Share

Bab 3. Bertemu dengan Masa Lalu

Mobil Rolls Royce Wraith Black Badge meluncur dengan megah di jalanan yang ramai menuju Wishnutama Corporation. Suara mesin yang halus memecah keheningan pagi, menarik perhatian banyak orang yang melintas di sekitar gedung pencakar langit itu.

Di dalam mobil, Tristan duduk dengan tegak, menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Pikirannya sibuk merenungkan tanggung jawab yang akan segera diembannya sebagai pewaris perusahaan besar, Wishnutama Corporation. Hari ini, ia akan memulai perjalanan barunya sebagai CEO di perusahaan ayahnya.

Saat mobil mewah itu berhenti, Tristan turun dengan langkah tegas. Sepatu pantofel hitamnya berkilau di bawah sinar matahari pagi, menambah kesan elegan dan berkelas pada penampilannya. Beberapa karyawan yang menyambut kedatangan Tristan memberi hormat, mereka begitu terkesan dengan pimpinan baru mereka.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa salah seorang karyawan.

Tristan hanya mengangguk.

“Pagi, Tuan,” sapa karyawan lainnya dengan penuh hormat.

“Tuan, hari ini ada rapat evaluasi perusahaan pukul 10 pagi,” terang Dafina, sekretaris Tristan.

Tristan mengangguk mengerti. “Baiklah, semua karyawan," ucap Tristan tegas saat melihat ke sekeliling ruangan. "Saya ingin rapat evaluasi perusahaan di ruang pertemuan utama. Segera!"

Para karyawan kalang kabut menyambut perintah mendadak itu, bergerak dengan cepat untuk mengumpulkan dokumen dan berjalan menuju ruang rapat. Mereka mendengar bahwa Tristan adalah pemimpin yang tegas dan tidak akan ragu-ragu untuk menegur mereka jika pekerjaan mereka tidak memenuhi standar yang ditetapkan.

Saat para karyawan berkumpul di ruang rapat, Tristan duduk di ujung meja dengan sikap yang tegap dan tegas. Dia memandang setiap wajah di ruangan itu dengan mata yang tajam, membuat mereka merasa tegang dan tidak nyaman.

“Baiklah, mari kita mulai rapat evaluasi ini. Saya ingin memastikan bahwa perusahaan kita tetap berjalan efektif dan efisien,” ujarnya.

Para karyawan mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa Tristan memang seorang pemimpin yang sangat serius dalam menjalankan tugasnya. Mereka siap mendengarkan arahan dan perintahnya untuk memastikan perusahaan terus memberikan hasil terbaik.

“Saat ini, saya ingin kalian semua memberikan pengarahan pada bidang kerja masing-masing. Saya ingin mendapatkan laporan terkait kinerja setiap unit, termasuk kelemahan dan kekuatannya,” ucap Tristan tegas.

Para karyawan menyimak dengan seksama, seolah-olah memahami bahwa Tristan tak main-main dalam menangani perusahaan. Mereka dengan cepat mempersiapkan laporan masing-masing, menunjukkan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota perusahaan.

Namun, ketika laporan keuangan diserahkan kepada Tristan, ia merasa tidak puas. Tristan melempar dokumen tersebut ke atas meja dengan ekspresi yang kesal.

“Laporan macam apa ini? Siapa yang mengurus laporan keuangan?” tanya Tristan dengan suara yang meninggi.

Para karyawan menjadi cemas dan merasa bersalah karena laporan keuangan belum memenuhi harapan Tristan.

“Maafkan kami, Tuan. Kami akan segera memperbaikinya,” ujar salah satu karyawan dengan ekspresi meredakan situasi yang tegang tersebut.

Tristan menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan kinerja karyawan dalam mengurus laporan keuangan. Ia merasa tidak puas dengan kinerja mereka dan merasa perlu memberikan kritik yang produktif.

“Saya sangat kecewa dengan laporan keuangan dari divisi kalian. Seharusnya kalian lebih memperhatikan detail kecil dalam melaporkan keuangan kita. Ini sangat penting bagi perusahaan,” ujar Tristan dengan wajah yang serius.

Para karyawan merasa sedih dan terpukul dengan kritik yang diberikan Tristan. Mereka merasa menyesal karena telah membuat kesalahan dalam laporan keuangan dan merasa tidak ingin mengecewakan Tristan lagi.

***

Stella mengerjapkan matanya ketika hangatnya sinar matahari mulai mengganggu tidurnya. Setelah sadar, ia melihat ruangan yang sangat asing dan menyadari dirinya sedang berada di rumah sakit.

Wanita itu mulai mengingat kejadian semalam, bagaimana Ramon, mantan kekasihnya telah mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan wanita lain, bagaimana kakinya tersandung batu, lalu terjatuh ke lumpur, dan bagaimana ia hampir ditabrak mobil. Namun, dia lupa dengan apa yang terjadi setelahnya.

“Apakah aku sudah mati?” pikir Stella sambil memeriksa tubuhnya dan tidak menemukan luka sedikit pun.

Tiba-tiba, seorang pria masuk ke ruangan dan mengucapkan, “Kamu sudah bangun?” ujarnya sambil membawa beberapa makanan.

