Share

Bab7

Mas Jaka tertunduk. Gavin melihat perubahan ekspresi ayahnya itu. Ia mendadak jadi merasa cemas, Gavin seperti menyadari ada rasa bersalah terpancar dari raut wajah ayahnya itu. 

Gavin pun mendekati Mas Jaka dan bertanya. "Itu bener, Pah? Bener yang diucapin sama Ibu?" tanyanya. 

Mas Jaka mengangguk, Gavin merasa sangat tidak percaya dicampur rasa kecewa saat itu, Mas Jaka berniat menjelaskan namun Gavin mengelak tangan Mas Jaka yang coba memegangnya. 

"KENAPA HARUS GHEA PAH?!"

"KENAPA JUGA PAPA TEGA DUAIN IBU?! MEMANGNYA PAPA ENGGAK TAHU KALO SELINGKUH ITU DOSA?! PAPA SENDIRI BILANG KE GAVIN UNTUK BERBUAT BAIK SAMA PEREMPUAN! TAPI PAPA SENDIRI KHIANATIN IBU!" 

"Sekarang tolong kabulkan permintaan aku, Mas. Talak aku! Biar aku bisa pergi sekarang juga!" ucapnya. Ia terdiam. 

"Ayo, Mas talak aku!" ucapnya kembali mencecarnya. 

"Kenapa kamu diam aja?! Kamu kan katanya cinta sama Ghea! Cuma kamu yang bisa ngertiin dia! Cuma kamu yang dia butuhkan! Mau jadiin dia istri keduamu! Memangnya kamu lupa apa yang kamu ucapkan tadi pagi?! Atau kamu malu kalau disini ada Gavin juga?!" tandasku.

Mas Jaka beralih melihat ke depan pintu yang terbuka. Ada beberapa tetangga seru menonton kami dari belakang. Mereka tampaknya begitu penasaran dengan kehebohan yang terjadi pada kami saat itu.

Shanum tidak perduli. "Cepat katakan!" Mas Jaka coba menyabarkannya.

"Udah Num, udah. Enggak enak diliat orang." ucapnya. Shanum menangkis tangannya. 

"JANGAN SENTUH AKU!" 

"CEPAT BILANG!"

Mas Jaka masih mencoba menyabarkan Shanum. Shanum terus mencecarnya. "Kita bicarakan besok ya, enggak enak diliatin." ucapnya mencoba membawa Shanum ke kamar namun wanita itu menepis tangannya lagi.

 "AKU BILANG JANGAN SENTUH!" Ia masih terus memaksa memegang tangannya. Mencoba menuntunnya. Shanum kembali terus melawan dan berontak. 

Mas Jaka kekeh mencengkeram tangannya. Kita saling adu tangan saat itu hingga akhirnya Mas Jaka kesal karena ia terlalu banyak melawan, hingga akhirnya...

Ia menamparnya.

Sakit... 

Seiring air mata itu keluar lagi... berlinang satu per satu... 

Gavin langsung mendekati Shanum, memeluknya. Namun dengan pandangan ke arah Mas Jaka yang terlihat sangat membencinya. "BAPAK KETERLALUAN!" 

"GAVIN BENCI BAPAK!" 

"MASUK KALIAN KE KAMAR!" pekik Mas Jaka tidak mau kalah.

Gavin dan Shanum saling terdiam menahan kebencian. "MASUK SEKARANG!" 

"Padahal dia sudah ketahuan bersalah, tapi masih saja bertingkah layaknya yang harus dihormati di rumah ini. Tenang saja Mas. Aku akan pergi dari sini secepatnya."

"Aku tidak akan menunda-nundanya lagi. Kamu telah mengkhianatiku, akan lebih baik aku pergi. Dibanding untuk menjadi istri pertamamu. Aku lebih baik pergi! Berbahagialah dengan istri mudamu itu. Dan terima kasih karena 17 tahun kamu sudah menjadi suami yang begitu kuimpikan dan banggakan."

Esok subuhnya, Shanum diam-diam menyelinap pergi dengan membawa koperku disaat mereka berdua sedang tidur. Shanum juga meninggalkan surat di atas meja makan. 

Semalaman dikala menangis, Shanum menulis surat. Shanum tidak tidur di kamar biasanya bersama Mas Jaka. Shanum pindah dan tidur di kamar Gavin.

Shanum menulis beberapa pesan untuknya dan untuk Mas Jaka juga. Shanum berharap mereka hidup bahagia tanpanya. Semoga saja mereka bisa menjadi keluarga baru yang lebih bahagia, tanpanya.

Shanum juga menulis pesan agar Gavin menerima ini dengan baik, meskipun ia sendiri masih sangat terluka dan memilih kabur. 

Shanum sangat berharap Gavin juga mengerti kalau Mas Jaka masihlah ayah kandungnya, mungkin dengan kepergiannya ini... akan menjadi yang terbaik.

Mas Jaka pasti bisa membahagiakan Gavin hingga dia lulus kampus nanti. Dibanding harus tinggal dengan Shanum yang bahkan tidak memiliki pekerjaan, toko itu juga kepunyaan Mas Jaka.

