Share

Bab 2. Desakan Imelda

“Iya, Tuan, setelah saya lihat, wanita itu sudah tak sadarkan diri,” ucap sang sopir.

Tristan langsung keluar dari mobil dan mengecek kondisi wanita tersebut. Meskipun hujan turun dengan deras, ia memutuskan untuk tetap memastikan keadaan wanita yang mereka tabrak. Bajunya sudah basah kuyup, namun itu tidak membuat Tristan berpikir dua kali untuk menyelamatkan wanita tersebut.

Tristan mencoba untuk mengulurkan tangannya, melihat dengan jelas apakah wanita itu terluka parah atau tidak?

Ketika Tristan berhasil menghadapkan wanita itu ke arahnya, sepasang matanya terbelalak sempurna ketika melihat siapa yang ia tabrak.

“Stella …!”

Tristan menaruh tangannya di leher Stella untuk memeriksa denyut nadinya. “Dia masih bernapas. Stella, bangunlah!” ucap Tristan dengan cemas sambil menepuk pelan tubuh Stella. Kepanikan Tristan semakin memuncak karena Stella masih belum sadar juga. Lelaki yang memiliki mata tajam itu segera mengangkat tubuh Stella dan membawanya masuk ke dalam mobil.

“Kita pergi ke rumah sakit sekarang juga!”

“Baik, Tuan.” Sang sopir mengiyakan perintah Tristan dan mempercepat laju mobil mereka menuju rumah sakit.

Tristan menatap wanita di sebelahnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya basah kuyup. Ia tidak pernah menyangka bahwa kepulangannya ke negara asal akan membuatnya bertemu kembali dengan Stella, wanita yang pernah dicintainya saat duduk di bangku SMA.

Tristan masih jelas ingat saat itu bagaimana rasa cintanya ditolak oleh Stella. Meskipun sudah 13 tahun berlalu, bekas luka di hatinya masih terasa hingga kini.

Bagaimana tidak sakit hati? Ketika itu, Tristan dan Stella sudah begitu dekat dan Tristan yakin Stella juga mencintainya. Namun, ketika Tristan mengungkapkan perasaannya di halaman sekolah, tepatnya di depan seluruh siswa, Stella malah menolaknya mentah-mentah. Kejadian itu membuat Tristan trauma akan wanita.

“Tuan, kita sudah sampai.”

Lamunan Tristan terhenti ketika ia mendengar sopirnya berseru. Tanpa ragu, ia membawa Stella yang masih tak sadarkan diri dan membawanya masuk ke rumah sakit.

Setelah Tristan meletakan pelan tubuh Stella di atas brankar. Petugas rumah sakit dengan sigap membawa Stella ke ruang gawat darurat. Tristan masih menunggu di luar ruangan, gelisah menunggu keterangan tentang keadaan Stella.

Setengah jam berlalu, Tristan akhirnya dapat melihat dokter keluar dari ruangan gawat darurat. Ia segera berlari mendekati dokter dan bertanya tentang kondisi Stella. “Dokter, bagaimana kondisi Stella?” tanyanya cepat.

“Jangan khawatir. Tidak ada luka fisik yang kami temukan pada Stella. Tampaknya, dia hanya pingsan karena kelelahan atau mungkin ada faktor lain yang menyebabkannya. Kami akan memberikan perawatan lebih lanjut untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”

Tristan merasakan lega mendengar kabar itu, tapi tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatirannya. “Terima kasih, Dokter. Apakah saya bisa melihatnya sebentar?”

“Maaf, kami masih perlu melakukan beberapa tes tambahan. Anda bisa menunggu di luar ruangan. Kami akan memberitahu Anda begitu ada perkembangan.”

“Baiklah.” Tristan mengangguk paham dan berjalan keluar dari ruangan gawat darurat. Hatinya masih terasa cemas, tetapi setidaknya dia merasa sedikit lega karena Stella sedang dalam perawatan yang baik.

***

“Tristan, kenapa kamu baru pulang? Di mana kamu menginap semalam?” tanya Imelda dengan cemas.

Tristan menghampiri ibunya yang duduk di sofa. “Maaf, Ma, tadi malam ada insiden,” jawab Tristan dengan wajah sedikit terlihat lelah.

“Insiden?” Damian yang mendengar suara anaknya, lalu keluar dari kamar dan bergabung di sisi istri dan anaknya.

