Mira memasukkan beberapa setel pakaian yang dimilikinya. Tidak lupa handuk, sabun mandi dan pasta gigi. Inilah pertama kali ia akan menempuh perjalanan jauh. Jakarta - Bandung baginya perjalanan terjauh seumur hidupnya.
"Jam berapa Andres akan menjemputmu?" tanya Tante Vina.
"Satu jam lagi Tante," Mira duduk disamping tantenya di tepi dipan. Tangannya meraih Ais yang sejak tadi memperhatikannya mengemas pakaian. Adel kemudian ikut duduk disampingnya.
"Kakak, kakak harus hati-hati ya!" ucap Adel yang kini usianya menginjak dua belas tahun.
"Iya. Adel juga harus hati-hati dalam bergaul. Ingat, kakak bekerja untuk kepentingan Adel bukan?" Adel mengangguk.
Mereka berpelukan sebelum berpisah. Tante Vina tak hentinya meneteskan air mata melihat Mira mengangkat tas pakainnya. Terdengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumahnya. Itu pasti suara mo ol Om Andres.
"Sudah siap?" Andres menyapa mereka dari dalam mobil, dan membuka bagasinya. Mira meletakkan tasnya dan berjalan hendak membuka pintu belakang tapi Andres melarangnya.
"Duduklah di depan!" perintahnya.
Mira sedikit gugup karena ini pertama kali naik mobil mewah dalam hidupnya. Andres tersenyum membaca kegugupan Mira.
"Tidak apa-apa, kamu akan suka nanti," katanya sambil melajukan kendaraannya.
Mercedes Benz GLC class itu merangsek pelan diantara kepadatan jalan di Jakarta. Mira bersyukur karena bisa merasakan kesejukan walaupun jalanan macet. Naik angkot sangatlah menyiksa karena harus kepanasan dan berdesakan.
"Jadi orang kaya memang enak." batinnya.
"Kita ke Pasar Baru dulu ya Mir," Andres menegur Mira yang sejak tadi berdiam diri.
"Mau apa Om?" Ia refleks bertanya begitu. Andres hanya tersenyum.
Mira hanya mengikuti saat Andre memasuki sebuah Mall yang menjual aneka macam pakaian.
"Sepertinya ini cocok untukmu," Andres mengambil beberapa setel pakaian. Dan meminta Mira untuk mengganti pakaian miliknya.
"Tapi Om, Mira tidak bisa menerima ini. Mira belum bekerja, bagaima membayar pakaian ini nanti?" tolak Mira.
"Kalau mau diterima bekerja, kamu harus memakai pakaian yang layak Mira. Bahkan semuanya! Dan pilihlah pakaian dalam juga!" Andreas menegaskan agar Mira tidak mengelak.
"Pakaian dalam?" lirihnya. Namun ia tak berani bertanya lagi.
Dirasa cukup, Andres melanjutkan perjalanan. Sesekali diliriknya gadis yang duduk disampingnya. "Mira memang cantik." batinnya. Ia melihat bagaimana pakaian itu membalut Mira dengan sempurna. Tubuh langsing semampai ditambah paras wajahnya membuat Andres selalu mencuri pandang.
"Kamu cocok memakai baju itu," Andres membuka percakapan. Warna pink dengan hiasan renda di lingkar kerahnya. Bentuk dress selutut itu sangat cocok dikenakan Mira.
"Baju ini terlalu mahal untuk Mira Om," Mira tersipu dengan pujian Andres.
"Apakah masih jauh Om?" tanya Mira kemudian saat hari mulai gelap.
"Iya Mir, jalanan macet dimana-mana begini. Ini kita baru mau masuk Bandung," katanya.
Rasa kantuk mulai menghinggapi Mira, ditambah kilasan AC yang dingin membuatnya ingin memejamkan mata.
Didalam tidurnya Mira merasa ada yang menyentuh bibirnya, sentuhan yang hangat. Ia juga merasakan belaian dipipinya. Rasa kantuk mengalahkan batinnya yang ingin melihat apakah itu mimpi atau nyata.
Andres memandang wajah yang terlelap itu. Ia menghentikan mobilnya perlahan ditempat yang sepi. Mira tampak sangat letih.