 Shanum tidak ingin mengaku-aku segala hal yang Mas Jaka miliki.

Shanum sadar ia tidak memiliki apapun. Dan lebih pantas untuk pergi dibanding menetap, apalagi untuk dijadikan istri pertamanya.

Akhirnya ia pun sampai di sebuah terminal. Shanum keluar dari angkot dan berjalan memilih bus mana yang akan ia tumpangi. Ia berniat ke bogor untuk pulang kampung ke rumah neneknya.

Shanum tidak berniat untuk pulang ke rumah karena khawatir Mas Jaka akan menyusulnya ke sana. Ia memilih untuk mengungsi disana sementara waktu. Ah tidak, mungkin akan lebih lama dibanding yang ia kira.

Shanum masuk ke dalam bus dan disana ia pilih bangku paling depan yang masih kosong. Ia duduk di pojok dekat jendela sebelah kanan. Ia menatap jendela itu dan melamun dengan wajah sendu. 

Dilihat ke arah jam di tangannya, kini sudah jam 7.30. Pasti sekarang Gavin sudah berangkat kampus. Mudah-mudahan dia tidak marah dan makan dengan baik sesuai pesannya di surat, ia sangat mengecam jika ia tidak berangkat ke kampus, ia sampaikan itu semua di suratnya tadi, karena sebentar lagi Gavin mau ujian. 

Shanum khawatir dia terlarut dalam amarah dan rasa sedihnya selagi ia tidak ada.

Shanum terlalu intens melamun melihat jendela hingga sampai tidak sadar jika seorang wanita paruh baya dengan raut wajah yang tidak dikatakan muda lagi terduduk disebelahnya.  

Dia kelelahan. "Ya Allah akhirnya sampai juga." ucapnya, Shanum menoleh sebentar ke arahnya dalam keadaan kembali tersadar. 

Nenek itu tersenyum padanya, ia tersenyum balik padanya meski kaku. 

"Mau permen Bu?" tanyanya seraya merogoh kantung tasnya. Ia menolak dengan ramah. 

"Enggak Nek, makasih." 

Sepertinya nenek ini sangat ramah pada semua orang. 

Shanum kembali memiringkan kepalaku, menyentuh jendela berniat kembali melamun. Namun nenek itu tiba-tiba terusik dengan sesuatu di punggungnya. 

"Aduh, aduh.." ia seperti sedang menahan rasa sakit.

Ia panik. "N-nenek kenapa? Nenek sakit? Yang mana yang sakit, Nek?" tanyanya panik. Beberapa orang yang duduk disekitar mereka pun langsung heboh melihat dan menjadikan pusat perhatian.

Nenek itu pun mengunjuki ke arah punggungnya dengan tangannya. "Ini aduh... aduh enggak kuat. Ini sebelah sini."

"Yang mana? Ini?" tanya Shanum sembari menguruti punggung yang diunjukinya.

"Jangan diurutin." katanya.

Ia heran. "Terus diapain, Nek?" tanyaku

"Garuk."

"Hah?"

"Iya aduh gatel banget. Duh, aduh... ngurek banget gatelnya." ucapnya tidak tahan. Beberapa orang yang semula menonton mereka pun jadi saling tertawa. 

Ia merasa sedikit malu saat itu. Ia pun menurutinya dan menggaruk punggungnya itu berkali-kali. 

Ternyata cuma gatal, Shanum kira punggungnya sakit.

"Udah?" tanyanya.

"Makasih ya Neng, jadi lega sekarang." ucap nenek itu, Shanum tersenyum tipis. "Iya. Sama-sama."

Ketika Shanum ingin berpaling ke jendela disampingnya lagi dan menempelkan kepalanya ke kaca, nenek itu kembali heboh.

 "ASTAGFIRULLOH!" pekiknya saat semua pandangan matanya menyorot ke arah ponsel yang dipegangnya. Shanum dan beberapa orang dikursi belakang pun kembali memusatkan perhatian padanya. 

"Ngeri banget sih! Ya Allah mana enggak pakai helm." ucap nenek bernama Aisyah itu.

Shanum yang penasaran pun coba mendekatkan diriku lagi ke nenek itu, ikut melihat layar ponsel yang dipegangnya itu.

 "Tuh liat.. jumpalitan kitu.. tah tah.." ucapnya dengan bahasa sunda. 

Shanum tertawa saat setelah melihat isi video yang sedang dilihatnya itu. Ternyata itu adalah aksi akrobat para pengendara di tengah jalanan. 

Iya dong Nek, masa lagi akrobat begitu mau pakai helm? Ya aneh.. memangnya mau balap motor." ucapnya masih diselingi tawa.

"Iya ya? Haduh kalau cucu Nenek muter-muter dan jumpalitan begitu, bakal nenek suruh dia muterin kakbah sekalian." ucapnya. Shanum tertawa mendengarnya, nenek ini ada-ada saja. 

Yah setidaknya karena nenek ini suasana hati Shanum jadi bertambah ceria dibanding tadi.

Nenek itu kembali bercerita. 

