Annisa Nur Cahya adalah seorang muslimah yang berpakaian syar’i. Dia melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar sebagai sekretaris. Meski awalnya pesimis, karena imej sekretaris yang biasanya seksi tak ada pada dirinya, ternyata keberuntungan rupanya ada pada dirinya. Dia diterima bekerja sebagai sekretaris CEO di perusahaan tersebut. Konon, sang CEO sudah berkali-kali mengganti sekretaris karena sekretarisnya itu suka menggodanya. CEO tersebut sangat tampan tapi bersikap dingin. Mampukah Annisa menghadapi sikap dingin dan tegas sang CEO? Akankah kepribadian Annisa yang berbeda dari mantan-mantan sekretaris sebelumnya justru akan menumbuhkan cinta di antara mereka?
Lihat lebih banyakHari demi hari berlalu, perasaanku semakin tak menentu. Entah mengapa, pikiran tentang Zahra terus berkelebat di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa perasaan yang kupunya pada Zahra justru semakin dalam. "Apakah ini benar-benar cinta?" gumamku dalam hati. Di tengah kebingungan hati, malam ini ibu dan ayah mulai menanyakan soal hubunganku dengan seseorang perempuan. "Raka, ada yang ingin ibu tanyakan padamu," ungkap Ayah saat kami sedang duduk bersama di ruang keluarga. "Apa, Yah? Kok, kelihatannya serius sekali," balasku sambil memperbaiki dudukku. "Iya, ini menyangkut masa depanmu. Ibu heran, mengapa kamu sama persis seperti Ayah, sudah dewasa tapi tak pernah mau memikirkan masa depan," gerutu Ibu. Aku mengernyitkan dahiku, merasa tak pernah ada pembicaraan seperti ini sebelumnya. "Jadi?" Aku mencoba menyampaikan keseriusanku pada Ibuku. Ibu menatap Ayah sejenak, kemudian menghela nafas. "Jadi, kami rasa sudah saatnya kamu memikirkan wanita, maksudnya kamu harus mulai mempersiapka
Hari ini, aku memutuskan untuk mengajak Dirga berlibur ke Puncak demi menikmati udara sejuk dan keindahan alam yang masih terjaga keasriannya. Sebelumnya, Dirga sudah berusaha mengajak Zahra, tetapi sayang, dia menolak undangan tersebut. Maka dari itu, kami hanya pergi berdua saja. Di akhir pekan, banyak kendaraan berlalu lalang menuju Puncak, mencari hiburan untuk melepaskan penat usai bekerja. Perjalanan kami pun cukup terhambat oleh kemacetan. Agar tidak merasa bosan, Dirga dan aku saling mengobrol untuk mengusir kejenuhan. "Zahra memang nggak mau ikut, Ga?" tanyaku untuk memastikan. "Mana mau dia pergi dengan laki-laki, menginap pula. Tapi kalau dipikir-pikir, Zahra itu cantik juga, ya, Ka?" ujar Dirga. Aku menoleh ke arah Dirga, dia tampak semakin tertarik pada Zahra. Namun, aku tahu sejak dulu, saat kami duduk di bangku SMA, Dirga telah menaruh perasaan terhadap Zahra. Aku hanya tak begitu menanggapinya waktu itu. Kini, Dirga bertanya kepadaku, "Eh, kamu nggak suka sama Zahra,
Hari demi hari berlalu, begitu pula bulan demi bulan, dan tak terasa Dirga kini menjadi pegawai di kantorku yang disukai banyak karyawan lain. Memang, gayanya agak selengekan, tapi sifatnya membuat orang suka berteman dengannya. Tak lama kemudian, karyawanku pun mengetahui bahwa Dirga adalah sahabat baikku. Namun, ada satu hal yang membuatku penasaran. Setiap kali bertemu dengan Zahra, ada rasa yang tak bisa aku ungkapkan. Entah mengapa, frekuensi pertemuan kami dengan Zahra semakin sering, bahkan terkadang Dirga sengaja mengajak Zahra makan siang bersamaku. Melalui informasi yang didapat oleh Dirga, katanya bisnis orang tua Zahra bangkrut dan kini orang tuanya terlilit hutang di bank. Karena itulah, dengan berat hati, Zahra harus bekerja untuk membantu orang tuanya. "Sama kamu kok dia mau cerita, Ga? Sama aku kok tidak," ungkapku dengan rasa penasaran. "Mungkin dia segan, karena kamu Bosnya, sedangkan aku kan karyawan biasa sama kayak dia," jawab Dirga. Mendengar itu, aku merasa mun
