Tidak seperti hari sebelumnya, pagi ini Ruby bangun lebih awal. Sebelum berangkat bekerja, Ruby memakan dua potong roti untuk sarapan pagi ini.
Ruby harus mulai berhemat karena tanggal gajian masih lama. “Aku pasti bisa makan makanan enak kalau udah gajian. Aku penasaran, kira-kira berapa ya gajinya sekretaris CEO? Apa bisa buat angkat derajat aku?” Ruby senyum-senyum sendiri sambil memakan roti rasa srikaya itu. Itu loh, roti dua ribuan yang selesainya berlimpah dan rasanya enak. Roti ini sering menjadi sasaran Ruby kalau keuangannya sudah menipis. Selesai sarapan, Ruby keluar dari kontrakan lalu berjalan kaki menuju jalan raya. Di sana juga sudah ada ojek yang menunggu Ruby. “Tujuannya sesuai dengan aplikasi kan, Mbak?” tanya si ojol. “Iya, Pak,” jawab Ruby. Kali ini tidak ada drama motor mogok atau ada tawuran di jalanan. Ruby tiba di kantor setengah jam sebelum mulai bekerja. “Nah, gini dong. Kalau datengnya lebih lagi kan lo bisa lebih santai juga.” Friska tersenyum puas melihat Ruby sudah ada parkiran kantor. Friska sangat puas seperti berasa telah berhasil mendidik anak sendiri. “Aku nggak mungkin mengulangi kesalahan yang sama, Kak. Lagian aku mau kerja yang rajin supaya bisa ngumpulin duit yang banyak, seenggaknya sampai punya tempat tinggal sendiri.” Ruby begitu bersemangat hari ini. “Amin! Kakak akan selalu mendukung kamu Ruby.” Friska merangkul bahu Ruby untuk memasuki gedung perusahaan. Friska adalah orang yang sangat baik dan telah menganggap Ruby seperti adik kandungnya sendiri. Ruby langsung pergi ke ruangan kerjanya, namun Ruby terkejut melihat seseorang yang duduk di atas kursinya sambil membelakangi nya. “Kamu tau kesalahan kamu?” Orang itu langsung menyerang Ruby dengan pertanyaan sarkas membuat Ruby terlonjak kaget. “Anda siapa? Kenapa ada di ruangan saya?” Ruby mengepalkan tangannya. Ruby kesal dan tak paham, mengapa dia yang baru datang ditanyai kesalahan. “Bisa-bisanya kamu masih bertanya siapa saya? Dan asal kamu tau, saya bebas pergi ke setiap sudut kantor ini kalau saya mau.” Pria yang memakai jas hitam itu masih duduk dengan posisi membelakangi Ruby sehingga Ruby tidak bisa melihat wajahnya. “Jadi Anda adalah bos saya yang katanya mantan berandalan itu?” Ruby melipat kedua tangannya di dada dan tidak ada takut-takutnya. Malahan Ruby menatap sengit laki-laki yang menduduki tempat duduk milik Ruby walaupun laki-laki itu sedang membelakangi Ruby. “Berani sekali ka-mu.” CEO yang merupakan atasan Ruby itu memutar kursi agar bisa melihat wajah sekretaris nya yang baru saja kurang ajar padanya. Dia adalah Julian, suara Julian semakin memelan melihat sekretaris barunya ini adalah seseorang yang sangat ia kenal. Ruby pun tak kalah terkejut, Ruby masih ingat dengan jelas bahwa orang ini adalah orang yang sama dengan yang menariknya dari tawuran kemarin. “Menarik sekali, ternyata kita bertemu lagi.” Julian tersenyum miring, dia ingat waktu itu dia memberikan kartu namanya pada Ruby. “Kamu bisa bekerja di sini berkat kartu nama yang saya kasih?” Julian malah mengira bahwa Ruby melamar kerja ke perusahaan ini lewat kartu nama Julian tinggalkan. “Saya bahkan membuang kartu nama itu setelah saya melirik nama Anda sebentar, Tuan Muda Wiliam yang terhormat.” Ruby tersenyum sombong. “Saya bisa bekerja di sini dengan posisi yang bagus itu karena kemampuan saya sendiri.” “Baru kali ini ada seorang gadis yang membuang kartu nama saya, kamu berani sekali.” Julian tidak tau harus marah atau tertawa mengenai hal yang satu ini. Alhasil, Julian hanya menunjukkan wajah datar. “Saya membuangnya karena saya tidak tertarik, lantas Tuan Muda. Tadi Anda mengatakan mengenai kesalahan saya, apa