"Beuh, cucu nenek yang paling kecil tuh kalau udah naik motor, udah kayak Palentoni-palentoni Sossi itu. Nenek sampe huh.. gusti capek banget pegangan tangannya. Tangan nenek tuh gemetaran semua. Emang budak bangor siah." ucapnya.

Shanum terheran, siapa Palentoni Sossi? Apakah ada pembalap bernama Palentoni Sossi?

Seseorang dibelakang kursi Shanum tertawa.

"Valentino Rossi kali Nek." sahut ibu muda yang menggendong bayinya itu.

"Oh iya toh? Udah ganti nama dia?" tanyanya. Mereka saling tertawa. 

"Namanya memang itu Nek, Nenek aja yang salah sebut." ucap Shanum.

"Oh maklum, poho." ucapnya diselingi tawa. 

"Tapi kalo cucu nenek yang paling gede tuh meuni bager, nurut gitu. Suka bantuin nenek kalo lagi kesusahan, perhatian banget. Kayak nenek pacarnya aja gitu. Kamu nih kalo ketemu sama dia pasti bakal langsung suka. Meuni kasep, kaos artis-artis korea di tipi eta. Saha tah, yung-yung eta. Ah nenek poho. Buyung, Gayung, atau apalah pokokna mah." ucap Nenek Aisyah. Shanum tertawa, ia rasa tahu jawabannya.

Suami dari ibu yang menggendong bayi dibelakangku ikut bersuara. 

"Gayung mah buat mandi, Nek? Atau maksudnya nenek gayung?" ucapnya diselingi tawa. Ia ikut tertawa.

Shanum meralat. "Taehyung kayaknya ya Nek?" tanyanya.

"Iya kali ya? Cucu nenek satu lagi emang suka nyebut Yung-yung gitu. Nenek mah gak ngerti. Nanaonan budak jaman sekarang. Yung-yung teh naon." ucapnya blak-blakan. Kami yang mendengarnya hanya tertawa geli.

Sepanjang bis terus melaju, Shanum dan nenek Aisyah saling mengobrol satu sama lain. Namun karena suara Nenek Aisyah yang agak keras, jadi membuat beberapa orang disekitarnya juga ikut menjadi pendengar ceritanya, tapi menurutnya itu menyenangkan. 

Kehadiran Nenek Aisyah disana seperti membuat pagi harinya yang semula mendung itu jadi cerah kembali, bahkan tak jarang kita saling tertawa mendengar semua ceritanya.

Tetibanya di kota ciawi, nenek Aisyah pun meminta untuk berhenti setelah sebelumnya memang sudah mewanti-wanti sang sopir agar diberhentikan di ciawi. 

Ketika bangkit dari kursinya nenek Aisyah sampai sempoyongan ketika berjalan, kakinya juga tampak sangat kebas disertai pinggang yang serasa berat. 

Beliau seperti kesusahan ketika hendak berjalan, beberapa orang disekitarnya pun segera menahan tubuhnya.

Shanum inisiatif untuk menuntunnya kala itu. Ia meminta sang sopir untuk menahan beberapa waktu. 

"Tunggu ya Pak. Kasihan neneknya." ucapku seraya menuntun sang nenek perlahan. 

Nenek itu tampak kebas sekali hingga susah untuk berjalan. 

"Makasih ya Bu, biasanya saya suka diantar sama cucu saya yang bageur itu. Tapi dia lagi kerja sekarang, saya enggak enak ganggu dia. Tapi kalo dia tahu saya kesini sendirian pasti dia bakal marah-marah. Dia perhatian banget Bu sama saya." ucapnya. Ia hanya tersenyum mendengarnya seraya terus memapahnya.

Ketika sudah keluar dari bus. Nenek Aisyah pun jalan dengan perlahan, ia khawatir membiarkannya begitu saja. Bahkan saat ini ia hampir akan terjatuh, ia pun segera keluar dari dalam bus dan berteriak pada sopir. 

"Pak, tolong tunggu sebentar ya. Saya mau nganter nenek ini dulu." ucapnya sopir itu pun mengiyakannya.

Ia menuntun nenek Aisyah, mencari sekeliling daerah itu dimana ada ojek. "Nek, dimana rumahnya? Apa masih jauh dari sini?" tanyaku penasaran. 

"Huh, masih jauh Bu. Jauh banget, tapi biasanya--" tiba-tiba nenek Aisyah berhenti mengucapkan perkataannya, ia memegang sebelah dadanya dan meremasnya.

Merasakan sakit yang luar biasa saat itu, hingga Shanum yang bertanya dalam keadaan panik padanya tidak ia hiraukan. 

"Nek, Nenek kenapa Nek? Apanya yang sakit? Dadanya kenapa Nek?" tanyanya cemas. Meski awalnya ia mengira itu bagian dari candaannya seperti tadi, ada anggota tubuh yang gatal atau semacamnya. Namun sayangnya itu semua sungguhan. 

Nenek Aisyah yang merasa tidak kuat menahan sakit pun langsung pingsan saat itu juga. Aku berteriak. "NENEK!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status