Shanum seusai dari masjid kembali lagi ke tokonya, dirinya merasa cukup aman disana bersama dengan Reza, lelaki itu tampak gagah berdiri disampingnya bahkan selama berada diperlindungannya ia merasa cukup lega, sekalipun Shanum merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menulis memakai lipstik merah tadi, apakah mungkin dia adalah pria yang selama ini mengincarnya? Shanum merasa sangat ketakutan, ia akhirnya sampai ke tokonya kembali. Namun mendadak ia mendengar ponselnya berbunyi. Ternyata dari Rian. "Saya udah telepon polisi barusan, sekarang lagi dilacak nomornya antara 2 kali 24 jam, nanti bakal dikasih tahu lagi hasilnya." ucap Rian. "Oh yaudah mas semoga aja bisa langsung ada hasilnya. Supaya kita enggak repot lagi nyari. Barusan juga ada yang neror aku lagi mas." ucap Shanum seraya membeberkan penjelasan tentang teror yang terjadi tadi, tak pelak semakin membuat Rian cemas. "Kamu yang sabar ya disana, palingan cuma sampai dua hari aja, nanti bakalan ketahuan hasilnya." ucap
"Iya ngerti, tapi aku juga ngerti kalau mama kamu melakukan ini semua untuk kamu sendiri." ucap Shanum, membuat Rian sedikit menimbang perkataaannya. Rian diam saja saat itu. Rina entah kenapa jadi berterima kasih atas hal itu. Ia merasa sedikit tertolong atas pembelaan Shanum. Ia jadi merasa tidak enak dan berbalik respek dengannya. Setelahnya Shanum pun diajak pulang bersama Rian kembali. Namun Rina menahan Shanum mengikuti Rian ke dalam mobil, ia berbicara empat mata terlebih dulu dengannya. Memegang tangannya. "Makasih banget atas pembelaan kamu tadi, mama benar-benar menyesal sekarang udah ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Mama benar-benar meminta maaf ya Num, mama khilaf, mama janji enggak bakalan ngelakuin hal kayak gitu lagi, mama janji akan bersikap baik ke kamu setelah ini. Maafin kesalahan mama yang kemarin ya Num." ucap Rina penuh harap. Shanum tersenyum dan mengangguk. "Iya mah, enggak apa-apa." ucap Shanum. "Kamu memang baik Num, mama ngerasa bersalah banget sama kamu
Tapi tentunya ia tidak bisa terus mendiamkan dirinya begitu saja, ia mesti menjawabnya."Iya, ibu gue hamil." ucap Gavin. Ghea terlihat sedih saat itu. Ia kemudian berkata. "O-oh selamat ya." "Iya, makasih." ucap Gavin masih melihat bagaimana raut wajah itu terpancar. Ghea sepertinya sedang membandingkan dengan kejadiannya kemarin saat keguguran. Ia sekaligus merasa terpukul dibalik rasa senangnya itu, dan Gavin tahu itu. Ia jadi merasa tidak enak. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, jujur Gavin tidak mau mengutarakan hal ini tapi sayangnya ia tidak bisa melewatkan perkataan Ghea begitu saja. Shanum kini sedang berdiam diri dirumahnya dan sibuk menonton televisi, belakangan setelah menerima kabar dari dokter tentang kehamilannya, ia jadi lebih sering berada didalam rumah. Tidak lagi ke pasar, dan lebih menyerahkan masalah kerjaan kepada dua karyawannya. Rian juga menjelaskan kalau dirinya tidak mengijinkan Shanum pergi kemanapun selagi dirinya sedang hamil muda, karena khawatir y
Matahari sudah berada di peraduannya, selesai berbenah di rumah. Shanum bergegas untuk pergi ke pasar. Namanya adalah Shanum, banyak orang sudah cukup tahu siapa ia sebenarnya. Wanita si pemilik agen sembako terkenal di pasar. Toko Berlian Sembako. Setelah selesai mengunci pintu, tiba-tiba seorang wanita berambut cepol dan wanita berkerudung hijau mendekatinya. "Mau ke pasar Shan?" tanya Bu Ratmi."Iya, Bu. Biasa lah, tugas." ucapnya tanpa mengindahkan jika akan muncul petir setelah ini."Eh Pak Jaka punya keponakan perempuan ya?" tanya Bu Ratmi."Keponakan? Yang mana ya?" tanyanya heran."Ituloh anak kuliahan, yang rada cakepan itu.""Enggak punya keponakan perempuan perasaan." ucapnya tersenyum cemas. "Oh, atau itu adiknya Gavin ya? Kok jarang kelihatan, enggak pernah keluar ya anaknya?" tanya Bu Lisa."Anak cewek? Ibu nih bisa aja, Gavin tuh anak tunggal, Bu. Mana pernah saya bilang si Gavin punya adik perempuan." ucap Shanum. "Tuh kan bener, Jeng. Bu Shanum emang enggak punya an
