Share

Part 7. Wartawan

“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. 

Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. 

Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. 

“Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus pergi sekarang. Kalau ingin mendapatkan klarifikasi, silakan buat janji terlebih dulu.” 

Pijar bisa melihat wajah Aurora seketika memerah karena amarah. Dia yang sengaja memanggil para wartawan dan menjebak Pijar itu tampak tidak terima. Segera, dengan berpura-pura, dia mendekati Pijar dan memeluk lengan sekretaris Elang itu sok akrab. 

“Pijar, kamu hanya perlu sedikit berbicara kebenaran dan masalah itu selesai. Tidak perlu menunggu lain kali.” Aurora sedikit mencubit lengan Pijar dengan kuat agar Pijar bisa diajak bekerja sama. Namun, Aurora salah target. Pijar tidak mudah ditaklukkan hanya dengan rencana bodoh seperti itu. 

Pijar menyeringai ketika dia menatap Aurora yang ada di sampingnya saat berkata, “Tentu saya bisa mengatakan yang sebenarnya, tapi apa kamu yakin kalau saya bicara kamu bisa menyelamatkan karirmu?” bisik Pijar tak acuh membuat Aurora menggeram marah. 

“Maaf tema-teman wartawan, kami benar-benar tidak punya banyak waktu.” Pijar mengeluarkan kartu nama. “Kalian bisa menghubungi saya untuk mendapatkan klarifikasi yang kalian butuhkan.” 

Kini tatapan Pijar mengarah pada Elang yang sejak tadi bungkam seribu bahasa. “Mari, Pak. Jangan sampai kita telat sampai di tempat meeting.” 

Hal itu membuat Elang menatap Pijar sedikit lama sebelum dia mengangguk meninggalkan kerumunan. Bahkan lelaki itu sama sekali tidak menoleh kepada Aurora untuk sekedar berpamitan. 

Suasana di dalam mobil itu terlalu hening sepanjang perjalanan menuju restoran tempat mereka meeting. Namun, entah kenapa, Elang sesekali menatap Pijar yang duduk di kursi depan. Ada perasaan aneh yang menelusup di dalam hati lelaki itu yang tak bisa dijabarkan. Tidak, dia tak sedang jatuh cinta kepada Pijar. Itu tidak akan pernah terjadi. Hanya saja, ada sebuah rasa sesak yang tiba-tiba menelusup. 

*** 

“Kebetulan kita bertemu di sini.” Senyum Gema merekah lebar melihat Elang dan Pijar selesai meeting di restoran tersebut. Gema bersama Almeda pergi berdua untuk makan siang. “Pijar, lama kita mengobrol. Mama nggak keberatan ‘kan kalau kita meminta mereka untuk bergabung?” Gema bertanya kepada sang istri. 

“Tentu saja tidak. Pijar, saya juga sudah lama tidak mengobrol dengan kamu.” 

Elang yang berada di sana tidak pernah menyangka kalau sebenarnya kedua orang tuanya sangat dekat dengan Pijar. Setelah mereka berempat duduk di satu meja, Almeda segera mengobrol dengan Pijar. 

“Pijar, bagaimana kerja dengan Elang? Apa dia menyusahkan?” tanya perempuan itu ingin tahu.

Pijar tersenyum. “Semua bisa diatasi, Bu.” Pijar tidak akan mengatakan hal apa yang sudah dilakukan oleh Elang kepadanya karena itu adalah sebuah konsekuensi yang sudah pantas diterima olehnya ketika memutuskan untuk bekerja dengan Elang. 

“Bagus kalau begitu, saya lega mendengarnya.” Gema menimpali. “Saya dengar, akan ada model yang masuk ke Infinity. Perempuan itu cukup terkenal dan salah satu asset. Apa benar begitu?” 

Gema sudah menyerahkan sepenuhnya urusan perusahaan kepada Elang setelah dia sudah memilih untuk pensiun. Namun, bukan berarti dia lepas tangan dan tidak tahu apa yang terjadi di perusahaannya karena Gema terus memantau semua urusan Perusahaan. 

“Kami masih berdiskusi. Belum benar-benar fix. Lagi pula, dia akan balik ke luar negeri setelah masa liburannya di Indonesia sudah selesai.” Elang memberi penjelasan. 

