Sampai akhirnya Ruby memutar bola matanya malas. "Aku tau ya kalau jadi pembantu orang kaya itu gajinya gede, teman aku si Ana hidupnya makmur sejahtera meskipun jadi ART," ucap Ruby setelah menemukan jawaban yang tepat supaya dia tidak malu lagi.
Nisa tertawa melihat kelakuan Ruby, memang benar adanya menjadi pembantu di rumah orang tajir itu gajinya gede. Buktinya Nisa sudah bisa membeli sawah dan membangun rumah di kampung halamannya berkat berkat kerja di rumah orang kaya. Setelah Nisa pergi, Ruby pun beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu berjalan sambil menenteng kedua sepatunya yang sudah ia lepas, Ruby sengaja melepas high heels itu karena kakinya digigit oleh pinggir high heelsnya. "Emang dasarnya aku ini orang susah dari lahir, sekalinya pakai high heels malah kesusahan begini," gerutu Ruby sepanjang kakinya melangkah. Kekesalan Ruby semakin bertambah karena ojek ia tunggu tidak datang-datang. "Apaan tuh?" Tiba-tiba langkah Ruby terhenti ketika melihat perkelahian di pinggir jalan yang terjadi tepat di sembarang jalan tempat Ruby berdiri saat ini. Di sana terlihat seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam sopir sedang menghadapi lima orang preman sekaligus. Di sana juga ada mobil mewah yang berusaha dilindungi oleh pria paruh baya itu . "Itu pasti mobil majikannya, gue harus bantuin bapak itu." Ruby melempar sepatunya begitu saja lalu berjalan cepat ke pusat kegaduhan. Ruby langsung menendang salah satu preman hingga tersungkur di jalanan. "Kalian mau begal ya?" tuduh Ruby tanpa basa basi. Preman yang Ruby tendang langsung tersulut emosi karena yang menendangnya merupakan seorang perempuan. "Nggak usah ikut campur, tapi lumayan juga kalau kamu bisa saya dapatkan." Salah satu preman berkata sambil menatap Ruby dari atas sampai bawah dengan pemasangan penuh minat. Hal itu membuat Ruby merasa jijik hingga sekujur tubuhnya merinding karena tatapan dari orang itu. "Coba aja kalau bisa?" ejek Ruby dengan kedua tangan terlipat di dada. Merasa tertantang, kelima preman itu langsung menyerang Ruby secara bersamaan. Bugh!! Bugh!!! Suara pukulan bersahutan yang sangat mengerikan menjadi nyanyian malam di jalanan ini. Ruby begitu lincah memukul dan menendang para preman yang sendang bertarung dengannya. Hanya butuh waktu dua puluh menit, Ruby berhasil menumbangkan ke-lima preman itu. Menurut Ruby, mereka masih lawan yang sangat kecil jika untuk dia hadapi sendiri. "Lemah gini sok-sokan mau jadi preman," ejek Ruby sehingga membuat kelima preman itu kena mental. Tubuh Ruby itu kecil, jadi para preman itu masih tidak menyangka mreka bisa dikalahkan oleh gadis kecil seperti Ruby hanya dalam hitungan menit. Mereka merasa harga diri mereka sebagai seorang preman langsung tercoreng gara-gara Ruby. Naum para preman itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka sudah tidak punya tenaga untuk menyerang Ruby. "Neng nggak apa-apa?" tanya sopir yang ditolong oleh Ruby. Sopir itu tampak cemas dan takjub diwaktu bersamaan. "Nggak apa-apa, Pak," jawab Ruby sambil tersenyum ramah. "Aduh ... Aduh, anak gadis jago berantem. Untung ada kamu, Nak. Kalau nggak mungkin Oma udah dibegal sama mereka dan mobil ini juga bisa dibawa sama mereka." Seorang wanita tua keluar dari dalam mobil mewah yang tadinya sempat Ruby lirik. "Saya baik-baik, Nyonya," jawab Ruby apa adanya. Selagi tidak bermain dengan senjata tajam, berhadapan dengan preman seperti tadi adalah hal bisa bagi Ruby yang sudah terbiasa hidup keras sejak kecil. "Makasih banyak ya, Nak ya. Boleh Oma tau siapa nama kamu?" tanya wanita tua itu. "Ruby," Dengan senang hati Ruby memberitahu namanya. "Oma tidak bisa lama-lama di sini, sekali lagi makasih." Wanita tua itu mengeluarkan segepok uang yang membuat Ruby menelan ludah. Jiwa miskin nya langsung meronta-ronta melihat uang sebanyak itu. Kalau dilihat dari ketebalan amplop itu, sepertinya uang itu cukup untuk uang makan Ruby selama berbulan-bulan. "Ini untuk kamu sebagai ucapan terima kasih dari Oma." Wanita tua itu memberikan segepok uang itu pada Ruby. 