menyangka Tristan akan membodohinya seperti ini. Wanita itu berharap bahwa undangan makan malam Tristan hanya untuk dirinya saja, tanpa ada orang lain. Tetapi kenyataannya, Tristan malah mengajak Dafina, sekretarisnya yang lain.“Stella!” seru Dafina ketika melihat Stella memasuki cafe.Tristan, yang menyadari kehadiran Stella, ikut memalingkan pandangannya ke arah gadis cantik itu. Tidak bisa dipungkiri, Stella tampak begitu cantik malam ini dengan gaun biru tua yang dipilihnya, ditambah dengan rambutnya yang digerai dengan indah, membuat Tristan sulit untuk tidak memperhatikannya.Stella meremas gaunnya erat, meskipun dadanya terasa sesak. Dia mencoba untuk tersenyum dan mendekati meja Tristan dan Dafina.“Kamu juga di sini?” tanya Dafin
Tristan, lelaki tampan bertubuh atlentis dengan berahang kokoh, yang memiliki hidung mancung, dan mata tajam seperti burung elang sedang berenang di kolam renang. Di siang yang cerah itu, kolam renang tampak sepi dan tenang, hanya ada bunyi gemericik air yang bergerak pelan. Tristan memasuki kolam renang dengan tenang dan meluncur dari pinggiran kolam.Ketika ia mulai berenang, air kolam bergolak dan berombak karena gerakan lengan dan kaki Tristan yang kuat. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia bergerak maju dan meluncur ke bawah air, menggunakan tekniknya untuk mengeksplor kedalaman kolam renang.Sedangkan di tepi kolam, Evan duduk tenang di kursi panjang, mengamati gerakan Tristan.Evan melihat Tristan yang masih terus berenang di dalam kolam renang. Ia memperhatikan langit yang tadinya cerah berwarna biru sudah mulai berubah menjadi jingga, menandakan waktu siang akan berganti malam, namun Tristan masih tampak betah berenang.“Tristan, berapa lama kamu masih akan berenang?” tanya E