"Apa yang kita kerjakan di klub malam itu?" Mira mendesak Lilis untuk menceritakan seperti apa klub malam itu. Lilis yang sedang mengenakan stoking melirik Mira sebentar.
"Nanti kau akan tahu sendiri," jawabnya santai.
"Tapi aku ingin tau sekarang!" Mira memohon.
"Tentu saja melayani tamu yang ingin minum sambil menikmati musik atau tarian kalau ada yang menari."
"Hanya mengantar minuman bukan?" Lilis mengangguk.
"Ayo, cepatlah pakai stokingmu dan baju yang sudah aku pilihkan tadi!"
Mira akhirnya diam dan menuruti perintah Lilis. Lilis telah meriasnya dengan riasan yang lebih ringan dari dirinya.
Lilis mendekati Mira berhadapan dengannya "Aku akan membocorkan sesuatu kepadamu. Kita sudah berada disini, jadi usahakan untuk tidak membuat keributan kalau kamu tidak mau dapat masalah!" Mata Lilis menjurus kearah Mira. Tampaknya itu adalah hal yang harus Mira ingat.
Mira memperhatikan cara Lilis membawa dan menyajikan minuman untuk beberapa tamu. Dan Lilis juga mentraining Mira untuk jenis-jenis minuman."Meja dua satu, wiski satu dan jus jeruk satu." Lilis segera mengambil pesanan dan meminta Mira untuk mengantarnya. Lilis berbisik" Itu adalah tamu spesialmu."
Mira mendelik. "Apa maksudmu?"
"Sudah jangan banyak tanya, antarkan saja . Kau akan tahu nanti!"
Mira mengangkat nampan berisi minuman. Meskipun gugup dan tampak sekali kaku, dia berusaha untuk tenang.
"Mira, bawa kesini minuman itu!" seorang pria memanggil Mira. Pria itu ternyata seorang yang memesan wiski."Dari mana dia tahu itu adalah namanya?" batinnya.
Mira meletakkan wiski didepan pria botak itu, dan meletakkan jus jeruk didepan pria yang satunya. Tiba-tiba tangan Mira ditarik pria botak itu dan Mira terduduk tepat disampingnya.
"Duduklah dulu! Kita ngobrol sebentar." tangan Mira masih dalam cengkeraman pria itu.
"Tapi tuan, tolong lepaskan tangan ini!" katanya kemudian.
Mira berusaha meronta tapi ia ingat ucapan Lilis untuk tidak membuat masalah."Maaf tuan, saya harus bekerja."
"Bekerja apa? Malam ini pekerjaanmu adalah melayaniku gadis manis." Pria botak itu sempat menjawil pipi Mira yang membuat Mira berusaha menghindar. "Oh ya, kenalkan ini temanku Ferdian. Berhubung lama kami tak berjumpa jadi kita akan mengobrol dulu disini."
Mira melihat pria didepannya yang terlihat cuek, sesekali ia mengangkat jus jeruknya dan meminumnya. Suasana remang membuat wajah pria itu tidak kelihatan jelas.
"Kamu masih seperti dulu Fer, masih cuek sama perempuan. Buat apa uang banyak kalau cuma dianggurin? Toh banyak hiburan yang bisa kamu beli.Termasuk cewek ori seperti ini."
Mendengar itu Mira merinding. Antara percaya dan tidak ucapan Bapak Botak disampingnya. Mira mulai panik.
"Apa maksud Tuan? Saya hanya membawa minuman untuk anda, tapi kenapa Tuan berkata seperti itu?" sergah Mira, sementara pria bernama Ferdian itu hanya menatap dingin.
Ha ha ha
Pria botak itu malah terbahak-bahak. Mira tidak yakin apakah itu serius ataukah bercanda.
"Jangan khawatir, aku tahu kamu belum berpengalaman. Kamu hanya perlu diam dan menurut,"katanya masih dalam tawa.
"Sejak kapan kau melakukan hal seperti ini?" tiba-tiba pria yang bernama Ferdian itu membuka suara.
