Orion menatap punggung Daniel dengan tatapan datar. Mengantarkan kakak Ruby itu sampai mobil lelaki itu menghilang dari pandangannya. Orion duduk di undakan teras lalu mengeluarkan rokok dari saku celananya. Mengambil satu batang lalu menyalakannya. Menyesapnya dengan pelan sambil menatap depan. Ini sudah hampir siang dan tidak biasanya Orion tidak masuk kerja seperti sekarang. Lelaki itu tampak berpikir tentang hubungan Ruby dan Daniel. Dia sejujurnya penasaran dengan apa yang terjadi, sayangnya Ruby tidak akan mengatakan apa pun tentang masalah keluarganya. Terlebih lagi itu kepada Orion yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Orion melemparkan puntung rokok ke dalam tempat sampah tak jauh dari tempatnya duduk sebelum ingin kembali ke dalam. Tanpa disangka, Ruby berdiri di ambang pintu sambil menatap Orion dalam. “Kenapa? Kamu ingin sesuatu?” tanya Orion mendekat pada Ruby. “Sampai kapan Mas akan di sini?” tanya Ruby tanpa berpikir sedikitpun. Orion masuk begitu saja ke
“Kamu masih saja keras kepala, Ruby.” Ayah Ruby tampak tidak senang dengan ucapan putrinya itu kepadanya. Ruby seolah mengusir dirinya secara terang-terangan. Niatnya datang ke rumah itu adalah untuk mengajak kembali putrinya untuk pulang, tetapi Ruby justru terlihat tidak berminat dengan itu. “Sejak dulu Papa selalu saja menganggap aku nggak becus. Aku capek dengan itu, Pa. Tolong, aku sekarang ingin menjalani hidupku dengan damai tanpa ada tuntutan dari siapa pun. Aku sudah berusaha untuk sampai di titik ini, jadi jangan lagi berkomentar buruk tentang pekerjaanku.” Ruby tak bisa menutup matanya mengingat kedatangan orang tuanya beberapa jam yang lalu. Sejujurnya dia rindu dengan mereka. Dia juga ingin ditanyai tentang hal-hal remeh tentang pekerjaannya. Dengan begitu dia bisa menceritakan bagaimana dia mengatasi pekerjaannya yang begitu banyak. Sayangnya, orang tuanya tidak pernah berubah. Mereka masih sama dan menganggap berada di dunia hiburan bukanlah pekerjaan yang perlu diba
“Saya nggak mau!” tolak Ruby dengan tegas, “dikira saya nggak punya pekerjaan apa.” Perempuan itu lantas hampir berbalik untuk pergi ketika Orion menahannya. “Ini perintah, Ruby.” Kukuh Orion tak mau mengalah. “Perintah yang tidak penting bisa ditolak. Dan perintah Mas Orion sama sekali tidak penting, jadi saya bisa menolaknya.” Orion menarik tangan Ruby dan memaksa perempuan itu berjalan menuju mobilnya. Mana bisa Ruby menolaknya, sedangkan dia sudah menyiapkan semuanya. Tentu saja dia merasa tidak adil untuk ‘kerja kerasnya’ jika tidak dihargai. Maka dari itu, mau tak mau Ruby harus ikut dengannya. Entah dia merasa rela atau tidak. “Mas, saya nggak mau.” Berontak Ruby saat dia sudah berada di dalam mobil. “Diam!” Orion segera mengendarai mobilnya dengan cepat agar bisa segera sampai tempat tujuan. Ruby benar-benar tidak tahu harus melakukan apa dengan sifat keras kepala yang ditunjukkan oleh Orion kepadanya. Kesal bercampur dengan emosi itu benar-benar menguasai kepala Ruby. D
“Kalau kamu capek boleh tidur.” Orion masih menikmati makanannya ketika berbicara. Hal itu membuat Ruby menoleh ke sana-kemari. “Di tenda?” tanyanya setelah itu.“Memang kamu lihat tempat lain yang bisa dipakai tidur selain tenda itu?” “Kalau nanti Mas Orion ngantuk juga, tidur di tenda itu juga?” “Ya, nggak mungkin saya tidur di tengah sungai.” Orion menatap Ruby dengan lirikan malas seolah dia benar-benar berbicara dengan perempuan paling bodoh sedunia. “Kalau begitu saya nggak mau tidur.” Ruby memutuskan. Padahal dia benar-benar ingin sekali berbaring. “Kenapa? Takut saya perkosa.” “Ngomongnya nggak di filter.” Ruby mendelik kesal. “Karena nggak ada alasan yang masuk akal ketika kamu takut dengan seorang lelaki kecuali dia akan melakukan pelecehan.” Ruby tidak menjawab. Dia melupakan ucapan Orion beberapa saat lalu yang menginginkan dia menjadi kekasihnya.“Saya nggak mau jadi pacar Mas Orion.” Akhirnya Ruby bersuara setelah beberapa saat. “Lalu mau jadi apa? Istri saya? Ng