Siang harinya Shanum mencoba mengecek persediaan barang yang ada di agennya ditemani bersama beberapa anak buahnya untuk sekaligus stock opname."Apa aja barang yang kosong, Tan? Biar sekalian belanja mumpung masih siang?" tanya Shanum. "Minuman ini, biskuit ini juga tinggal satu, teh kotak, sama apalagi ya...""Ditulis aja Tan.""Oke bu juragan."Intan pun menuliskan sesuai yang dititah setelah dirinya mengambil kertas sobekan. Mencatat segala macam yang kosong dan perlu distok ulang. Mendadak Intan teringat sesuatu. "Oh iya bu, waktu itu aku lupa kasih tau kalo waktu itu suami ibu ngambil 10kg beras. Ibu udah tau kan?" "Mas Jaka? Ngambil beras?" tanyanya curiga."Iya, udah bilang ke ibu kan ya? Katanya mau dikasih ke ibunya bu juragan." Ia membatin heran. "Kok bisa sih dia ngasih ibu tapi gak bilang-bilang aku? Aneh banget, ibu juga enggak ngomong kalo dikasih beras sama mas Jaka." batinnya. Malam harinya."Kamu tuh WA-an mulu sama si Ghea-Ghea itu! Ibu kan bilang jangan pacaran
"Macet tadi?" tanya Shanum. Mas Jaka melepas helmnya dan membuka jaketnya. "Iya." jawabnya.Dia masih sibuk dengan beberapa hal termasuk menaruh helm ke tempatnya. Ia mendiamiku, yah dia memang pendiam sih."Mas, kamu kemarin ke toko ya? Ngambil beras? Katanya buat ibuku 10 kg? Kok gak ngomong sih?" tanyanya langsung ke inti. Mas Jaka melihat Shanum. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya."Ada yang ngomong orang bawahanku." ucapku."O-oh. Iya." ucapnya, entah kenapa terdengar canggung di telinga Shanum. Meski masih percaya dan tidak terlalu memusingkan hal ini. Shanum mengambil helm darinya dan taruh ke tempatnya serta juga dengan jaket yang dipakainya lalu gantungkan. Mas Jaka sudah masuk ke dalam bersama Shanum. "Mas, aku rencananya mau ngajakin kamu makan malam sama Gavin dan pacarnya akhir pekan ini." ucap Shanum. Mas Jaka mendadak menghentikan langkahnya mengernyit heran ke arahnya. "Makan malam sama pacar Gavin? Dimana, disini? Emang kamu kenal sama dia?" tanya mas Jaka cemas. "Iya
Mas Jaka langsung cepat-cepat mematikan teleponnya dan membiarkan Shanum berdiri dihadapannya dengan tangan melipat di dada. "Kamu ngomong sayang kan barusan? Buruan ngaku!" "Sayang apanya? Kamu ngaco aja sih. Enggak kok, salah denger kamu.""Kamu kira aku budeg apa?" Mas Jaka semakin tercekat. Ia pun mulai beralasan. "Oh maksud kamu sayang itu... Gini loh... temanku kan punya anak, nah itu aku ngomong sayang ke anaknya. Anaknya kan masih kecil banget tuh. Lucu dia." "Bohong?" "Beneran, nih kalo mau telepon lagi mah." Shanum menimbang-nimbang perkataannya dan lantas berkata. "Yaudah aku percaya tapi kalo bohong awas aja. Nanti aku bakalan gantung kamu di tiang jemuran.""Tega banget, emang aku pakaian apa."Mereka pun saling masuk kembali ke dalam rumah. Mas Jaka mengambil kantung belanjaan yang tertinggal lalu membawanya masuk dan menaruhnya sembarang. "Gavin kok masih belum pulang ya? Betah dia disana kayaknya." "Yah kayak enggak tahu anak muda aja." jawab mas Jaka. "Ya jang
"Denger dulu, Num. Aku bisa jelasin." ucapnya mencoba untuk menyabarkanku. Shanum menangkis tangannya. Shanum mencoba untuk memukulnya lagi. "Dengerin dulu." ucapnya seraya memegang tangannya yang tidak bisa diam ingin memukul atau mencakarnya. "DENGERIN DULU!" teriaknya tiba-tiba yang langsung membuatku terpatung dan bungkam karena rasa kagetnya. Bahkan baru kali ini dia membentak Shanum seperti itu."Semua berawal sejak desember tahun lalu dan perempuan ini adalah Ghea dan dia bukan pelakor. Aku beberapa kali udah pernah ketemu Ghea sebelumnya bersama Gavin, mereka sering mengunjungi rumah sakit tempat aku dinas. Tapi hubungan kita waktu itu enggak lebih dari sekedar seorang Bapak dan anaknya. Lalu suatu hari aku melihat Ghea nangis di rumah sakit, ya aku pun nyamperin dia. Katanya dia baru kehilangan kakeknya yang sakit, yaudah aku temenin dia, nyabarin dia dan bayarin semua tunggakan rumah sakitnya karena dia bilang, dia enggak ada uang buat bayar tunggakan pengobatannya. Ya mula