10 tahun berlalu. Seorang pria memasuki sebuah perusahaan. Langkahnya yang begitu tegap membuatnya menjadi pusat perhatian. Devian Pradana, pria yang saat ini berusia 27 tahun itu adalah kandidat utama sebagai pemimpin perusahaan selanjutnya. Devian adalah satu-satunya cucu kesayangan Gamatra karena selain cerdas juga pintar mengatur strategi terbaik untuk perusahaan. Berbeda dengan anak pertamanya yaitu Ronald yang menjalankan perusahaan cabang saja tidak bisa. “Apa jadwalku yang pertama?” tanya Devian pada sekretarisnya, Siska. “Ada rapat bulanan bersama para manajer Sir,” ucap Siska. Saat ini mereka berada di sebuah lift. Devian menatap Siska dari atas hingga bawah. Pakaian sekretarisnya itu begitu minim. Ia tahu sekali, sekretarisnya itu memang sengaja ingin menggodanya. Devian berdehem pelan. “Pakaianmu cantik,” ucap Devian. Siska menoleh. Ia tersenyum cerah. Ia sengaja menggunakan kemeja ketat yang tidak bisa menyembunyikan buah dadanya yang begitu sintal. Begitupun dengan
Siska menarik senyum simpul sebelum menunduk—memejamkan mata dan menempelkan bibirnya di bibir bosnya yang menjadi idamannya. Dalam hatinya menjerit kesenangan akhirnya bisa merasakan langsung berciuman dengan bos idamannya. Devian memejamkan mata—menarik Siska ke dalam pangkuannya. Jemarinya meremas buah dada Siska yang masih terbalut dengan kemeja ketat. Lenguhan wanita itu membuatnya tersenyum smirk. “Sir,” keluh Siska saat jemari Devian mulai masuk ke dalam celah kemejanya. Namun Devian menghentikan gerakannya. Beralih mengusap pipi Siska. Devian mengusap bibir bawah Siska. “Apa yang kau inginkan dariku?” “Aku tidak tahu…” lirih Siska. “Kau siap menjadi boneka ku?” tanya Devian. Siska mengangguk. “Siap, Sir. Seluruh jiwa dan raga saya, saya serahkan pada anda,” jawabnya. Devian menyelipkan helaian rambut Siska ke belakang. Mengumpulkannya menjadi satu dan menariknya. Terpaksa akibat perbuatan Devian, Siska mendongak. “Puaskan aku dengan bibirmu ini.” Siska mengangguk. Ia m
Devian membalikkan tubuhnya. “Sudah 10 tahun berlalu. Devian bisa berdamai dengan keadaan. Devian senang bisa bekerja di perusahaan. Kakek tidak perlu mencemaskan hal itu.” Pandu mendekat. Ia menatap cucu satu-satunya. “Jangan ke sini. Kakek yang akan menemui kamu di rumah.” Devian mengangguk. “Jaga diri kakek baik-baik. Jangan menutup toko terlalu malam.” Devian melangkah keluar. Berjalan ke arah mobilnya—namun ia menoleh ketika melihat seorang wanita yang tengah berlari. Wanita yang sedang dikejar oleh dua orang preman. Devian berbalik—ia mengejar mereka. Benar saja—saat jalanan buntu. Para preman itu ingin memalak wanita tersebut. Wanita yang menutup kepalanya menggunakan topi itu terlihat gusar. “Apa yang kalian inginkan?” “Berikan kami uangmu dan kami akan pergi,” ucap preman berbadan besar. “Aku saja tidak membawa uang, bagaimana bisa aku memberi kalian uang?” keluh wanita itu. “Kalau begitu bersenang-senanglah dengan kami.” Para preman itu mulai mendekat. Mereka memegan
Irene melotot sambil menggeleng. “TIDAK!” Devian menarik dagu Irene. “Apa yang membuatmu berpura-pura tidak mengenalku?” “Aku memang tidak mengenalmu. Hei memangnya kau artis harus dikenal semua orang? Asal kau tahu aku baru kembali ke sini. Aku tidak tahu jalan pulang dan malah dipalak preman. Dan sekarang aku terjebak dengan pria mesum sepertimu.” Devian mengernyit. “Benarkah kau tidak mengingatku?” tanya Devian lagi. Irene menggeleng. “Tidak.” Irene berusaha membuka pintu namun Devian memang sengaja mengunci pintu mobil sampai dirinya mengijinkan keluar. “Buka pintunya.” Irene menatap Devian. Devian menatap Irene lekat. Senyum tipis tercetak di bibirnya. Reaksi Irene pun masih sama seperti dulu. wanita itu mengernyit heran ketika menatap Devian. Irene tumbuh menjadi wanita yang begitu cantik. Jika dulu wajah wanita itu lebih lucu dan imut, sekarang pun masih sama namun versi dewasa. Poni Irene masih sama. Namun, kacamata tebal yang biasanya selalu bertengger di hidung telah s
