Beranda / Romansa / Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan / Bab 3. Bertemu dengan Masa Lalu

Share

Bab 3. Bertemu dengan Masa Lalu

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-06 21:28:44

Mobil Rolls Royce Wraith Black Badge meluncur dengan megah di jalanan yang ramai menuju Wishnutama Corporation. Suara mesin yang halus memecah keheningan pagi, menarik perhatian banyak orang yang melintas di sekitar gedung pencakar langit itu.

Di dalam mobil, Tristan duduk dengan tegak, menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Pikirannya sibuk merenungkan tanggung jawab yang akan segera diembannya sebagai pewaris perusahaan besar, Wishnutama Corporation. Hari ini, ia akan memulai perjalanan barunya sebagai CEO di perusahaan ayahnya.

Saat mobil mewah itu berhenti, Tristan turun dengan langkah tegas. Sepatu pantofel hitamnya berkilau di bawah sinar matahari pagi, menambah kesan elegan dan berkelas pada penampilannya. Beberapa karyawan yang menyambut kedatangan Tristan memberi hormat, mereka begitu terkesan dengan pimpinan baru mereka.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa salah seorang karyawan.

Tristan hanya mengangguk.

“Pagi, Tuan,” sapa karyawan lainnya dengan penuh hormat.

“Tuan, hari ini ada rapat evaluasi perusahaan pukul 10 pagi,” terang Dafina, sekretaris Tristan.

Tristan mengangguk mengerti. “Baiklah, semua karyawan," ucap Tristan tegas saat melihat ke sekeliling ruangan. "Saya ingin rapat evaluasi perusahaan di ruang pertemuan utama. Segera!"

Para karyawan kalang kabut menyambut perintah mendadak itu, bergerak dengan cepat untuk mengumpulkan dokumen dan berjalan menuju ruang rapat. Mereka mendengar bahwa Tristan adalah pemimpin yang tegas dan tidak akan ragu-ragu untuk menegur mereka jika pekerjaan mereka tidak memenuhi standar yang ditetapkan.

Saat para karyawan berkumpul di ruang rapat, Tristan duduk di ujung meja dengan sikap yang tegap dan tegas. Dia memandang setiap wajah di ruangan itu dengan mata yang tajam, membuat mereka merasa tegang dan tidak nyaman.

“Baiklah, mari kita mulai rapat evaluasi ini. Saya ingin memastikan bahwa perusahaan kita tetap berjalan efektif dan efisien,” ujarnya.

Para karyawan mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa Tristan memang seorang pemimpin yang sangat serius dalam menjalankan tugasnya. Mereka siap mendengarkan arahan dan perintahnya untuk memastikan perusahaan terus memberikan hasil terbaik.

“Saat ini, saya ingin kalian semua memberikan pengarahan pada bidang kerja masing-masing. Saya ingin mendapatkan laporan terkait kinerja setiap unit, termasuk kelemahan dan kekuatannya,” ucap Tristan tegas.

Para karyawan menyimak dengan seksama, seolah-olah memahami bahwa Tristan tak main-main dalam menangani perusahaan. Mereka dengan cepat mempersiapkan laporan masing-masing, menunjukkan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota perusahaan.

Namun, ketika laporan keuangan diserahkan kepada Tristan, ia merasa tidak puas. Tristan melempar dokumen tersebut ke atas meja dengan ekspresi yang kesal.

“Laporan macam apa ini? Siapa yang mengurus laporan keuangan?” tanya Tristan dengan suara yang meninggi.

Para karyawan menjadi cemas dan merasa bersalah karena laporan keuangan belum memenuhi harapan Tristan.

“Maafkan kami, Tuan. Kami akan segera memperbaikinya,” ujar salah satu karyawan dengan ekspresi meredakan situasi yang tegang tersebut.

Tristan menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan kinerja karyawan dalam mengurus laporan keuangan. Ia merasa tidak puas dengan kinerja mereka dan merasa perlu memberikan kritik yang produktif.

“Saya sangat kecewa dengan laporan keuangan dari divisi kalian. Seharusnya kalian lebih memperhatikan detail kecil dalam melaporkan keuangan kita. Ini sangat penting bagi perusahaan,” ujar Tristan dengan wajah yang serius.

Para karyawan merasa sedih dan terpukul dengan kritik yang diberikan Tristan. Mereka merasa menyesal karena telah membuat kesalahan dalam laporan keuangan dan merasa tidak ingin mengecewakan Tristan lagi.

***

Stella mengerjapkan matanya ketika hangatnya sinar matahari mulai mengganggu tidurnya. Setelah sadar, ia melihat ruangan yang sangat asing dan menyadari dirinya sedang berada di rumah sakit.

Wanita itu mulai mengingat kejadian semalam, bagaimana Ramon, mantan kekasihnya telah mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan wanita lain, bagaimana kakinya tersandung batu, lalu terjatuh ke lumpur, dan bagaimana ia hampir ditabrak mobil. Namun, dia lupa dengan apa yang terjadi setelahnya.

“Apakah aku sudah mati?” pikir Stella sambil memeriksa tubuhnya dan tidak menemukan luka sedikit pun.

Tiba-tiba, seorang pria masuk ke ruangan dan mengucapkan, “Kamu sudah bangun?” ujarnya sambil membawa beberapa makanan.

“Kamu …?” gumam Stella dengan ragu.