“Mas tolong profesionalnya dong. Kita ini di kantor.” Ruby lelah menghadapi Orion. Perempuan itu malas kalau harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh karyawan lain kepadanya. “Di mana letak ketidak profesionalan saya? Saya mengunggah foto kamu itu di akun pribadi saya. Bukan di akun perusahaan.” Orion menjelaskan dengan sabar. “Seharusnya Mas nggak perlu mengunggah hal yang tidak perlu.” “Saya tidak akan memutus kebahagiaan saya hanya karena orang lain. Kalau mereka mau ribut, biarkan mereka ribut. Bukankah kamu sudah biasa mengabaikan hal-hal yang begitu? Kenapa sekarang kamu merespon berlebihan?” Ruby terdiam. Orion memang benar, biasanya dia hanya mengabaikan hal-hal yang tidak penting itu masuk ke dalam telinganya. Sekarang lantas kenapa dia harus meributkan hal seperti itu? Ruby tertunduk. Helaan napas panjang itu dia keluarkan dari mulutnya. Orion berdiri masih di depan kursi kerjanya. Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala Ruby. Ruby mendongak dan
Ruby menutup matanya dengan tubuh menyandar di sandaran kursi kerjanya. Rasa kantuk tak tertahankan itu membuatnya tidak bisa membuka matanya. Ini bahkan sudah pukul delapan malam, tetapi sejak tadi dia tak kunjung bangun sejak setengah jam lalu. Getaran ponselnya sejak tadi bahkan sama sekali tidak sedikitpun mengusiknya. Di tempat lain, Orion tengah mondar-mandir karena sejak tadi tidak kunjung mendapatkan kabar dari Ruby. Kekhawatirannya melambung tinggi. “Ini bocah ke mana sih?” Orion sekali lagi mencoba menghubungi Ruby, tetapi tidak kunjung mendapatkan respon. Orion tidak ada di kantor sehingga dia tidak bisa mengecek ruangan Ruby untuk mendapatkan jawaban. Dia pulang lebih dulu karena ada pekerjaan di luar seharian. Memutuskan untuk pergi kembali ke kantor, Orion tampak terburu-buru ketika masuk ke dalam lobby. Dia dihentikan oleh satpam hanya untuk bertanya. “Mas Orion ada yang ketinggalan?” tanyanya. “Pacar saya yang ketinggalan di dalam, Pak,” jawabnya sambil berlalu. L
“Saya tidak mau ikut campur masalah keluarga kalian tanpa persetujuan dari Ruby.” Orion menjawab tegas ucapan Daniel. “Silakan bicara sendiri dengan Ruby dan keputusan apa pun yang akan diambilnya nanti artinya itu yang terbaik untuk Ruby.” “Kenapa? Kamu takut dengannya?” tanya Dustin, “kamu takut dia akan marah kepadamu?” “Tidak. Tapi saya tidak memiliki hak apa pun untuk ikut campur dengan urusan keluarga kalian. Saya tidak berhak sedikitpun.” “Bukannya itu akan mudah bagi kamu untuk masuk ke dalam keluarga kami? Kalau kamu mampu meyakinkan Ruby, maka kamu akan mendapatkan restu dari kami dengan mudah.” Dustin kembali bersuara. Seorang Kapten Tentara itu memiliki wajah dingin. “Jangan menggunakan hal seperti itu sebagai sebuah alasan. Saya tetap akan menolak. Lagi pula, saya bukan pengkhianat. Ruby adalah kekasih saya dan saya menghargainya dengan tidak mengkhianatinya.” Orion bukan orang yang mudah tergiur dengan hal-hal abu-abu yang sedang dipamerkan kepadanya. Orion tidak su
Orion sebenarnya masih kekanakan. Setidaknya itulah yang terlihat di mata Elang. Lelaki yang menuruni sifatnya itu terkadang masih uring-uringan atas hal-hal yang tidak penting. Belum bisa mengendalikan emosinya, dan ada banyak hal lain yang bagi Elang masih sangat membutuhkan bimbingan darinya. Jika itu mengenai kepemimpinan, lelaki itu tentu sudah bisa diandalkan. Dia tanggap dan cepat bertindak. Sifat otoriternya pun tak ada bedanya dengan Elang. “Kenapa Papa manggil aku?” Orion masuk ke dalam ruangan Elang dengan ekspresi kesalnya. Duduk tepat di depan sang ayah. Menunggu apa pun yang barangkali akan dikatakan oleh lelaki paruh baya tersebut. “Kenapa moodmu jadi buruk seperti ini?” tanya Elang memulai, “Papa nggak sengaja dengar dari para karyawan katanya seharian ini kamu marah-marah nggak jelas. Ada apa?” “Nggak ada apa-apa,” elak Orion, “Papa mendingan jangan tanya hal-hal yang nggak penting begitu deh. Aku lagi nggak mau bahas begituan.” Benar, ‘kan penilaian Elang tentan