'Gue nggak boleh terima, gue harus menerapkan membantu orang dengan tulus.' Ruby berusaha menguatkan dirinya sendiri. "Enggak usah, Nyonya. Saya ikhlas membantu," tolak Ruby, "kalau gitu saya permisi." Ruby terus melangkah pergi meskipun nenek-nenek tadi masih saja memanggil namanya. Ruby tidak ingin tergoda dengan uang sebanyak itu, masak iya cuma membantu sedikit saja langsung diberi uang sebanyak itu. Ruby rasa Ruby benar-benar tidak bisa menerimanya. . . . Julian meringis kesakitan saat kupingnya terasa akan putus ketika ditarik sangat kencang oleh sang Oma. "S-sakit Oma shhh, lepasin kuping Julian." "Tidak akan, disuruh ke kantor untuk mengelola perusahaan kamu malah keluyuran ke tempat haram. Kamu kira Oma ini tidak tau kelakuan buruk kamu itu." Oma Fia turus menjewer kuping Julian tanpa merasa kasihan. "Untungnya tadi sekretaris baru kamu bisa mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, jadi kamu perkejaan kamu tidak terlalu menumpuk." "Sekretaris? Jadi udah ada yang gantiin ondel-ondel penggoda kemarin? Baguslah," gumam Julian. Sebenarnya kemarin Julian sudah ke kantor untuk melihat-lihat suasana kantor sebelum bekerja. Tapi sekretaris yang direkrut oleh HRD untuk dirinya membuat Julian merasa jijik. Ondel-ondel penggoda itu berusaha menggoda Julian menggunakan tubuhnya yang tidak seberapa. Julian ini memang nakal, tapi dia juga pilih-pilih kalau mau cari pacar apalagi temen hidup. Jadilah Julian memecat wanita itu padahal belum mulai bekerja. "Oma tidak mau tau, besok pagi kamu harus ke kantor tepat waktu, Julian. Kalau tidak jangan salahkan Oma kalau Oma lebih memilih mencari CEO lain karena kamu yang tidak bisa diandalkan." Perkataan Oma Fia membuat Julian melotot. "Nggak bisa gitu dong, Oma. Julian ini kan pewaris tunggal, jadi cuma Julian yang bleng jadi CEO," protes Julian. "Kalau kamu kerjanya malas-malasan, mau jadi apa perusahaan itu, Julian. Kamu harus berguna sedikit, hanya kamu yang bisa Oma harapkan." Oma Fia meratap pias. Namun Julian mendelik, Julian tau Oma nya mengatakan dirinya tidak berguna secara tidak langsung. "Oma mah nggak asik." Julian cemberut. Kalau di depan sang Oma, Julian tidak lebih dari seorang cucu Oma yang manja. . . . Sesampainya di kontrakan, Ruby benar-benar langsung merebahkan tubuhnya yang lelah. "Nggak nyangka aku udah dewasa aja padahal hidup sebatang kara." Ruby tersenyum pahit sambil menatap langit-langit kamar sepetak yang ia tempati. "Aku kira aku bakalan mati dari dulu gara-gara hidup sendiri, ternyata aku bisa cari makan sendiri dan bisa hidup sampai sekarang." Ruby juga merasa bangga pada dirinya sendiri, berawal dari anak manja yang berbuah haluan menjadi anak yatim piatu, nyatanya Ruby masih bisa bertahan sampai sekarang. "Aku harus lebih semangat lagi, seenggaknya aku harus kerja biar bisa punya rumah sendiri. Aku harus bisa bangkit dan jadi orang hebat sesuai kemauan ayah." Mata Ruby berkaca-kaca ketika teringat dengan ayahnya.Di dalam pesawat, Ruby bersandar pada bahu Julian, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan. Julian yang biasanya cuek dan malas-malasan kini tampak lebih rileks, jemarinya dengan santai memainkan rambut istrinya."Jangan sampai kamu berubah jadi bos menyebalkan saat liburan," gumam Ruby setengah mengantuk.Julian terkekeh. "Tenang saja, aku akan menjadi suami yang menyebalkan kali ini."Ruby mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Perjalanan ke Paris kali ini memang bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga untuk menjauh dari urusan pekerjaan dan kenangan masa lalu yang terus mencoba mengusik kehidupan mereka.Saat mereka tiba di bandara Charles de Gaulle, angin dingin musim gugur menyambut kedatangan mereka. Ruby mengeratkan mantelnya sementara Julian menatap sekeliling dengan santai. Baru saja mereka hendak menuju hotel, sebuah suara yang familiar membuat Ruby menghentikan langkahnya."Julian? Benarkah itu kamu?"Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang da
Pekerjaan di kantor sedang kacau balau. Tenggat waktu menumpuk, laporan belum selesai, dan telepon terus berdering tanpa henti. Ruby bahkan nyaris tidak punya waktu untuk duduk dengan tenang, sementara Julian—yang biasanya santai—mulai terlihat sedikit kewalahan.“Julian, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani hari ini,” kata Ruby sambil menaruh setumpuk berkas di meja suaminya.Julian menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Ini beneran semuanya harus hari ini?”Ruby menghela napas panjang. “Kalau mau kita bisa pulang sebelum tengah malam, iya.”Julian menggerutu pelan, tapi tetap meraih pena dan mulai menandatangani satu per satu. Sementara itu, Ruby kembali ke laptopnya, mengetik dengan cepat sebelum tiba-tiba—Tring!Notifikasi email masuk. Ruby membacanya sekilas, lalu langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. “Julian… ada revisi lagi dari klien.”Julian berhenti menandatangani dan menatap Ruby dengan ekspresi tidak percaya. “Serius?”Ruby mengangguk lelah. “Dan mereka m
Setelah dipaksa untuk ikut double date oleh Fagas dan Marvel, Julian dan Ruby akhirnya terjebak dalam acara kencan ganda yang mereka tak inginkan.Mereka sudah berada di restoran yang sudah dipesan oleh Marvel—sebuah restoran rooftop yang cukup romantis. Fagas datang dengan seorang wanita bernama Celine, sementara Marvel…Marvel datang sendirian.Fagas mengerutkan dahi. “Mana pasangan lo?”Marvel mengangkat bahu santai. “Tenang, dia bakal nyusul.”Julian melirik Marvel malas. “Jangan bilang lo ngajak kencan sama cewek random yang lo temuin di jalan.”Marvel hanya terkekeh. “Yah, bisa dibilang begitu.”Beberapa menit kemudian, seorang wanita akhirnya muncul.Wanita itu sangat cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan raut wajah lembut. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun. Namun, yang membuat semuanya terdiam adalah…Dia membawa tongkat putih.Ruby langsung menyadari sesuatu. Wanita itu buta.Marvel segera berdiri dan membantunya duduk dengan
Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandark
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Ruby mondar-mandir di ruang tamu, matanya tak lepas dari ponselnya. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Julian, tapi selalu dihapus sebelum sempat dikirim.Renzi, yang duduk santai di sofa dengan kaki terangkat di meja, meliriknya dengan bosan. "Kalau kau terus berjalan seperti itu, lantai bisa berlubang, Ruby."Ruby mendelik tajam. "Diam kau, Renzi. Aku sedang tidak bercanda."Renzi mengangkat bahu, tidak tersinggung. "Aku tahu. Tapi serius, kau terlalu khawatir.""Terlalu khawatir?" Ruby mendekat dengan ekspresi tidak terima. "Kau sadar Julian ikut meringkus seorang kriminal besar, kan? Damar bukan penjahat biasa. Dia punya koneksi ke mana-mana, bahkan ke kepolisian."Renzi menghela napas panjang. "Julian bukan anak kecil. Dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya!" Ruby melempar dirinya ke sofa di samping Renzi, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Dia selalu bertindak seolah semuanya ada dalam kendali. Padahal dia bisa saja dalam bahaya be