Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.
Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandarkDi dalam pesawat, Ruby bersandar pada bahu Julian, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan. Julian yang biasanya cuek dan malas-malasan kini tampak lebih rileks, jemarinya dengan santai memainkan rambut istrinya."Jangan sampai kamu berubah jadi bos menyebalkan saat liburan," gumam Ruby setengah mengantuk.Julian terkekeh. "Tenang saja, aku akan menjadi suami yang menyebalkan kali ini."Ruby mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Perjalanan ke Paris kali ini memang bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga untuk menjauh dari urusan pekerjaan dan kenangan masa lalu yang terus mencoba mengusik kehidupan mereka.Saat mereka tiba di bandara Charles de Gaulle, angin dingin musim gugur menyambut kedatangan mereka. Ruby mengeratkan mantelnya sementara Julian menatap sekeliling dengan santai. Baru saja mereka hendak menuju hotel, sebuah suara yang familiar membuat Ruby menghentikan langkahnya."Julian? Benarkah itu kamu?"Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang da
Pekerjaan di kantor sedang kacau balau. Tenggat waktu menumpuk, laporan belum selesai, dan telepon terus berdering tanpa henti. Ruby bahkan nyaris tidak punya waktu untuk duduk dengan tenang, sementara Julian—yang biasanya santai—mulai terlihat sedikit kewalahan.“Julian, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani hari ini,” kata Ruby sambil menaruh setumpuk berkas di meja suaminya.Julian menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Ini beneran semuanya harus hari ini?”Ruby menghela napas panjang. “Kalau mau kita bisa pulang sebelum tengah malam, iya.”Julian menggerutu pelan, tapi tetap meraih pena dan mulai menandatangani satu per satu. Sementara itu, Ruby kembali ke laptopnya, mengetik dengan cepat sebelum tiba-tiba—Tring!Notifikasi email masuk. Ruby membacanya sekilas, lalu langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. “Julian… ada revisi lagi dari klien.”Julian berhenti menandatangani dan menatap Ruby dengan ekspresi tidak percaya. “Serius?”Ruby mengangguk lelah. “Dan mereka m
Setelah dipaksa untuk ikut double date oleh Fagas dan Marvel, Julian dan Ruby akhirnya terjebak dalam acara kencan ganda yang mereka tak inginkan.Mereka sudah berada di restoran yang sudah dipesan oleh Marvel—sebuah restoran rooftop yang cukup romantis. Fagas datang dengan seorang wanita bernama Celine, sementara Marvel…Marvel datang sendirian.Fagas mengerutkan dahi. “Mana pasangan lo?”Marvel mengangkat bahu santai. “Tenang, dia bakal nyusul.”Julian melirik Marvel malas. “Jangan bilang lo ngajak kencan sama cewek random yang lo temuin di jalan.”Marvel hanya terkekeh. “Yah, bisa dibilang begitu.”Beberapa menit kemudian, seorang wanita akhirnya muncul.Wanita itu sangat cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan raut wajah lembut. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun. Namun, yang membuat semuanya terdiam adalah…Dia membawa tongkat putih.Ruby langsung menyadari sesuatu. Wanita itu buta.Marvel segera berdiri dan membantunya duduk dengan
Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandark
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Ruby mondar-mandir di ruang tamu, matanya tak lepas dari ponselnya. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Julian, tapi selalu dihapus sebelum sempat dikirim.Renzi, yang duduk santai di sofa dengan kaki terangkat di meja, meliriknya dengan bosan. "Kalau kau terus berjalan seperti itu, lantai bisa berlubang, Ruby."Ruby mendelik tajam. "Diam kau, Renzi. Aku sedang tidak bercanda."Renzi mengangkat bahu, tidak tersinggung. "Aku tahu. Tapi serius, kau terlalu khawatir.""Terlalu khawatir?" Ruby mendekat dengan ekspresi tidak terima. "Kau sadar Julian ikut meringkus seorang kriminal besar, kan? Damar bukan penjahat biasa. Dia punya koneksi ke mana-mana, bahkan ke kepolisian."Renzi menghela napas panjang. "Julian bukan anak kecil. Dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya!" Ruby melempar dirinya ke sofa di samping Renzi, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Dia selalu bertindak seolah semuanya ada dalam kendali. Padahal dia bisa saja dalam bahaya be
Pelarian yang Tak TerhindarkanFagas dan Friska melangkah dengan hati-hati menuju pintu belakang gudang. Napas mereka tertahan saat suara langkah kaki mendekat dari pintu depan. Mereka tahu, sedikit saja kesalahan, mereka akan terjebak.Fagas menempelkan tubuhnya ke dinding, mengintip ke celah kecil di pintu belakang. Di luar gelap, hanya ada cahaya redup dari lampu jalan yang berkedip-kedip. Sejauh ini, aman. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini tidak akan berlangsung lama.Friska berdiri di sampingnya, mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—sebuah pisau kecil. "Jika mereka menangkap kita, kita tidak bisa hanya diam," bisiknya.Fagas mengangguk, lalu meraih gagang pintu dengan perlahan. Namun sebelum ia sempat membukanya, suara berat terdengar dari pintu depan."Periksa seluruh ruangan. Mereka tidak bisa pergi jauh."Langkah kaki mulai berpencar, beberapa orang masuk ke dalam gudang dengan senjata di tangan. Fagas dan Friska harus segera pergi.Fagas membuka pintu belakang sedikit
Malam itu, Fagas dan Friska melaju dengan hati-hati melalui jalan-jalan sepi kota, menuju tempat yang telah mereka tentukan. Rumah tua itu sudah jauh di belakang mereka, dan mereka melaju ke tempat yang lebih aman untuk bertemu dengan Roy. Mobil hitam yang mengintai mereka sebelumnya tampak menghilang, tapi Fagas tahu itu bukan berarti mereka aman.Tiba di tempat yang lebih terpencil, Fagas dan Friska keluar dari mobil, menuju sebuah bangunan kecil yang tampak biasa-biasa saja, namun cukup aman untuk pertemuan rahasia. Roy sudah menunggu di dalam, duduk di meja dengan sebuah laptop terbuka."Fagas, Friska," Roy menyapa mereka sambil menutup laptopnya. "Apa yang kalian butuhkan?"Fagas tidak membuang waktu. "Aku butuh informasi lebih tentang Damar. Kita tahu perusahaan itu hanya kedok, dan sekarang Damar mengirim orang untuk mengejarku. Apa yang kau bisa temukan?"Roy menatap Fagas dengan serius. "Aku sudah menggali lebih dalam. Damar adalah sosok
Fagas menyalakan ponselnya, matanya menyipit saat mengetik sesuatu dengan cepat. Friska mencondongkan tubuhnya, mencoba mengintip layar ponselnya."Apa yang kau lakukan?" tanyanya."Aku mencoba menghubungi seseorang," jawab Fagas singkat.Friska menghela napas, menatap ke luar jendela mobil. Jalanan tampak lebih tenang, tidak ada tanda-tanda SUV hitam tadi. Tapi ia tahu mereka tidak bisa lengah."Siapa orang ini?" Friska kembali bertanya."Seorang kenalan. Dia bisa membantu kita melacak siapa yang tadi mengejar kita," ujar Fagas sambil menunggu ponselnya terhubung.Setelah beberapa nada sambung, seseorang akhirnya mengangkat."Halo?""Roy, ini aku," kata Fagas cepat."Fagas? Lama tak terdengar kabarmu. Ada apa?""Aku butuh bantuanmu untuk melacak sebuah mobil. SUV hitam, mungkin sekitar model tahun terbaru. Mereka membuntutiku dan seseorang yang bersamaku," Fagas menjelaskan.Sejenak, ada jeda di telepon sebelum Roy bersuara lagi."Kau kena masalah, ya?""Bisa dibilang begitu," jawab