“Kamu …?” gumam Stella dengan ragu.

"Aku Evan, apa kamu tidak mengingatku?" jelas pria tersebut.

"Aku … lupa-lupa ingat. Kamu Evan yang selalu mengejekku dulu?" tanya Stella mencoba mengingat kembali.

"Iya, Stella Ruangan," sindir Evan sambil tersenyum mengenang masa lalu.

“Kamu!” Stella begitu kesal, kenapa ia harus bertemu dengan orang seperti Evan, lelaki yang selalu meledeknya.

“Tunggu! Sekarang bulan apa?” tanya Stella ketika ia mengingat sesuatu.

“Bulan Maret. Kenapa memangnya?”

“Tanggal?”

“Tanggal 19, tepatnya hari Selasa,” jawab Evan.

“Jam?”

Evan melirik ke arah jam tangannya, menemukan jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Jam 9 lebih 45 menit,” terangnya.

“Ya Tuhan, aku sudah telat.”

“Telat? Telat berapa minggu? Apa kamu perlu beli test pack?” Evan panik mendengarnya.

Stella menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Jangan sembarangan! Aku belum pernah tidur dengan lelaki manapun, mana bisa aku hamil.”

Evan merasa lega mendengarnya. “Oh, syukurlah. Aku pikir kamu benar-benar telat datang bulan.”

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Stella memutuskan untuk pulang. “Aku harus pergi sekarang.”

“Ke mana?”

“Kerja,” kata Stella sambil berjalan menuju pintu.

“Kamu baru sembuh dari demam, apakah kamu yakin ingin pergi bekerja?” Evan mengkhawatirkan Stella.

Stella berbalik dan menatap Evan dengan tajam. “Ya, aku sudah sembuh. Aku harus pergi, pekerjaanku sudah menunggu.”

“Baiklah, aku akan menemanimu ke tempat kerjamu. Kita perlu pergi sekarang jika kamu tidak ingin terlambat,” kata Evan pada Stella, mencoba meningkatkan semangat hati temannya.

Setelah 15 menit berlalu, mobil Evan berhenti tepat di depan pintu kontrakan Stella. Tanpa membuang waktu, Stella keluar dari mobil dan melangkah cepat masuk ke dalam kontrakannya dengan cemas. “Oh Tuhan, kenapa aku bisa terlambat? Pak Damian pasti akan marah padaku,” keluhnya sambil memperbaiki kemejanya yang lusuh.

Stella lalu berlari-lari ke sana kemari di kamar kontrakan untuk mencari semua barang yang harus dibawa ke kantor. Ia hanya asal mengikat rambutnya dan mengambil sepatu hak tinggi hitam sebelum berlari ke luar untuk mengejar mobil Evan.

Evan mengerutkan kening ketika melihat Stella yang sama sekali belum siap. “Kamu serius akan bekerja dengan penampilan seperti itu?”

“Tenang, aku akan merapikan diri di dalam mobil. Sudah, sekarang cepat jalan!” kata Stella sambil berlari ke bangku depan untuk menata tampilannya.

“Baiklah.” Evan pun langsung menyalakan mesin mobilnya, sedangkan Stella mengeluarkan beberapa makeup-nya yang ada di tas. Wanita itu mulai merapikan tampilannya dan menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya, meskipun ia belum sempat mandi, tapi setidaknya tubuhnya tidak bau.

Sesampainya di kantor, Stella keluar dari mobil dan segera berlari masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Evan.

“Hai, Stella Ruangan! Ucapkan makasih kek, malah pergi nyelonong saja!” umpat Evan kesal ketika Stella langsung pergi begitu saja dari hadapannya.

Stella berlari memasuki tempat kerjanya dengan napas yang terengah-engah.

“Stella, kamu baru masuk? Pak Damian dari tadi mencarimu,” kata Maya ketika melihat sahabatnya itu baru masuk kerja.

“I-iya, di mana Pak Damian?” tanya Stella buru-buru.

“Ada di ruang rapat,” jawab Maya, Stella pun langsung berlari untuk menuju ruang rapat.

“Stella, lebih baik kamu jangan pergi ke ruang rapat!” teriak Maya ketika sahabatnya sudah berlari jauh dari hadapannya.

“Gawat, bisa-bisa Stella dimarahi habis-habisan,” gumam Maya lirih.

Sesampainya di depan pintu ruang rapat, Stella langsung membuka pintu dengan sedikit berlari. Semua orang menatap ke arah pintu, mereka terkejut ketika Stella baru datang. Apalagi dengan Tristan, ia lebih terkejut ketika melihat Stella yang ada di sana.

“Maaf semuanya, saya terlambat,” kata Stella dengan suara lirih, sambil menundukkan kepalanya.

Huft!

Stella mencoba mengatur napasnya. Namun, ketika ia mengangkat kepala, matanya langsung bertemu dengan Tristan yang berdiri tepat di depannya. Stella merasa jantungnya berhenti berdetak dalam sekejap. Tristan, pria yang pernah dekat dengan dirinya dulu, kini berdiri di depannya.

“Tristan …,” gumamnya lirih, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status