Aku pulang diantar Gendhis ke rumah, di dalam mobil, Gendhis terus saja menanyakan pendapatku tentang kakaknya.
“Aku gak nyangka lho Nis, ternyata kalian saling kenal.”“Gimana Kak Damar, ganteng kan Nis? Kira-kira kamu suka gak? Aku berharap banget kamu jadian sama Kak Damar.”“Kayaknya Kak Damar suka sama kamu deh Nis, nanti aku korek informasinya ya, aduhh gak kebayang deh kalau kamu jadi Kakak iparku.”Ia tak pernah berhenti mengoceh tentang Pak Damar dan aku.Seandainya aku tau itu Pak Damar aku gak akan mau dikenalkan oleh Gendhis.Pak Damar sudah punya calon istri Adelia, dan ia juga Bos di kantorku, aku juga tak suka dengan sikap Pak Damar yang seperti itu.Aku hanya menjawab pertanyaan Gendhis dengan senyuman, aku tak mau berkomentar.Ah rasanya aku tak mau ke kantor esok hari, aku malu bertemu Pak DamarPagi ini aku sedang memanaskan mesin motorku di depan ruMereka semua tertawa setelah meledekku, aku tak menanggapi. Pak Lukman datang menghampiri kami.“Assalamua’laikum Nisa, kamu naik mobil siapa ke puncak?” sapa Pak Lukman“Wa’alaikumsalam, sama Andin dan Cellin Pak,” jawabku sopan.“Oh”Setelah semuanya berkumpul, kami segera berangkat.Jarak dari Jakarta ke Puncak kisaran 90 kilometer. Jika kondisi lalu lintas lancar maka estimasi waktu dari Jakarta sampai di Puncak yakni sekitar 2 jam.Namun apabila terjebak kemacetan karena ada sistem buka tutup maka pengunjung biasanya akan terkena 4 jam perjalanan. Semoga saja sore ini tidak macet.Kami semua menikmati perjalanan sambil berbincang-bincang.Dua jam kemudian, kami sampai di Masalla Village tempat penginapan dengan nuansa sejuk yang menyatu bersama alam, Masalla Village memiliki fasilitas yang lengkap untuk rombongan, yaitu berupa
Akhirnya aku menerima air mineral tersebut dan mengucapkan terimakasih, dapat kutangkap dari raut wajah Pak Damar terlihat masam dan tak suka.Hari terakhir di puncak mereka berencana berwisata ke Curug Panjang menikmati hijaunya alam dan melepaskan kepenatan sembari berenang di air yang sejuk, kemudian ke Little Venice Puncak.Ketika semua berkumpul hendak berangkat, Pak Lukman menawarkan aku untuk ikut ke mobilnya.“Dek Nisa ikut mobil saya aja, supaya gak sempit di mobil Andina, ada Lia dan Angga di mobil saya.”Kok jadi Dek manggilnya. Kulihat Pak Damar mendelik ke arah Pak Lukman.“Terimakasih Pak, saya sama Andina saja, masih muat kok.”“Ya udah nanti kalau butuh bantuan, bilang sama saya saja ya.” Pak Lukman menawarkan, wajah Pak Damar terlihat sedikit ditekuk.Aku belum pernah berkunjung ke Little Vinice, tanpa jauh-jauh pergi ke Italia kita benar-benar bisa merasakan seper
“Sekarang kamu ketik laporan ini, di laptop saya saja.” Kemudian aku duduk di sofa yang satunya.Pak Karyo hanya diam dan tersenyum penuh arti ke arahku. Pak Damar segera beranjak dan meninggalkanku dengan Pak Karyo.Aku segera mengetik laporan yang diberikan oleh Pak Damar. Memang nasibku menjadi sekretaris dengan Bos yang tidak bisa dibantah.“Neng Nisa ... yang sabar ya menghadapi Pak Damar, sebenarnya dia orang yang baik.”Kalau dia baik tidak mungkin dia memberikan pekerjaan seperti ini disaat sedang liburan.“Iya Pak. Tapi Pak Damar aneh, kok dia marah Pak Lukman baik padaku.”Pak Karyo terkekeh. "Pak Damar itu cemburu Neng ...”“Cemburu? Cemburu sama sia ... .“ Belum habis pertanyaanku Pak Karyo beranjak meninggalkanku sendirian.Cemburu? Pak Damar cemburu sama siapa, aku? Mengapa aku? Ah aku pusing memikirkannya.Sudah hampir zuhur, entah kemana Pak Damar dari tadi tak kelihatan, Pak Karyo juga
