"Ini uang dari Tante dan ini uang dari bantuan orang-orang disini." Tante Vina menyerahkan dua buah amplop berisi uang, sepuluh hari yang lalu. Mira membuka amplop yang sudah kusut itu.
"Aduh, kok tinggal segini ya?" Mira menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa kak?" Adel bertanya karena mengira Mira berbicara dengannya. Sejak tadi Adel bermain mobilan Truk bersama Ais, mobilan itu juga didapatkan dari pemberian tetangganya.
"Ah enggak dek, cuma uang kita kok sudah mulai habis ya? Adel besok gak usah jajan dulu ya?"
Adel memancungkan bibirnya.
"Kakak, kalau aku sudah besar aku akan bekerja kaya Ayah. Tapi, Ayah kok belum sembuh ya kak?" Mira sedikit kaget. Adel tidak tahu kalau Ayahnya tidak akan lagi kembali bersama mereka selamanya. Mira berjongkok mengelus kepala Adel.
"Adel akan sehat dan kuat, Adel pasti punya uang yang banyak jika sudah besar nanti." Hampir saja air bening menyembul diantara kelopak matanya, tapi ia bisa menahannya.
###
"Kak! Ada telefon!" Adel berlari memberikan telefon jadul ke tangan Mira yang sedang mengayun Ais yang sudah mengantuk.
"Hallo Tante?"
"Apa kabarmu Mira?"
"Sehat Tante, kami semuanya sehat," sahut Mira. Tubuhnya masih bergoyang-goyang mengikuti irama ayunan itu.
"Tante gak bisa ngomong banyak, cuma Tante yakin Mira kuat menghadapinya,"
Mira masih mendengarkan dengan tenang.
"Ibumu sudah kritis Mira, kemungkinan untuk selamat sangat tipis. Jadi Tante cuma ingin kamu bersabar dan berdo'a untuk kedua orang tuamu. Mira sekarang bertanggung jawab merawat adik-adikmu." belum sempat selesai bicara, Mira terjatuh kelantai. Entah kenapa lututnya terasa lemas. Mira sangat shok mendengar berita itu.
Mira menangis, dia tak bisa menahannya demi tidak terlihat Adel. Dia ingin menangis sepuasnya saat ini.
"Kakak... Kakak! Kakak kenapa nangis terus?" Adel menggoyangkan tubuh Mira yang telungkup mendekap lututnya. Bukan diam Mira malah menangis lebih keras
"Kakak! Jangan menangis kakak" Adel mendekap Mira, dia tidak tahu apa yang membuat Mira menangis.
"Kakak, Adel janji gak minta jajan lagi kak!" katanya sambil memeluk Mira. Ia ingin Mira berhenti menangis, Adel takut kalau Mira menangis karena kehabisan uang untuk membeli jajanan.
Mira mendongak, menatap wajah seorang anak yang belum mengerti apa-apa.
"Adel, Ayah ibu kita sudah meninggal." ucap Mira pelan di sela adiknya.
"Meninggal?" Mira mengangguk lalu mendekap Adel erat. Adel mengerti sekarang, dia mengerti bahwa mereka sekarang tidak memiliki orang tua.
Kehidupan berjalan mengiringi waktu. Manusia hidup dengan keadaan yang berbeda-beda. Begitu juga Mira dan kedua adiknya. Mereka menjalani hidup tanpa orang tua, tetapi mereka sungguh bertahan dalam kehidupan ini. Mereka bertahan dan menjalani kehidupan yang baik ditengah keluarga tantenya, Vina.
"Masak apa Tante?" Mira menyapa tantenya yang sedang memasak di dapur.
"Cuma sayur sop Mir, Ais paling suka sayur sop," kata Tante Vina sambil mengaduk masakannya di dalam panci.
"Tante,kalau boleh besok Om Andres mengajak Mira ke Bandung. Katanya ada pekerjaan bagus disana."
"Pekerjaan apa Mir?"
"Kata Om Andres sih kafe, saya kurang tahu pasti. Emang Om Andres selama ini kerja apa sih Te?" tanya Mira.