Andres mendekati wajah itu, lalu menc*um bibir ranum milik Mira sangat perlahan. Menelusuri pipi lembut dengan jemarinya, Ia sangat mengagumi kecantikannya.
Tiba-tiba Mira bergerak membuat Andres cepat mengambil dan menyalakan handphone. Seolah dia sedang sibuk dengan handphonenya.
"Apakah sudah sampai Om?" tanya Mira.
"Belum, kita istirahat sebentar disini. Om capek juga loh Mir," dalihnya.
Mira melihat ke sekeliling yang sangat sepi. Lalu melihat Om Andres yang bersedekap menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. "Tampaknya Om Andres benar-benar letih." Diapun melanjutkan tidurnya karena rasa kantuknya belum hilang.
"Kamu dibawa bang Andres ya?" seorang wanita masuk tanpa mengetuk pintu.
"Iya Mbak, semalam baru nyampe,"
"Panggil aku Lilis, kita seumuran kok." Lilis menelisik Mira dari ujung rambut sampai kaki."Kamu lumayan cantik, cepatlah mandi karena kamu akan bertemu seseorang di hotel."
"Hotel?" Mira terkejut.
"Iya hotel, kamu akan dikenalkan dengan Nyonya Cherry pemilik kafe ini. Kalau kamu gak memenuhi syarat kamu gak akan diterima."
"Ooh" Mira melongo mendengarkan Lilis berbicara. Dia mengira akan langsung bekerja tanpa harus ribet kesana kemari." Seistimewa itukah pekerja kafe?" batinnya
Lima setel baju yang diberikan Andres dicobanya. Dia ingin memenuhi kualifikasi seperti apa yang disebutkan Lilis tadi. Cantik, ramah, percaya diri, ia tidak yakin tetapi akan dicobanya.
Didepan cermin semua baju itu tampak sangat seksi dipakainya. Itu membuatnya risih. Akan tetapi tidak ada lagi pakaian yang lebih baik dari itu. Mira harus berusaha percaya diri untuk bisa bekerja.
"Perfaicto!" Lilis memutar tubuh Mira."Kalau kamu mau uang, kamu hanya perlu cantik seperti ini!" ujarnya. "Mobil utusan Nyonya Cherry sudah datang. Pergilah!" kata Lilis kemudian.
Lagi dan lagi Mira di buat heran. Bekerja di kafe apa yang harus bertemu sampai ke hotel. Namun demi percaya kepada Om Andres dirinya hanya menurut. Lagipula ia sangat diuntungkan dengan pakaian-pakaian indah itu sebelum benar-benar bekerja.
Sopir yang membawanya menuntunnya ke Lift lantai empat. Pria tambun itu mengetuk pintu dengan nomor kamar 57. Seseorang membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk.
Didalam ruangan itu terdapat seorang wanita kurus berlipstik tebal. Mata lebar dengan riasan mencolok. Mira yakin wanita inilah yang disebut Nyonya Cherry. Sangat sesuai dengan namanya, dengan potongan rambut membulat seperti buah ceri ditambah riasan yang dominan warna merah.
"Namamu Mira?" suara Nyonya Cherry terdengar serak dan berat.
"Ya Nyonya."
"Berapa usiamu?"
"Delapan belas tahun Nyonya."
Nyonya Cherry memutari Mira.
"Kamu memang cantik. Tapi adakah yang memaksamu untuk bekerja?" tanya wanita itu.
"Tidak nyonya, ini atas kemauan saya," jawabnya pelan.
"Baiklah, aku menginginkan kamu bekerja di club malam. Kudengar kamu membutuhkan gaji yang besar untuk membiayai adikmu. Jadi bekerjalah dengan baik,"
Mira merasa tak enak ketika mendengar ucapan club malam tadi, tapi seakan mulutnya terkunci.
"Keluarkan dia!" wanita itu memberi perintah agar pegawainya membawanya pergi dari ruangan itu.
Mira sedikit aneh dengan pekerjaan yang ditawarkan. Bahkan wanita itu mengetahui bagaimana butuhnya dia terhadap "uang". Namun ia hanya bisa pasrah.
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.