Sesampainya di rumah kuhempaskan tubuhku di ranjang di samping ibu.Lelahnya ... esok hari kembali pada rutinitas sehari-hari, menjadi sekretaris bosku yang dingin.Bunyi azan berkumandang membuatku terjaga dari tidur nyenyakku. Tenagaku serasa dicharge kembali.Aku segera bangun dan berwudhu, lalu menunaikan shalat shubuh, ku sempatkan mengirimkan hadiah surah yasin kepada ayah.Setelah shalat, aku segera menyusul ibu ke dapur.“Gimana liburannya, seru to, Nduk?” seraya membuat sarapan pagi.“Alhamdulillah seru, Bu.”“Cuma ... ,“ aku mengantung ucapanku.“Cuma kenapa, Nduk?”Aku menceritakan semua tingkah laku pak Damar, dari mulai tiba-tiba dia datang ke puncak, sampai ia menyiapkan makanan di dalam piring untukku, tak lupa ucapan Pak Karyo waktu itu yang membuatku bingung. Ibu terkekeh mendengar ceritaku.“Oalah Nduk, Nduk, kamu memang belum pernah men
Sesampainya di rumah sakit, Ibu segera mendapatkan penanganan oleh perawat dan dokter.Alhamdulillah, berkat bantuan Gendhis dan Pak Damar, ibu segera dibawa ke rumah sakit. Setelah ibu merasa lebih baik perawat segera melepas oksigen yang terpasang di hidungnya.“Nisa, kepala Ibu pusing, tolong kamu pijitin pakai minyak angin,” pinta ibu.“Biar aku yang beli Nis, kamu dsini aja menjaga Ibu,” tawar Gendhis.Aku mengangguk.“Keluarga Ibu Sumiati,” panggil salah seorang perawat.“Ya saya.”“Tolong isi data pasien, Mbak di tempat pendaftaran.”Aku memandangi ibu dengan khawatir.“Pergilah, biar saya yang menjaga ibumu,” tawar Pak Damar.“Terimakasih Pak .“***POV. DamarAku segera duduk di kursi di dekat Ibu Sumiati.“Nak Damar, makasih banyak atas bantuannya, Ibu gak bisa ngasih apa-apa, bia
Gendhis datang bertandang ke rumahku sore ini. Aku dan Ibu terkejut melihat penampilan barunya, ia mengucapkan salam dan langsung memperlihatkan penampilannya yang baru.“Tara .... surprise, gimana penampilanku Nisa, Bu?” Ia berputar-putar bak seorang putri.Gendhis memakai gamis berwarna abu dipadu hitam, dan jilbab lebar berwarna abu muda bermotif abstrak, ia terlihat sangat anggun dan bersahaja.“Masya Allah, Gendhis kamu cantik banget," Aku segera memeluknya, netraku berkaca-kaca.“Semoga istiqamah ya Ukhti,” ucapku lagi, ia mengangguk dalam pelukanku.“Iya bener, Nak Gendhis cuuantiik banget, jangan pecicilan lagi lho.”“Hehehe iya ibuku sayang.” Gendhis memeluk ibu.Yah, Gendhis, entah kenapa hatiku merasa begitu dekat dengannya, dia bahkan menganggap ibu seperti ibunya sendiri.“O iya Ndis Gimana reaksi orang tua kamu setelah kamu berhijab.”“Mereka gak masalah sih Nis, mereka membiarkan kami beb
Langit senja ini mulai menghitam, sepertinya hujan akan membasahi bumi malam ini. Azan magrib terdengar berkumandang memanggil umat-Nya untuk melaksanakan kewajiban.Aku segera berwudhu, katanya Ibu ingin shalat berjamaah bersamaku, aku membantunya berwudhu kemudian kami shalat berjamaah bersama dengan khusyu'.Kondisi Ibu tampak semakin lemah, walaupun begitu Ibu tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.Entah kenapa perasaanku tak tenang malam ini, setelah shalat magrib kuambil mushaf, aku tenggelam sejenak dengan bacaan ayat-ayat-Nya yang menenangkan jiwa yang sedang kalut ini.“Nduk ... sudah azan isya, bantu Ibu berwudhu, Ibu mau istirahat cepat malam ini.”“Baik Bu.”Aku segera membantu Ibu berwudhu, kemudian shalat isya.“Ibu shalatnya sambil duduk aja, Nis, kok Ibu gak kuat berdiri.”“Iya Bu, seberapa mampunya Ibu aja, agama kita tidak memberatka
Ku raih kembali lengan Ibu, dan merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya, benar, aku tak merasakannya.“Inna ilaihi wa innailaihi Raji’un.” Kuusap wajah Ibuku, kuciumi pipinya.Allah ... Ibu benar-benar sudah berpulang, semalam Ibu ingin melihat aku segera menikah, semalam Ibu masih shalat berjamaah bersamaku, semalam Ibu masih bisa tersenyum.Kini wajah tua itu sudah pucat dan kaku.“Ibuuu ... jangan tinggalin Nisa.“Air mata yang semula kutahan lolos juga bak berkejar-kejaran dari netraku.Ya Rabb ... ini mimpi, ini mimpi, aku berharap ini mimpi aku mencubit lenganku, tidak aku tak bermimpi ini nyata, Ibu sudah kembali kepada sang pencipta.Ibu telah meninggalkan aku sendirian di dunia ini tak ada lagi orang yang menguatkan dan meghiburku.Semoga Allah menerima segala amal ibadah Ibu. Amin!***Aku terpaku di depan pusara Ibu yang masih basah