salah saya sehingga Anda harus repot-repot menunggu saya pagi-pagi buta di meja saya?” tanya Ruby. Ruby sangat berani, Ruby tidak merasa takut sedikitpun dengan atasannya ini. Apalagi setelah mengetahui dia adalah orang pernah Ruby temui sebelumnya, Ruby jadi semakin berani sekarang. “Lupakan, saya tidak jadi ingin membahas itu.” Julian berdiri sambil merapikan jas nya. Tadinya Julian ingin membuat masalah dengan cara membuat sekretaris barunya ini menderita dan berakhir mengundurkan diri lagi. Tapi karena orang ini adalah Ruby, orang yang sudah lama dia cari, Julian tidak jadi melakukan hal licik itu. ‘Sepertinya dia adalah tipe orang yang tidak mudah ditindas, baiklah. Semoga saja dia bisa menjadi rekan kerja yang cocok untukku.’ Julian berkicau dalam hati. ‘Dasar aneh! Jangan dikira aku nggak tau dia ini akan membuatku tersiksa dan nggak tahan sama pekerjaan ini,’ celoteh Ruby dalam hati. Ruby menatap Julian dengan tatapan tidak suka, Ruby sudah tau banyak tentang Julian dari Friska. Semalam Friska datang dan menceritakan banyak hal tentang CEO baru mereka ini. Dari situ Ruby tau Julian telah berhasil membuat sekretarisnya mengundurkan diri padahal Julian belum bekerja waktu itu. “Bisa Anda minggir, Tuan Muda. Saya punya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini, saya tidak punya banyak waktu untuk main-main.” Secara tidak langsung Ruby mengusir Julian. “Kamu benar-benar berani, Ruby Salsabila.” Julian membaca id card Ruby sehingga dia bisa tau nama panjang gadis itu. “Tidak ada alasan untuk saya takut dengan Anda, Tuan Muda,” balas Ruby benar-benar sangat berani. “Bagaimana kalau kamu saya pecat karena kamu sudah bertingkah kurang ajar kepada saya?” Julian tersenyum, tapi senyuman yang sangat kental dengan ancaman. Ruby meletakkan kedua tangannya di pinggang, dia masih dengan berani menatap Julian. “Saya tidak takut, Tuan Muda. Asal Anda tau, saya ini lulusan terbaik dari kampus terbaik. Tidak akan susah bagi saya untuk mencari pekerjaan baru setelah Anda pecat, saya dengar-dengar yang pesangon dari kantor ini lumayan besar, jadi saya rasa saya tidak akan rugi.” Julian ternganga, Julian tidak menyangka akan mendapatkan jawaban sesantai ini dari Ruby. Ini pertama kalinya seorang Julian Azka William kalah telak berdebat dengan seorang wanita. “Baiklah, saya masih berbaik hati tidak memecat kamu hari ini.” Julian mengalah untuk pertama kalinya. “Cepat sebutkan apa saja agenda saya hari ini!” “Pagi ini Anda harus menandatangani banyak dokumen dari hari kemarin sampai dokumen-dokumen hari ini juga. Nanti sore sekitar jam tiga sore Anda ada jadwal meeting dengan pemimpin PT Darma wanita di restoran tiga putri.” Ruby begitu serius membacakan setiap jadwal Julian. ‘Dia ternyata tipe wanita yang pekerja keras, setidaknya aku masih aman karena dia ini bukan tipe wanita seperti sekretaris ku yang lama.’ Julian menilai Ruby dalam hati. Tidak ada alasan Julian untuk menyingkirkan sekretaris nya lagi, Ruby tidak terlihat seperti wanita penggoda yang Julian benci. “Baiklah, kerjakan semua pekerjaan kamu, nanti jam tiga sore ikut meeting dengan saya.” Julian melangkah pergi memasuki ruangan CEO WL Company.Di dalam pesawat, Ruby bersandar pada bahu Julian, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan. Julian yang biasanya cuek dan malas-malasan kini tampak lebih rileks, jemarinya dengan santai memainkan rambut istrinya."Jangan sampai kamu berubah jadi bos menyebalkan saat liburan," gumam Ruby setengah mengantuk.Julian terkekeh. "Tenang saja, aku akan menjadi suami yang menyebalkan kali ini."Ruby mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Perjalanan ke Paris kali ini memang bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga untuk menjauh dari urusan pekerjaan dan kenangan masa lalu yang terus mencoba mengusik kehidupan mereka.Saat mereka tiba di bandara Charles de Gaulle, angin dingin musim gugur menyambut kedatangan mereka. Ruby mengeratkan mantelnya sementara Julian menatap sekeliling dengan santai. Baru saja mereka hendak menuju hotel, sebuah suara yang familiar membuat Ruby menghentikan langkahnya."Julian? Benarkah itu kamu?"Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang da