"Aku? Sejak kapan? Ha ha ha" dia masih saja tertawa ditanya begitu. "Aku tak ingat sejak kapan, tapi sebenarnya tidak butuh alasan pasti untuk melakukannya selama kita punya uang."
"Kau dulu tampak mencintai Melly?"
"Itulah sebabnya, itulah sebabnya aku seperti ini." Mira hanya memperhatikan pria itu berbicara."Melly mengkhianatiku, dia hanya mau uang. Jadi kupikir aku hanya butuh perempuan yang lebih cantik dari Melly bukan?"
"Itu sangat aneh Bob," protes Ferdian.
"Sudah kubilang, aku tidak butuh alasan. Bagaimana denganmu? Kau juga dikhianati Florensia tengil itu, dan sekarang kau disini bersamaku? Apa lagi kalau bukan untuk yang satu ini?"
Ferdian tersenyum. "Aku punya alasan untuk berada disini. Kau akan tahu nanti."
Mira makin pusing saja mendengarkan obrolan mereka. Hingga si botak itu memberikan isyarat kepada dua pria yang berdiri tidak jauh dari situ.
"Bawa cewek ini!" Perintahnya menunjuk kepada Mira. Mira celingukan saat dua pria itu membawanya. Ia tak mengerti kenapa dia harus diseret kedua pria yang kekar dan Mira tak kuasa menolak.
Tubuhnya yang ringan tak sebanding dengan dua orang laki-laki yang mendorong dan menggeret nya ke sebuah lorong di salah satu pintu club itu.
Sekarang Mira bisa memastikan bahwa dia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mira menangis saat tubuhnya didorong masuk dan dikunci dari luar.
"Buka! Buka pintu ini!" Mira berteriak. Tangannya menggedor kuat pintu itu. Air mata mengalir disela teriakannya. Hingar bingar diluar sana seakan menelan suaranya. Ia menjerit, dipelupuk matanya Mira seakan melihat ayahnya.
"Ayah, ayah.. tolong aku ayah!" Mira tak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Brak!" Pintu itu terbuka, pria botak tertawa dengan tawa yang menjijikkan.
"Kamu menungguku sayang? Tenanglah kamu tidak perlu menangis. Aku sudah datang untuk menghiburmu," pria botak itu mendekati Mira yang duduk ditempat tidur. Mira bangkit ke arah pintu.
"Mau kemana hah? Pintu itu sudah terkunci jadi tidak perlu repot-repot menguncinya." Benar saja, Mira memutar handle pintu itu dan pintu tak bisa dibukanya. Pria botak itu makin mendekat.
Mira berlari ke arah sudut ruangan yang terdapat jendela, tapi sialnya jendela itu dipenuhi teralis besi yang kokoh. Mira mengambil benda apapun yang bisa dilemparkan ke arah pria botak itu, tapi pria itu tertawa lebih keras seakan mendapat mainan yang menyenangkan.
Akhirnya tubuh Mira tertangkap dan terjerembab di kasur. Mira menangis dan mencakar-cakar ke wajah si botak itu. Percuma saja, pria itu sangat kuat. Sampai akhirnya Mira hanya bisa menangis pasrah menyesali nasibnya.
Dok Dok Dok! Brak brak!
Gedoran itu cukup kuat untuk bisa memalingkan Pria Botak yang sedang menindih Mira.
"Sialan!" Pria itu mengumpat. Mira hanya terisak tak berdaya. Tubuhnya sudah lemah karena kebanyakan meronta tadi.
Brrakk!
Tiba-tiba seorang pria menerobos masuk dan melayangkan sebuah tinju ke wajah pria botak yang baru saja membuka pintu. Sontak saja pria itu terjengkang pingsan.
Mira ingin memanfaatkan saat itu untuk berlari keluar, akan tetapi pria bertopeng itu menariknya kembali dan mengunci pintu.
"Jangan! Jangan tuan!" Mira memohon agar dia tidak diperlakukan seperti perlakuan si botak tadi. Tapi pria itu membuka topengnya tanpa melakukan apapun padanya.
"Tenanglah, kamu sudah aman sekarang."
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.