Dalam dua hari, Dirga akan mulai bekerja di kantor yang sama denganku. Sejujurnya, aku belum sempat memberitahukan kepadanya tentang keberadaan Zahra di sini. Ah, Zahra… kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Gadis manis yang selalu menundukkan kepala, seakan menyimpan banyak rahasia di balik kepolosan wajahnya. Tidak, ini bukan perasaan rindu; aku tidak pernah merasakan cinta selain pada Briana. Saat aku tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. "Masuk!" Aku berseru, tidak menyangka bahwa orang yang masuk ternyata adalah Zahra. Apakah ini suatu kebetulan? Atau justru semesta sengaja menyatukan kami? "Ah, tidak," batin ku, berusaha mengesampingkan perasaan yang mulai menguasai pikiranku. "Pak, ada berkas yang harus Bapak periksa dulu sebelum ditandatangani. Saya takut ada yang keliru," ucap Zahra, seraya meletakkan berkas itu di atas meja. Aku merasa degup jantungku semakin kencang ketika hendak meraih berkas tersebut, namun tidak sengaja menyentuh tangan Zah
Tujuh hari setelah kepergian Oma, kesedihan yang mendalam masih menyelimuti hati kami, terutama aku yang baru saja sempat tinggal bersama Oma. Dia begitu menyayangiku, walaupun terkadang ia mengalami demensia, tapi kenangan tentang diriku tetap menghiasi ingatannya saat ia memegang pipiku. Aku bisa merasakan kasih sayang Oma, meskipun terlambat, namun tak mengurangi rasa cinta yang tulus padanya."Kamu Raka kan? Cucu Oma yang paling ganteng, jadi anak Sholeh dan jadi CEO yang lebih sukses dari Opa dan ayahmu," ucapnya. Ucapan itu terus terngiang di telingaku, mengingatkan betapa berharganya sosok Oma dalam hidupku. Tanpa terasa, air mataku pun mengalir, membasahi pipi yang Oma dulu sentuh dengan penuh kasih. Tiba-tiba, bahu ku direngkuh oleh seseorang. “Raka?!” Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Dirga yang sedang berdiri di belakangku. Sepanjang acara tahlilan Almarhumah Oma, Bu Rania dan Dirga selalu berada di sini, mereka bahkan menginap di rumah ini. Aku mengusap air
Pagi yang cerah, aku telah bangun sejak subuh tadi. Setelah menunaikan sholat subuh, aku berolahraga sejenak di sekitar rumah. Cuaca di pagi ini masih cukup segar, belum tercemar oleh asap kendaraan yang semakin padat seiring berjalannya waktu.Aku bersyukur, perusahaan milik ayah yang kini mulai menunjukkan perkembangan positif. Syukur Alhamdulillah, tender yang baru saja kami kerjakan berhasil tembus. Meskipun skala tender ini tak terlalu besar, namun ini bisa menjadi batu loncatan bagi kami untuk memenangkan tender-tender lebih besar di masa depan. Sementara itu, di rumah, Ibu tampak sibuk di dapur. Sejak tak ada lagi pekerja di rumah, Ibu mengambil alih peran dalam mengurus rumah tangga serta menjaga Oma yang kini tak mampu berjalan akibat penyakitnya yang telah kronis. Memang sudah sepatutnya mengingat usia Oma yang sudah sangat tua. Aku pun segera turun ke lantai bawah, mendapati Ibu tengah membawa sarapan untuk Oma di kamarnya. Dalam kesibukan pagi ini, rasa syukur dan kehan