Pekerjaan di kantor sedang kacau balau. Tenggat waktu menumpuk, laporan belum selesai, dan telepon terus berdering tanpa henti. Ruby bahkan nyaris tidak punya waktu untuk duduk dengan tenang, sementara Julian—yang biasanya santai—mulai terlihat sedikit kewalahan.“Julian, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani hari ini,” kata Ruby sambil menaruh setumpuk berkas di meja suaminya.Julian menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Ini beneran semuanya harus hari ini?”Ruby menghela napas panjang. “Kalau mau kita bisa pulang sebelum tengah malam, iya.”Julian menggerutu pelan, tapi tetap meraih pena dan mulai menandatangani satu per satu. Sementara itu, Ruby kembali ke laptopnya, mengetik dengan cepat sebelum tiba-tiba—Tring!Notifikasi email masuk. Ruby membacanya sekilas, lalu langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. “Julian… ada revisi lagi dari klien.”Julian berhenti menandatangani dan menatap Ruby dengan ekspresi tidak percaya. “Serius?”Ruby mengangguk lelah. “Dan mereka m
Setelah dipaksa untuk ikut double date oleh Fagas dan Marvel, Julian dan Ruby akhirnya terjebak dalam acara kencan ganda yang mereka tak inginkan.Mereka sudah berada di restoran yang sudah dipesan oleh Marvel—sebuah restoran rooftop yang cukup romantis. Fagas datang dengan seorang wanita bernama Celine, sementara Marvel…Marvel datang sendirian.Fagas mengerutkan dahi. “Mana pasangan lo?”Marvel mengangkat bahu santai. “Tenang, dia bakal nyusul.”Julian melirik Marvel malas. “Jangan bilang lo ngajak kencan sama cewek random yang lo temuin di jalan.”Marvel hanya terkekeh. “Yah, bisa dibilang begitu.”Beberapa menit kemudian, seorang wanita akhirnya muncul.Wanita itu sangat cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan raut wajah lembut. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun. Namun, yang membuat semuanya terdiam adalah…Dia membawa tongkat putih.Ruby langsung menyadari sesuatu. Wanita itu buta.Marvel segera berdiri dan membantunya duduk dengan
Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandark
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Ruby mondar-mandir di ruang tamu, matanya tak lepas dari ponselnya. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Julian, tapi selalu dihapus sebelum sempat dikirim.Renzi, yang duduk santai di sofa dengan kaki terangkat di meja, meliriknya dengan bosan. "Kalau kau terus berjalan seperti itu, lantai bisa berlubang, Ruby."Ruby mendelik tajam. "Diam kau, Renzi. Aku sedang tidak bercanda."Renzi mengangkat bahu, tidak tersinggung. "Aku tahu. Tapi serius, kau terlalu khawatir.""Terlalu khawatir?" Ruby mendekat dengan ekspresi tidak terima. "Kau sadar Julian ikut meringkus seorang kriminal besar, kan? Damar bukan penjahat biasa. Dia punya koneksi ke mana-mana, bahkan ke kepolisian."Renzi menghela napas panjang. "Julian bukan anak kecil. Dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya!" Ruby melempar dirinya ke sofa di samping Renzi, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Dia selalu bertindak seolah semuanya ada dalam kendali. Padahal dia bisa saja dalam bahaya be