Vina tampak berfikir, selama ini dia tidak pernah bertanya tentang pekerjaan tetangganya itu. Selama dua tahun bertetangga, yang ia tahu Andres memang bekerja di luar kota. Penampilannya juga mentereng.
"Tante kurang tahu apa yang dikerjakan Andres di Bandung, kamu tanya lebih detil pekerjaan itu apakah aman atau tidak, trus masalah gajinya juga. Buat apa kerja jauh-jauh kalau gaji kecil mending disini," jelas tantenya.
"Baiklah Tante." Mira membantu menyusun makanan di atas meja makan. Setelah orang tuanya tiada empat tahun yang lalu Mira dan adik-adiknya tinggal dirumah Tante Vina. Untungnya Tante Vina hanya punya anak satu, itupun tinggal di kost-kostan karena sekolahnya jauh dari rumah.
Andres menunggu Mira di ruang tamu. Tadi Mira SMS akan datang menemuinya. Dimata Andres, Mira adalah sosok yang dicarinya. Mira gadis cantik dan polos. Seandainya dipoles sedikit saja, Mira akan tampak lebih cantik lagi. Begitu juga kalau ia menyulap pakaian lusuh yang selalu dikenakannya, Mira pasti akan menjadi gadis yang spesial. Mira juga tidak memiliki orang tua, dan dia tahu Mira membutuhkan pekerjaan setelah lulus sekolah.
"Selamat siang Om," sapa Mira.
"Hai Mira, masuklah!" Andres menyuruh Mira duduk. Andres mengambil sekeranjang apel dan anggur dari dalam kulkas dan menghidangkan di meja.
"Tidak usah repot Om, Mira cuma sebentar."
"Oke. Well, ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanya Om Andres sambil duduk didepan Mira.
"Ehmm, masalah pekerjaan yang Om Andres tawarkan. Bisakah Om Andres menjelaskan lebih detil pekerjaan itu Om?"
"Itu cuma kafe Mir, tapi karena ramai pengunjung kamu pasti dapet bonus lumayan," jelas Andres. Mata Mira menatap heran, menunjukkan ia belum puas dengan jawaban itu.
"Kafe itu menjual aneka minuman, Mira hanya perlu mengantar pesanan pelanggan. Dan gajinya untuk pemula kisaran dua juta, dan akan bertambah kalau Mira punya kelebihan. Selain itu Mira tidak perlu membayar kontrakan karena rumah sudah disediakan."
Pekerjaan itu sangat mudah sepertinya. Uang dua juta cukup untuk membiayai Adel sekolah, dan masih ada harapan untuk mendapatkan uang tambahan. Lagipula Om Andres tampak bisa dipercaya, dia selalu baik kepada keluarganya selama ini. Sering memberikan uang untuk Adel, membelikan mainan untuk Ais dan sering mengirim makanan untuk mereka.
"Saya hanya membantu meringankan beban Mira dan adik-adiknya, tidak usah difikirkan." saat itu Tante Vina meminjam uang untuk menebus ijazah miliknya. Om Andres malah memberikan cuma-cuma uang itu.
Jadi ia memutuskan untuk percaya kepada Om Andres.
"Baiklah, kapan saya bisa bekerja Om?" Andres tersenyum, rencananya tampak berjalan mulus.
" Bersiaplah, saya akan menjemputmu dua hari lagi."
Mira menjelaskan informasi tersebut kepada tantenya. Vina tampak khawatir memikirkan tempat kerja Mira yang jauh darinya. Tapi dia tak kuasa menahan Mira. Adel sudah membutuhkan biaya sekolah dan ia tak mampu memberikan lebih dari kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum dan sedikit uang saku.
"Maafkan Tante Mira, Tante tidak bisa memberimu yang terbaik. Om Wanto cuma buruh pabrik yang gajinya cuma pas-pasan,"
"Kenapa Tante bicara seperti itu? Mira memang sudah seharusnya bekerja. Mira harus bisa membiayai Adel sekolah. Tante sudah melakukan yang terbaik untuk kami."
Ia tak mungkin membebani Om dan Tantenya terus. "Aku pasti bisa melakukannya!" tekat Mira.
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.