“Iya, ayah.” Irene berjalan lebih pelan menuju ruang makan. Di sana hanya ada mereka berdua. Ya, ruang makan memang selalu kosong dan hanya terisi oleh mereka berdua. “Alrond akan datang menjemput kamu. Pergilah dengannya, jam 8 harus sudah pulang,” ucap Duke. Dirinya sudah selesai dengan makan dan pergi meninggalkan Irene sendiri di meja makan. Irene asik makan sendiri sampai seorang pria datang. Arlond tersenyum melihat tunangannya makan dengan tenang. Ia memeluk Irene dari belakang. Mengecup singkat bibir Irene sebelum kembali duduk di sebelah perempuan itu. “Kok sudah datang? Kata kamu 30 menit lagi?” tanya Irene. Alrond tersenyum. “Aku menyelesaikan pekerjaanku lebih awal. Tapi aku tidak bisa menemani kamu seharian penuh. Karena setelah makan siang, aku harus kembali ke kantor.” Irene mengangguk. “Tidak masalah.” Ia tersenyum dengan ceria. Alrond adalah pria yang berusia 35 tahun. Sudah dua tahun bertunangan dengan Irene Skylar. Hubungan mereka didasarkan oleh perjodohan. I
Irene mundur beberapa langkah. “Aku tidak bisa.” Ia menggeleng. “Baik.” Arlond mengangguk mengerti. “Maka agenda hari ini batal. Aku tidak ingin jalan-jalan dengan orang yang tidak mau menurut.” Arlond mengambil jasnya dan berjalan meninggalkan rumah Irene begitu saja. Irene memejamkan mata sebentar sebelum merapikan kembali pakaiannya. Mengusap dadanya menggunakan tisu. Irene mengusapkan tisu pada pipinya yang basah dengan air mata. “Dia jahat.” Irene kembali ke kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Memilih untuk kembali tidur dan melupakan rencananya hari ini untuk pergi ke banyak tempat. ~~Seperti kata Irene, pukul 7.30 Devian telah memarkirkan mobilnya tidak jauh dari perumahan tempat tinggal Irene. Tidak menunggu begitu lama, akhirnya wanita itu datang juga. Namun ia mengernyit melihat mata Irene yang terlihat sembab. “Kau menangis?” tanya Devian. Ia mendekat—jemarinya terangkat menyingkap rambut Irene. Ia ingin melihat keadaan wanita itu. “Ada yang sakit?” ta
Devian mendekat dan menjilat pinggiran bibir Irene yang belepotan dengan es krim. “Manis,” lirih Devian sembari mengusap puncak kepala Irene. Irene mengerjap. “HEI—” ucapannya terpotong saat Devian menarik tengkuknya dan kembali mencium bibirnya. Kali ini lebih intens dan dalam. Devian melumat dan mencecap habis bibir Irene. Demi apapun Irene ingin menolak. Namun, ciuman Devian telralu memabukkan untuk dilewatkan. Pada akhirnya Irene memejamkan mata—membalas setiap lumatan pada bibirnya. perlahan ia merasakan jemarinya digenggam oleh Devian. Diarahkan ke leher pria itu. Irene mengalunkan tangannya di leher Bastian. Dengan bibir mereka yang masih bertaut. Es krimnya sudah jatuh entah ke mana. Irene yang seharusnya mengerti hal ini adalah salah. Ia telah berstatus menjadi tunangan sesorang. Devian melepaskan ciuman mereka. Namun masih menyatukan dahi mereka. “Kau yakin tidak ingin tahu hubungan kita seperti apa dulu?” tanyanya. Irene mendongak dengan semburat merah di pipinya. “Ap
Devian mengangguk mengerti. Ia berjalan menuju ruangan Irene berada. Ternyata sudah ada beberapa orang yang berada di sana. Devian berada di depan pintu yang tidak ditutup rapat sehingg ia bisa melihat siapa yang ada di dalam sana. “Alrond?” lirihnya. Yang Devian ketahui, pria itu adalah pengusaha di bidang pertambangan. Mewarisi perusaan orang tuanya. “Apa hubungannya dengan Irene?” tanya Devian dalam hati.Tangannya mengepal ketika melihat Irene dipeluk oleh pria itu. Alrond terlihat mengusap bahu Irene pelan. bahkan pria itu tidak ragu, mengecup kedua pipi Irene bergantian. “Irene maafkan aku. Aku terlalu keras padamu,” ucap Arlond. Irene mengangguk lemah. Perempuan itu tersenyum tipis. “Bagaimana keadaanmu? Ada yang masih sakit?” tanyanya dengan lembut. Berbeda sekali dengan Arlond tadi siang. “Sudah baik-baik saja.” Irene mengangguk. Devian menghela nafas dan memilih menyingkir. Karena ia bisa menebak hubungan mereka adalah sepasang kekasih. Dari ujung lorong ia melihat se