Hari-hari bergulir, Ayah tak henti-hentinya memantau kinerjaku serta perkembangan perusahaan di kantor ini. Setiap kali mengambil keputusan penting, aku selalu meminta pendapat dan nasihat darinya, takut menapaki jalan yang salah. Saat ini, kami tengah merancang proyek besar yang akan diajukan dalam tender: desain bangunan kantor dan materi presentasinya. Mengikuti saran Ayah, aku membentuk tim yang solid agar pekerjaan menjadi lebih efisien.Tak sekadar menjadi pemimpin, aku pun ikut terjun bersama mereka, menyusun materi presentasi yang menarik. Zahra, salah satu anggota tim, menemuiku dengan rincian kas kantor yang tersisa. Hatiku bergetar, berharap bisa memberikan bonus yang pantas bagi mereka jika tender sukses. "Ini jumlahnya, Pak," ujarnya sambil memperlihatkan hasil print out. "Hmm, baiklah," jawabku, berusaha menahan kecemasan. Di balik kerja keras ini, keyakinan dan kebersamaan kami menjadi perekat semangat dalam menggapai impian bersama. “Sepertinya memang perusahaan ini
Sebelum ia menyadarai kehadiranku, dengan cepat aku mengenakan kacamata hitam, berharap dengannya ia tidak akan mengenalku, dan akan tetap fokus menyelesaikan wawancaranya hari ini. Keempat karyawanku melirik heran ke arahku, bingung kenapa tiba-tiba aku memakai kacamata hitam di dalam ruangan. "Silahkan duduk," ucapku dengan nada dingin. Mengecewakanku jika aku harus pergi dari ruangan ini. "Baik Pak." Kemudian ia duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah ia mengangkat kepalanya, aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan tangan, menghindari segala kemungkinan ia bisa mengenaliku. Wawancara pun dimulai, ia memperkenalkan dirinya, mulai dari nama, pendidikan, hingga pengalaman bekerja. Ternyata Zahra pernah bekerja saat masih kuliah; ia kuliah tak jauh dari sini. Aku merasa penasaran dengan Zahra; dulu dia selalu diantar dengan mobil mewah saat masih bersekolah, tapi sekarang dia justru melamar pekerjaan di kantor ini. Pikiran-pikiran itu menghantui benakku, membuatku semakin p
Pagi menyingsing, aku selesai berpakaian rapi dengan jas dan kemeja putih. Aku menyisir rambutku hingga tampak klimis. Beberapa minggu bekerja di perusahaan Ayah, aku mulai terbiasa. Aku juga berusaha keras belajar bagaimana menjadi CEO yang baik dan cara mengelola perusahaan agar berkembang pesat. Sambil menyemprotkan parfum, pikiran ini membayangi situasi yang akan kutemui hari ini. "Apakah aku sudah cukup baik menjadi pemimpin perusahaan di mata Ayah?" Aku menyambar laptop dan handphone yang tergeletak di atas tempat tidur. Gegas turun ke lantai bawah, bersiap sarapan sebelum bekerja. Melihat Ibu mempersiapkan sarapan membuatku bersyukur, ibuku begitu memperhatikan keluarganya dari dulu, sementara Ayah tampak santai membaca koran. "Apakah mereka bangga padaku?" batinku. Oma yang belum terlihat, mungkin masih di kamarnya. Ia sudah tak kuat untuk berjalan, terkadang harus menggunakan tongkat.Oh iya, anaknya Tante Gendhis, Fara, sepupuku, dia telah mandiri bekerja di perusahaan la
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.