“Iya, Pa. Tadi malam pas Tristan mau pulang tidak sengaja menabrak seseorang,” jelas Tristan.

“Lantas, bagaimana dengan orang yang kamu tabrak, apa dia baik-baik saja?” tanya Imelda lagi, kali ini dengan suara yang lebih tenang dan lembut.

Tristan menepuk tangan ibunya sambil meyakinkannya. “Mama tenang saja. Kata dokter dia baik-baik saja.”

Helaan napas lega terdengar dari Imelda. “Syukurlah, mama begitu khawatir ketika mendengar kamu menabrak seseorang."

“Tristan, papa pikir kamu masih lelah. Mungkin sebaiknya kamu mulai bekerja besok saja,” saran Damian.

Namun, Tristan menolak saran ayahnya. “Tidak apa-apa, Pa. Ini hari pertama aku bekerja, mungkin akan lebih baik jika aku memperkenalkan diri dulu kepada beberapa karyawan.”

Damian mengangguk setuju sambil tersenyum. “Kalau begitu baiklah. Tetapi, kamu harus lebih berhati-hati lagi,” pesan Demian dengan tegas.

“Baik, Pa.”

“Tristan, Mama begitu senang ketika kamu bilang akan kembali ke Indo. Tapi, Mama dengar, kamu selalu menolak wanita ketika di Prancis, apakah itu benar?” tanya Imelda dengan suara yang cemas.

“Ma, Tristan hanya tak ingin mengganggu pekerjaan.” tutur Tristan.

“Tapi, mama ingin kamu segera memiliki pacar, atau mungkin langsung menikah.”

“Ma ….”

“Tristan, Sayang. Ayolah … umurmu sudah 30 tahun. Anak teman-teman mama sudah menikah, bahkan ada di antara mereka yang sudah memiliki cucu. Atau, kamu mau mama kenalkan sama anak temannya mama?” kata Imelda dengan suara yang sedikit memaksa.

Tristan mulai merasa sangat tidak suka dengan obrolan ini. Dia tidak ingin memikirkan pacar atau nikah sampai terkait dengan insiden yang telah terjadi dulu.

Tristan menghela napas gusar. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 09:15 pagi. “Sudah jam sembilan, Tristan mau siap-siap dulu untuk bekerja,” katanya sambil pergi meninggalkan kedua orang tuanya, lalu pergi ke kamar.

“Pa, lihat anakmu! Dia begitu keras kepala, padahal mama hanya ingin melihat Tristan memiliki pasangan.” Imelda berdecak kesal ketika anaknya mengabaikan perkataannya dan langsung masuk ke kamar.

Damian mencoba menenangkan istrinya. “Sudahlah, biarkan saja anak kita fokus kerja dulu,” katanya sambil memeluk Imelda.

Namun, Imelda tidak bergeming. “Ck, Papa ini. Mama ingin segera menggendong cucu. Atau lebih baik, kita jodohkan saja dia sama anak teman kita?”

“Tristan pasti tidak mau, Ma. Mama ini jangan terlalu memaksa dia,” kata Damian dengan suara yang tegas.

“Tapi, Pa. Mama tidak ingin anak kita terus saja trauma karena kejadian 13 tahun lalu. Bagaimana kalau anak kita itu mati rasa? Mama tidak bisa membiarkan semua itu.”

Imelda masih mengingat jelas ketika putranya ditolak oleh wanita sampai Tristan mengurung dirinya di dalam kamar. Ia tak habis pikir kejadian itu sampai membuat anaknya trauma tentang wanita.

Damian menghela napas gusar. “Mama terlalu banyak berpikir,” katanya sambil pergi meninggalkan istrinya sendirian.

“Anak sama ayah sama saja, sama-sama tak mengerti perasaan wanita,” gumam Imelda lirih ketika melihat suaminya juga pergi meninggalkannya sendirian. Ia merasa tak ada yang mendengarkan keinginannya untuk segera memiliki cucu.

Di sisi lain, Tristan yang ada di dalam kamar merasa sangat kesal dengan terus menerus ditanya tentang pacarnya. Ia selalu mengalihkan pembicaraan, tetapi ibunya tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap kali mereka berbicara, topik tentang pacar itu selalu muncul.

Tristan meraih ponselnya dari atas meja nakas, ia segera menghubungi seseorang.

“Halo, Tristan. Ada apa?” tanya seseorang di seberang telepon.

“Aku butuh bantuanmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status