“Baguslah. Ingat, Elang. Di perusahaan Infinity adalah agensi nomor satu. Kualitas si model harus nomor satu, etikanya harus punya, dan tentu saja penilaian lain-lainnya harus memenuhi. Papa tahu kalau dia adalah temanmu, tapi kamu tidak boleh serta merta menerimanya karena hubungan tersebut. Karena bisnis tidak ada kata teman.” 

Elang tidak menjawab karena ayahnya sudah memberikan ultimatum. Dia hanya mengangguk dan tak ada perdebatan setelah itu. 

Sehabis makan siang, Elang dan Pijar kembali ke kantor. Kerumunan wartawan tentu juga sudah tidak ada lagi di sana. Sayangnya, Aurora justru berada di ruangan Elang tanpa meminta izin terlebih dulu kepada si empunya. Elang yang sebenarnya tidak suka jika wilayah pribadinya itu dimasuki oleh orang lain, tentu saja tampak tak senang. 

“Aurora, kamu tidak pulang?” tanya Elang setelah itu. Aurora yang tadinya duduk di sofa ruangan Elang pun berdiri. 

“Bisa-bisanya kamu meninggalkanku dengan para wartawan itu tanpa sepatah kata pun, Elang? Aku seperti orang bodoh di sana dan dianggap gila oleh mereka semua!” Aurora murka di depan Elang. “Di mana dia? Di mana perempuan itu sekarang!” Teriakannya menggema di seluruh ruangan besar tersebut enggan menyebut nama Pijar. 

Elang bergeming. Menatap Aurora dengan wajah dingin seolah dia tidak tertarik dengan perempuan itu. 

“Siapa yang memintamu datang di ruanganku?” tanya Elang setelah itu, “siapa yang mengizinkanmu untuk masuk ke sini tanpa permisi?” 

Aurora sedikit terkejut dengan ucapan Elang, selanjutnya dia menyembunyikan keterkejutannya. “Apa kamu akan mempermasalahkan masalah sepele ini, Elang? Urusanku jauh lebih penting.” Kali ini nada suara Aurora merendah. Dia jelas tidak ingin membuat Elang murka. “Aku melakukan semua ini demi kita. Kalau nama baikku buruk dan aku masuk ke Infinity, maka itu hanya akan membuat masalah baru bagi perusahaan. Oleh karena itu, aku ingin membersihkan namaku.” 

Elang lagi-lagi tidak menanggapi perempuan itu dan memilih duduk di kursinya. Setelah itu dia memanggil Pijar untuk masuk ke dalam ruangannya. Pijar muncul di ruangan Elang setelah itu, lalu dia berdiri dengan sopan di depan Elang. 

“Apa yang perlu saya kerjakan, Pak?” tanyanya. 

“Kamu sudah dihubungi oleh para wartawan itu tadi?” Elang memastikan. 

“Ada banyak yang menghubungi saya, tapi saya belum membalasnya.” 

“Pijar sudah ada di sini, apa yang ingin kamu katakan, Aurora?” Elang justru melemparkan pertanyaan itu kepada Aurora. “Pijar sudah pernah bilang kalau dia tak akan konfirmasi tentang masalah itu. Jadi, apa yang kamu inginkan?” 

“Mau tidak mau, dia harus mau!” putus Aurora, “semua masalah ini ada karena dia. Pijar terlalu angkuh.” 

“Karena itu kamu membuat drama murahan dengan mengatakan saya tertarik dengan Pak Elang? Kamu bilang karena saya cemburu denganmu lantas saya membuat namamu buruk?” Pijar kali ini memberikan atensi sepenuhnya kepada Aurora. “Drama murahan yang kamu ciptakan tidak akan berpengaruh apa pun kepada saya, Nona. Kamu tidak bisa menekan saya untuk melakukan sesuatu yang tidak saya kehendaki, atau kamu justru akan tenggelam lebih dalam dalam kubangan masalah.” 

Pijar menyeringai kecil. “Mau coba?” 

***   

Loyce

Elang ini siapa sih? Kalau Baca buku Dicampakkan Setelah Malam Pertama pasti tahu kok siapa dia. Happy Reading, Guys!!!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status