"Aku Evan, apa kamu tidak mengingatku?" jelas pria tersebut.

"Aku … lupa-lupa ingat. Kamu Evan yang selalu mengejekku dulu?" tanya Stella mencoba mengingat kembali.

"Iya, Stella Ruangan," sindir Evan sambil tersenyum mengenang masa lalu.

“Kamu!” Stella begitu kesal, kenapa ia harus bertemu dengan orang seperti Evan, lelaki yang selalu meledeknya.

“Tunggu! Sekarang bulan apa?” tanya Stella ketika ia mengingat sesuatu.

“Bulan Maret. Kenapa memangnya?”

“Tanggal?”

“Tanggal 19, tepatnya hari Selasa,” jawab Evan.

“Jam?”

Evan melirik ke arah jam tangannya, menemukan jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Jam 9 lebih 45 menit,” terangnya.

“Ya Tuhan, aku sudah telat.”

“Telat? Telat berapa minggu? Apa kamu perlu beli test pack?” Evan panik mendengarnya.

Stella menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Jangan sembarangan! Aku belum pernah tidur dengan lelaki manapun, mana bisa aku hamil.”

Evan merasa lega mendengarnya. “Oh, syukurlah. Aku pikir kamu benar-benar telat datang bulan.”

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Stella memutuskan untuk pulang. “Aku harus pergi sekarang.”

“Ke mana?”

“Kerja,” kata Stella sambil berjalan menuju pintu.

“Kamu baru sembuh dari demam, apakah kamu yakin ingin pergi bekerja?” Evan mengkhawatirkan Stella.

Stella berbalik dan menatap Evan dengan tajam. “Ya, aku sudah sembuh. Aku harus pergi, pekerjaanku sudah menunggu.”

“Baiklah, aku akan menemanimu ke tempat kerjamu. Kita perlu pergi sekarang jika kamu tidak ingin terlambat,” kata Evan pada Stella, mencoba meningkatkan semangat hati temannya.

Setelah 15 menit berlalu, mobil Evan berhenti tepat di depan pintu kontrakan Stella. Tanpa membuang waktu, Stella keluar dari mobil dan melangkah cepat masuk ke dalam kontrakannya dengan cemas. “Oh Tuhan, kenapa aku bisa terlambat? Pak Damian pasti akan marah padaku,” keluhnya sambil memperbaiki kemejanya yang lusuh.

Stella lalu berlari-lari ke sana kemari di kamar kontrakan untuk mencari semua barang yang harus dibawa ke kantor. Ia hanya asal mengikat rambutnya dan mengambil sepatu hak tinggi hitam sebelum berlari ke luar untuk mengejar mobil Evan.

Evan mengerutkan kening ketika melihat Stella yang sama sekali belum siap. “Kamu serius akan bekerja dengan penampilan seperti itu?”

“Tenang, aku akan merapikan diri di dalam mobil. Sudah, sekarang cepat jalan!” kata Stella sambil berlari ke bangku depan untuk menata tampilannya.

“Baiklah.” Evan pun langsung menyalakan mesin mobilnya, sedangkan Stella mengeluarkan beberapa makeup-nya yang ada di tas. Wanita itu mulai merapikan tampilannya dan menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya, meskipun ia belum sempat mandi, tapi setidaknya tubuhnya tidak bau.

Sesampainya di kantor, Stella keluar dari mobil dan segera berlari masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Evan.

“Hai, Stella Ruangan! Ucapkan makasih kek, malah pergi nyelonong saja!” umpat Evan kesal ketika Stella langsung pergi begitu saja dari hadapannya.

Stella berlari memasuki tempat kerjanya dengan napas yang terengah-engah.

“Stella, kamu baru masuk? Pak Damian dari tadi mencarimu,” kata Maya ketika melihat sahabatnya itu baru masuk kerja.

“I-iya, di mana Pak Damian?” tanya Stella buru-buru.

“Ada di ruang rapat,” jawab Maya, Stella pun langsung berlari untuk menuju ruang rapat.

“Stella, lebih baik kamu jangan pergi ke ruang rapat!” teriak Maya ketika sahabatnya sudah berlari jauh dari hadapannya.

“Gawat, bisa-bisa Stella dimarahi habis-habisan,” gumam Maya lirih.

Sesampainya di depan pintu ruang rapat, Stella langsung membuka pintu dengan sedikit berlari. Semua orang menatap ke arah pintu, mereka terkejut ketika Stella baru datang. Apalagi dengan Tristan, ia lebih terkejut ketika melihat Stella yang ada di sana.

“Maaf semuanya, saya terlambat,” kata Stella dengan suara lirih, sambil menundukkan kepalanya.

Huft!

Stella mencoba mengatur napasnya. Namun, ketika ia mengangkat kepala, matanya langsung bertemu dengan Tristan yang berdiri tepat di depannya. Stella merasa jantungnya berhenti berdetak dalam sekejap. Tristan, pria yang pernah dekat dengan dirinya dulu, kini berdiri di depannya.

“Tristan …,” gumamnya lirih, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 102. Honeymoon

    Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 101. Hot Night

    "Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 100. Hari Bahagia

    Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 99. Will You Marry Me?

    "Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 98. Kejutan

    "Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 97. Desakkan Safira

    "Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 96. Kabar Dari Elsa

    Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 95. Rencana Safira

    Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid

  • Sekretaris Kesayangan Tuan Tristan   Bab 94. Kembali ke Kampung

    Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status